Mgr. Heinrich Leven SVD: “O Crux Ave Spes Unica”, Colosseum, dan Pendiri Kongregasi Suster CIJ (3)

0
1,142 views
Para gadis calon suster CIJ di awal rintisan Mgr. Heinrich Leven SVD. (Ist)

SEBAGAI uskup, Mgr. Heinrich Leven memilih motto “O Crux Ave Spes Unica”. Motto ini menunjukkan suatu refleksi mendalam tentang hidup, panggilan dan perutusan.

Motto ini diharapkan mampu membawa Mgr. Leven bersatu lebih erat dengan Yesus dan memajukan serta memperjuangkan suatu hidup yang lebih manusiawi seturut kehendak Tuhan (Konstitusi CIJ, no. 71).

Motto ini tak terlepas dari pengalaman beliau ketika berziarah ke kota Roma. Di sana ia mengunjungi beberapa tempat bersejarah, salah satunya Colosseum.

Colosseum adalah saksi sejarah tentang betapa mulianya para pejuang salib, yang rela mati demi imannya kepada Kristus.

Colosseum di Kota Roma dan tidak jauh dari Vatikan  adalah tonggak sejarah tentang betapa kejamnya dunia di satu sisi, dan betapa setianya para pengikut Yesus di sisi lain.

Colosseum di Roma – tempat pertarungan antara gladiator dengan sesama petarung atau binatang buas – Mathias Hariyadi

Kekuatan salib

Pater Leven percaya bahwa kekuatan salib Kristus menjadi harapan satu-satunya mengapa banyak pengikut Yesus menjadi martir iman. Darah mereka yang menjadi korban kekerasan Kaiser Romawi, seperti Kaisar Nero telah menyuburkan iman kristiani.

Kekuatan salib ini adalah juga satu-satunya harapan bagi para pengikut Kristus, sekaligus menjadi   inspirasi bagi karya nyata setiap orang kristen. Mengakui kekuatan salib sebagai satu-satunya harapan bagi umat manusia, berarti siap menjadi pengikut Kristus yang sejati: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus memanggul salibnya” (Mt. 16:24).

Dalam semangat Yesus Sang Pengabdi sejati dan sebagai imam muda, Pater Heinrich Leven SVD mengorbankan hidupnya menjadi seorang misionaris baik di Togo (Afrika) dan kemudian di Kepulauan Sunda Kecil, Hindia Belanda.

Orang-orang kecil, orang sakit dan menderita, orang-orang yang tidak berkecukupan dalam berbagai aspek kehidupan, terlebih keberadaan anak-anak dan perempuan menjadi perhatian utama karya pastoralnya. Ia membuat kunjungan rutin, visitasi ke setiap paroki untuk mengetahui kesulitan dan perjuangan mereka.

Ketika dia berada bersama umatnya, ia selalu berkata: “Rumahku itulah rumahmu, rumahmu itulah rumahku.”

Di kesempatan lain,  ia berkata: “Indonesia adalah Tanahairku. Ini negaraku. Ini tempat tugasku. Di sini pula aku ingin mati. Kita satu keluarga, berkasih-kasihan, tolong menolong. Dengan itu kita akan bahagia di surga.”

Mendirikan Kongregasi Suster CIJ

Paus Benediktus XV melalui Surat Apostolik Maximum illud (30 November 1919) menekankan internasionalitas pewartaan dan keterlibatan semua kaum dalam karya misi, dalam pewartaan Injil dan tindakan kasih.

“Pemimpin misi…, perlu memanggil para rekan kerja dari segala penjuru agar membantunya dalam pelayanannya yang suci. Ia tidak peduli apakah mereka dari tarekat lain atau berbeda kewarganegaraan, sebab bagaimana pun juga, Kristus diberitakan.”

“Ia tidak memanggil hanya rekan-rekan kerja laki-laki, namun juga perempuan, yakni para biarawati.  Mereka bekerja untuk sekolah-sekolah, anak-anak yatim piatu, para pengungsi, rumah-rumah sakit” (Maximum Illud no.12).

