Merayakan Imamat Tua dan Mulai Sakit-sakitan (ITS) di Hari Orang Sakit (1)

0
496 views
Peristiwa tahbisan imamatku 32 tahun lalu kurayakan dalam Perayaan Ekaristi sederhana tanggal 11 Februari 2023 di Kapel Kawunganten (Liem Tjay)

MENITI imamat, menikmati tua dan sakit. Ini dalam konteks keinginan mensyukuri zona ITS (Imamat Tua Sakit). Hanya permenungan personal Liem Tjay saat ini.

“Di tengah perjalanan sinode Gereja, marilah kita semua merenungkan kenyataan bahwa justru melalui pengalaman kerapuhan dan kondisi sakitlah, kita dapat belajar berjalan bersama menurut gaya Allah: kedekatan, belas kasih, dan kelembutan,” demikian pesan Paus Fransiskus pada Hari Orang Sakit Sedunia ke-31 tahun 2023.

“Aku pun telah telah ditangkap oleh Yesus Kristus.”

Demikian bunyi kutipan teks motto tahbisan imamatku tanggal 11 Februari 1991 di Kapel St. Bernadus Stasi Kawunganten Paroki Cilacap, Keuskupan Purwokerto, Jateng.

Tidak terasa aku telah meniti sebuah jalan kehidupan menuju ke Rumah Bapa sebagai imam-Nya. Sudah 32 tahun aku lewati dan hari ini aku berani mengatakan, “Aku tetap ditangkap oleh Yesus Kristus”.

Guna bisa menikmati masa tua. Untuk bernostalgia, mengenang kembali peristiwa bersejarah 32 tahun yang lalu di desa kecil Kawunganten, maka aku merayakan ekaristi di Gereja St. Bernardus Stasi Kawunganten bersama dengan 15 umat.

Yang kecil dipilih Allah untuk peristiwa yang agung, yaitu “tahbisan imam”. Aku merasa diteguhkan ketika ada 3 umat yang ikut hadir dalam peristiwa tahbisan imamatku.

Mereka adalah Sr. Veronika Indrawati PMY, Ibu Yati (TU Sekolah Yos), dan Ibu Erna.

Ketika berlangsung upacara tahbisan imamatku tahun 1991, Erna masih duduk di bangku SD dan terlibat sebagai penari pada pembukaan dan persembahan.

Catatan yang menggores di memoriku

“Ternyata tangan Allah menggandengku lewat keluarga, sahabat, umat yang kulayani, rekan imam, tetangga masyarakat yang kusapa untuk berjalan bersama menikmati zona ITS (Imamat Tua Sakit).”

Bagaimana aku menyadari dan menerima dengan sukacita “diri-ku” yang sedang berjalan di zona ITS?

Selain merayakan ekaristi nostalgia di Kawunganten, aku mengisi hari ulang tahun tahbisan imamatku ini dengan menyapa dan mengunjungi beberapa umat yang sakit, dan secara khusus mengunjungi opa oma di Panti Wreda (Jompo).

Sekaligus ini pas bertepatan dengan Hari Orang Sakit Sedunia dan Santa Perawan Maria dari Lourdes: 11 Februari.

Opa oma di Panti Wreda: berjalan bergandengan tangan

Saat itu, aku berada di Aula Panti Jompo Kaliori bersama opa-oma untuk merayakan misa. Setiap hari Selasa dan Jumat, aku rutin merayakan ekaristi bersama para penghuni Panti Wreda Catur Nugraha Kaliori Banyumas.

Pemandangan rutin yang kutemui adalah oma-opa, karyawan, dan suster berjalan bersama dari aula tempat misa sampai ke unit di mana mereka tinggal dan sebaliknya.

Walau jarak sangat dekat, tetapi mereka selalu bergandeng tangan, berjalan bersama.

Pemandangan yang sangat menarik bagiku:

  • Ada karyawan yang mendorong kursi roda bagi opa-oma yang tidak bisa berjalan;
  • Ada karyawan yang menggandeng atau menuntun opa-oma yang bisa berjalan kaki tetapi secara pelan;
  • Ada sesama oma yang berjalan bersama saling menuntun dan bergandeng tangan.

Di masa tua, mereka tetap saling bergandengan tangan yang berarti membutuhkan satu sama lain.

Berjalan bersama berarti sadar dan menerima keadaan diri di usia tua yang harus saling mendukung dan membantu.

Mereka jauh dari sanak keluarga dan ditinggal sendiri. Namun, di panti wreda mereka tidak merasa sendiri.

Ada teman, ada sahabat, ada suster, karyawan yang melayani, dan ada acara kebersamaan sebagai komunitas tua.

Sr. Magda PMY mengatakan demikian.

“Panti Wreda melayani opa-oma sebaik mungkin. Itulah yang dapat kami lakukan bersama karyawan. Misi kami adalah opa-oma bisa menerima masa tua, kerentaan, dan sakit dengan sukacita.

Kami berharap mereka selalu bahagia dan siap menghadapi kematian. Kami membantu agar mereka siap menghadap Sang Khalik dan dijemput Tuhan kembali ke pangkuan Bapa dalam sukacita.”

