Banalitas intelektual semakin merebak dalam dunia pendidikan termasuk pada pendidikan tinggi, kata sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Heru Nugroho.
“Fenomena itu ditandai oleh pendangkalan intelektualitas yang tidak disadari disertai dengan menurunnya kualitas akademik dan merosotnya komitmen terhadap bidang ilmu yang digeluti para akademisi,” katanya di Yogyakarta, Selasa.
Menurut Heru dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fisipol UGM berjudul “Negara, Universitas, dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis dari Dalam”, akademisi terlihat cenderung lebih mementingkan nilai pragmatis dari pada nilai-nilai pengetahuan.
Selain itu, mereka juga banyak melakukan penelitian tetapi hasilnya kurang terasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak memiliki semangat kerja dan asketisme akademik yang tinggi.
Oleh karena itu, perlu ada penguatan kultur akademik agar bisa mendorong etos kerja akademik dengan mewujudkan kelembagaan dan infrastruktur yang memadai untuk mereduksi banalitas intelektual di perguruan tinggi.
Misalnya, universitas memfasilitasi “networking”, seminar, perpustakaan, dan publikasi di forum bergengsi. Negara juga harus memberikan jaminan kesejahteraan kepada intelektual kampus, tidak hanya dengan sertifikasi dosen dan tunjangan guru besar, tetapi juga setara dengan jaminan internasional.
Selain itu, juga dengan melakukan penguatan kelembagaan universitas berbasis disiplin, sanksi, pengawasan sistem hingga mencapai internalisasi diri, mewujudkan jaminan kebebasan, independensi dan ketertiban akademik berbasis aturan perundang-undangan nasional.
Ia mengatakan, menguatnya fenomena banalitas intelektual di perguruan tinggi tidak lepas dari bagaimana pola relasi kuasa yang sedang bekerja antarnegara dan universitas.
Secara ideal, seperti yang terjadi di negara-negara maju, universitas diberi pendanaan baik oleh negara atau sumber lain, sekaligus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan akademik tanpa intervensi politik dan administrasi.
“Pada kenyataannya, organisiasi perguruan tinggi di Tanah Air justru seperti ’jawatan pemerintah’ sehingga bisa jadi diperlakukan sebagai ’dinas’ pemerintah yang tugasnya melaksanakan instruksi pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” kata Heru menyitir pendapat almarhum budayawan Umar Kayam.
Menurut dia, meskipun perubahan politik pascareformasi telah menciptakan otonomi, secara riil pendidikan tinggi masih berada di bawah cengkeraman kuasa negara.
“Contohnya, berbagai kebijakan penelitian hibah Dirjen Dikti yang sangat administratif dan birokratis,” kata Heru.