Surat Apostolik ini juga menekankan pentingnya kehadiran tokoh-tokoh pribumi sebagai pemimpin Gereja, sebagai penerus pewartaan kabar gembira dan tindakan kasih.

Selanjutnya Paus Pius XI, 28 Februari 1926, mengeluarkan Ensiklik Rerum Ecclesiae, yang menganjurkan kepada para Uskup di wilayah Misi supaya mendirikan Serikat-serikat Religius bagi pria maupun perempuan.

Seminari di Flores

Tantangan Surat Apostolik dan Ensiklik ini dijawab oleh petinggi SVD, baik Pater Piet Noyen SVD dan terkhusus Mgr. Arnoldus Verstraelen SVD dengan membentuk formasi dasar untuk imam pribumi.

Seminari Sikka, yang selanjutnya dipindahkan ke Todabelu Mataloko, dan pendirian Seminari Tinggi Ledalero sungguh menjadi sejarah baru bagi perkembangan iman dan Gereja di Flores dan Timor.

Gerakan keterlibatan umat, gerakan emansipasi juga dimotori putri-putri dar iIli di Maumere pada tahun 1920 (Maria Veronika, Lusia Lise, dan seorang sahabatnya) yang berkeinginan mengikuti Tuhan Yesus dan bekerja untuk sesama yang susah seperti yang mereka saksikan dari kehidupan para misionaris (Komisi Spiritualitas CIJ, 2015: 60).  

Karena itu dan atas dukungan Pater Jakob Köberl SVD, mereka mendatangi biara Suster-suster Abdi Roh Kudus (SSpS) di Lela tahun 1923. Tetapi karena perbedaan budaya, pendidikan yang rendah dan belum terlalu matang dalam hidup kristiani, kerinduan putri-putri sahaja ini belum dipenuhi.

Melalui pastor Paroki Nele Pater Jakob Köberl SVD, aspirasi gadis-gadis ini disampaikan kepada Mgr. Arnoldus Vestraelen SVD, Vikaris Apostolik.

Uskup meminta Pater Köberl untuk mengumpulkan mereka dan memberi bimbingan rohani “sambil menunggu waktu yang tepat” untuk menemukan Kongregasi untuk para gadis itu.

Pada tahun 1925 enam calon (Maria Veronika dan Lusia Lise dari Ili, Raimunda Roja, Yohana Hewot, Katharina Kuki, Leonarda Loar dari Nele) ditampung di asrama Susteran SSpS di Lela dengan dibimbing oleh Pater Lambert Flint,SVD sebagai direktur spiritual.

Pada tahun 1930, 14 kandidat baru memulai proses formasi di Mataloko. Para gadis perintis Kongregasi Suster CIJ ini adalah:

  1. Veronika Buik.
  2. Veronika Telik.
  3. Maria Veronika.
  4. Maria Pire.
  5. Agnes Nukak.
  6. Liberta Loar.
  7. Lusia Llise.
  8. Leonarda Loar.
  9. Antonia Kuki.
  10. Kornelia Krowe.
  11. Raimunda Roja.
  12. Aloisia Ileng.
  13. Yohana Hewot      
  14. Katarina Kuki     

Tanpa nama tarekat                              

Pater Köberl SVD ditunjuk oleh uskup sebagai moderator untuk memberi wejangan yang diperlukan dan menyiapkan regulasi untuk penerimaan kandidat.

Para kandidat ini kemudian menjadi aspiran “tanpa kongregasi” yang dipimpin oleh Sr. Helena SSpS sebagai Magistra.

Mgr. Verstraelen SVD sampai kematiannya yang mendadak dalam perjalanan mengunjungi para siswa seminari dan calon religius wanita pribumi yang sudah terkumpul di Mataloko belum sempat menemukan model Kongregasi yang tepat untuk para gadis ini.

Cita-cita para gadis ini untuk terlibat dalam pewartaan iman dan dan tindakan injili didukung secara penuh oleh penerusnya Mgr. Heinrich Leven SVD.