Kisah Oma Monica Inawati inspiratif

Aku terinspirasi dengan kisah Oma Monica Inawati, salah satu penghuni Panti Wreda Kaliori.

Ini ungkapan hati Oma Monica Inawati.

“Saya datang dan tinggal ke Panti Wreda ini atas kemauan sendiri. Saya memilih tempat Panti Wreda Catur Nugraha Kaliori ini, karena cocok dan pas dengan impian saya.

Saya ingin menikmati masa tua saya di tempat ini. Ya memang, saya sadar akan masa tua.

Menurut saya, menjadi tua harus dijalani, harus dilakoni dengan hati yang semeleh, pasrah. Ternyata saya sudah 10 tahun tinggal di Panti Jompo Kaliori Banyumas ini. Tidak terasa waktu terus bergulir, membuat saya makin tenggelam menikmati masa tua dalam keniscayaan dan kepasrahan.”

Kemudian ada juga seseorang yang mengatakan bahwa, “menjadi tua itu keniscayaan (kata “niscaya” itu dari bahasa Sanskerta artinya: tanpa pilihan), tetapi menjadi dewasa itu suatu pilihan.” 

Yang membuat at-home, kerasan

Salah satu kegiatan yang membuat Oma Wati -demikian panggilan akrabnya- betah dan kerasan adalah membaca dan selalu sering membaca; juga mendengarkan radio.

Walau dia hanya terbaring dan duduk di tempat tidur saja, tetapi Oma Wati tetap berkontak dengan siapa pun melalui buku dan artikel yang dibacanya.

Mendengarkan berita atau infotainment dan renungan lewat radio menjadi kebiasaan Oma Wati untuk mengisi hidup dan mengembangkan diri di masa tua.

Aku kagum dan salut pada Oma Wati yang selalu enak diajak bicara dan sangat komunikatif. Oma Wati luwes dalam bercakap dan berwawasan luas dalam memberikan tanggapan, dan komentar.

Mengisi masa tua dengan mengembangkan hobi membuat hidup Oma Wati bermanfaat.

Menerima Sakramen Orang Sakit

Pada kesempatan Misa Hari Orang Sakit Sedunia di Aula Panti Wreda Catur Nugraha Kaliori, Romo Nico Setija Widjaja OMI memberi pelayanan Sakramen Minyak Suci bagi opa dan oma.

Suster Magda PMY sudah mempersiapkan opa-oma untuk menerima pengurapan dari imam sehingga mereka siap secara lahir dan batin. 

Oma Wati menikmati masa tua di panti wreda Kaliori, Banyumas. (Liem Tjay)

Bagaimana kesan Oma Wati terhadap pengurapan Minyak Suci?

“Romo, saya memiliki sakit gatal-gatal yang selama ini sangat mengganggu. Lihat, kulit ini terkelupas, karena saya sering menggaruknya hingga lecet. Banyak obat kulit sudah saya coba oleskan.

Saya juga berhati-hati dengan menu makanan. Saya percaya minyak suci yang dioleskan di telapak tangan dan dahi saya ini akan memberikan kesembuhan.

Sakramen Minyak Suci bisa melepaskan saya dari sakit penyakit di masa tua ini.

Saya berdoa dan memohon agar Tuhan melalui pengurapan minyak suci ini, menyentuh sakit saya dan sembuh, sembuh, sembuh. Minimal saya tidak gatal-gatal lagi.”

Inilah syering Oma Wati, ketika aku menyapanya setelah misa selesai.

Oma Teresia menerima sakramen minyak suci (Liem Tjay)

Paus Fransiskus menegaskan bahwa orang sakit adalah pusat umat Allah; Gereja maju bersama mereka sebagai tanda kemanusiaan, di mana setiap orang berharga dan tidak seorang pun boleh dibuang atau ditinggalkan.

Di sinilah titik poin seorang imam hadir dan masuk dalam diri pribadi “orang sakit” lewat tanda Pengurapan Minyak Suci: Allah yang berbelas kasih mengangkat martabat manusia yang sakit dan lemah.

Mak Siti dan Mak Rani bergandeng tangan berjalan bersama di masa tua. (Liem Tjay)

Ajaran Sang Buddha tentang kehidupan

Dalam hal ini aku teringat akan ajaran bijak dari Sang Buddha. Ada tiga kondisi dalam hidup manusia: usia tua (jara), sakit (roga), dan kematian (marana).

Tidak satu pun makhluk yang terlahir di dunia ini yang bisa terbebas dari usia tua, sakit, dan kematian.

Terkait dengan hal tersebut Buddha dalam Abhinha Pacchavekana Patha memberi perenungan bahwa:

  • Aku wajar mengalami usia tua; aku tidak mampu menghindari usia tua.
  • Aku wajar mengalami sakit; aku tidak mampu menghindari penyakit.
  • Aku wajar mengalami kematian; aku tidak mampu menghindari kematian. (Berlanjut)

Baca juga: Sekarang Pastor Sadar Diri Sudah Tua dan Mulai Sering Sakit-sakitan (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here