Saat menjabat Provikaris, beliau meliburkan para kandidat untuk menguji tekad mereka menjadi biarawati, dengan pesan:

“Kamu ke rumah masing-masing sampai pada waktunya kamu akan dipanggil. Saya akan memanggil yang lulus dengan tanda gambar Hati Mahakudus Yesus, dan yang tidak lulus saya beri tanda gambar St. Yosef menggendong anak Yesus. Calon yang lulus akan ke Jopu supaya mereka belajar dan menghayati kemiskinan seperti Keluarga Kudus Nazareth. Hidup baik-baik dan rajin berdoa.”

Tujuh calon

Tanggal 26 Mei 1933, tujuh calon yang lulus dipanggil oleh Mgr. Heinrich Leven SVD untuk memulai hidupnya sebagai calon biarawati. Mereka adalah Veronika Buik, Veronika Telik, Maria Veronika, Lusia lise, Antonia Kuki, Raimunda Roja, Yohana Hewot.

Enam kandidat lain juga turut dipanggil. Yakni, Elisabeth Bota dan Ernesti de Ornay dari Lewolaga Flotim, Angela Tahan dan Maria Belak dari Timor, Alberta Tuto dari Belang, Lembata, Petronela Pagang dari Nita, Sikka. (Komisi Spiritualitas CIJ, 2015: 70).

Jopu, desa kecil dekat Kota Ende, menjadi tempat persemaian benih iman kongregasi CIJ.

Rumah Induk Kongregasi Suster di Desa Jopu, Keuskupan Agung Ende, Flores, NTT.

Dengan ini terbukalah lembaran sejarah tentang keterlibatan gadis-gadis lokal dalam misi Gereja di Flores dan Timor.

Sejarah ini dimaklumatkan tanggal 15 Maret 1935 dengan sebuah Dekrit Pendirian Kongregasi Ketoeroetan Yesus, yang kelak dikenal dengan nama Congregation Imitationis Jesu (CIJ) pada tanggal 15 Maret 1935.

Karya nyata

Selama menjabat Uskup, Mgr. Heinrich Leven SVD mencetak banyak sejarah baru bagi Gereja lokal di Flores dan Timor, sekaligus pengangkatan martabat orang pribumi (Indonesia) dalam berbagai aspek kehidupan.

Keputusannya sangat revolusioner. Gebrakannya dalam pengentasan kemiskinan, dalam pemberantasan buta huruf dan dalam gerakan partisipasi perempuan layak menempatkannya sebagai pahlawan bagi Bumi Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor).

Dalam masa kepemimpinannya sebagai Uskup di Kepulauan Sunda Kecil ini, belau  selalu memperhatikan mereka yang kecil, lemah, sederhana sehingga diberi julukan: “Sahabat Semua Orang”.

Ia juga seorang imam biarawan yang punya semangat doa tinggi. Beliau berdoa banyak dan sering lama berdoa. Oleh kekuatan doanya, Gereja di Flores dan Timor tumbuh menjadi lebih inkulturatif dan inovatif.

Teologi Kerakyatan

Melalui perjalanan misinya dari ujung timur sampai ujung barat Flores, beliau membangkitkan “Teologi Kerakyatan” yakni tentang:

  • Pentingnya keterlibatan umat dalam karya pastoral.
  • Perlunya pemimpin yang merakyat.
  • Gereja yang tanpa sekat, selalu ada bersama dengan umatnya.

Imam SVD pribum pertama

Pada  tanggal 28 Januari 1941, Mgr. Heinric Leven SVD menahbiskan sejulah imam pribumi pertama dari vikariatnya. Mereka ini adalah alm Pastor Gabriel Manek SVD dan Pastor Karolus Kale Bale SVD di Gereja Paroki Nita, Maumere.

Belau juga menahbiskan tiga uskup baru pada tahun 1951:

  • Mgr. Gabriel Manek SVD, Uskup Keuskupan Agung Ende.
  • Mgr. Antoine Hubert Thijssen SVD, Uskup Keuskupan Larantuka.
  • Mgr. Wilhelm van Bekkum SVD, Uskup Keuskupan Ruteng.

Beliau juga ikut dalam Misa Konselebrasi penahbisan episkopal Mgr. Pieter Jan Willekens SJ (Uskup Keuskupan Jakarta, tahun 1934) dan Mgr. Frans Simons SVD (Uskup di Indoore, India, tahun 1952).

Kembali ke Steyl

Pada tahun 1952 dan karena kesehatan yang memburuk,  beliau membutuhkan perawatan intensif. Dengan sangat berat hati, Mgr. Heinrich Leven SVD mesti meninggalkan Flores menuju Rumah Induk SVD di Steyl, Negeri  Belanda.

Logo Kongregasi Suster CIJ.

Di Steyl, beliau menggunakan banyak waktu untuk berdoa bagi misi Gereja di Indonesia, khususnya Gereja di Flores, dan terkhusus Kongregasi Pengikut Yesus (CIJ) yang berhasil beliau rintis untuk didirikan.

Pada saat mau meninggalkan Flores,  Uskup Leven mengambil waktu untuk membiarkan Roh Allah terlibat dalam keputusannya.

  • Apakah akan tetap tinggal bersama anak-anak yang baru berusia 16 tahun?
  • Atau haruskah kembali memadahkan “O Crux Ave Spes Unica” secara baru dengan cara menaati Allah melalui pimpinan SVD di Roma yang telah memanggilnya untuk beristirahat di Eropa?

Ketaatannya adalah sebuah pergulatan Salib, karena sejarah mencatat kerinduan beliau untuk kembali ke Jopu: “Saya menginginkan Jopu sebagai tempat istirahatku.”

O Crux Ave Spes Unica menuntunnya untuk kemudian rela meninggalkan “putri-putrinya” dan membiarkan Roh Tuhan bekerja pada putri-putrinya. Roh itu memampukan mereka untuk berjuang menapaki waktu demi waktu dan mengukir sejarah demi sejarah.

Pesan sebelum tinggalkan Flores

Uskup Leven, sebelum meninggalkan Jopu, telah berpasrah diri.

“Saya meninggalkan kamu masih kecil, tetapi saya harap kamu kuat. Hidup baik-baik. Di dunia ini saya tidak bersama kamu lagi, nanti di Surga baru kita bersama. Pandanglah ke masa depan, ke tempat di mana Roh Yesus mengutus setiap kita untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pada masa kini.”

Uskup Leven tak lupa berpesan: “Orang miskin selalu ada pada kamu.”

Makam Mgr. Heinrich Leven SVD di Negeri Belanda.

Sabda Tuhan sendiri adalah inspirasinya: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Yoh, 12:8; Mat, 25:40)                                                  

Tuhan telah memperkenankannya mengalami kepenuhan rahmat yang terkandung dalam motto tahbisan uskupnya, “O Crux Ave Spes Unica”.

Tanggal 30 Januari 1953, Mgr. Heinric Leven SVD akhinya mampu berseru lantang: “Vivat Deus Unus et Trinus in Cordibus Nostris” (Hiduplah Allah Tritunggal dalam hati semua manusia).

Ia lalu menghembuskan nafasnya dan berpulang kepada keabadian surgawi.

Almarhum Mgr. van Bekkum SVD, Uskup Keuskuan Ruteng, memberi kesaksian dalam “In Memoriam” untuk mengenang Mgr. Heinrich Leven SVD sebagai berikut.

“Dia adalah contoh kehidupan seorang murid. Seorang murid yang melangkah di Gereja, yang mengenakan pakaian ungu seumur hidupnya sebagai uskup misionaris, tetapi tetap seorang religius sejati dan seorang putra yang setia kepada ayah rohaninya, Arnoldus Janssen.”

Mengenang 67 tahun Mgr. Heinrich Leven SVD, Pendiri CIJ – 30 Januari 1953-2020 (Selesai).

PS: Artikel ini dikerjakan bersama Sr. Lenny CIJ.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here