Mgr. Pius Riana Prapdi: Bapa Konsili Vatikan II dari Keuskupan Ketapang adalah Uskup Pertama Mgr. Gabriel Wilhelmus Sillekens CP

0
472 views
Ilustrasi: Kunjungan pastoral Mgr. Pius Riana Prapdi ke Stasi Selangkut Paroki Sepotong -- tujuh jam perjalanan dari Kota Ketapang (Mathias Hariyadi)

SELAMA ini, kita selalu mengenal berita ini. Yakni, bahwa utusan Bapa Konsili Vatikan II dari Indonesia “hanya” Mgr. Albertus Soegijapranata SJ dari Keuskupan Agung Semarang.

Bapa Konsili Vatikan II dari Keuskupan Ketapang

Berdasarkan arsip dan dokumentasi yang berhasil diulik oleh Keuskupan Ketapang di Kalbar, Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi menyebut bahwa uskup pertama Keuskupan Ketapang Mgr. Gabriel Wilhelmus Sillekens CP ternyata juga ikut datang ke Roma untuk mengikuti sejumlah sesi sidang-sidang Konsili Vatikan II.

“Dengan demikian, Mgr. Gabriel Sillekens CP juga boleh disebut sebagai Bapa Konsili Vatikan II dari Indonesia – khususnya dari Keuskupan Ketapang di Kalbar,” tutur Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi dalam pesan video yang dirilis Komisi Komsos Keuskupan Ketapang untuk Titch TV.

Dibuat dalam rangka menyambut gelaran Peringatan 60 Tahun Konsili Vatikan II yang digagas dan diprakarsai oleh IKAFITE (Ikatan Alumni Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma).

Uskup pertama Keuskupan Ketapang: Mgr. Gabriel Wilhemus Sillekens CP. (Dok CP)
Misa Tahbisan Episkopal Mgr. Gabriel Wiilhemus Sillekens CP di Gereja Katedral St. Gemma Galgani Ketapang di tahun 1962. Bangunan gereja katedral ini sudah beralih fungsi sebagai gedung pertemuan. (Dok CP-OSA/Repro MH)

60 tahun peringatan tahbisan episkopal Mgr. Sillekens CP

Pada kesempatan mengingat kembali momentum penting Peringata 60 Tahun Konsili Vatikan II (1962-1965), Mgr. Pius Riana Prapdi juga ingin mengingat kembali berkah bagi Keuskupan Ketapang di Provinsi Kalbar.

“Karena di tahun 2022 ini pula, Keuskupan Ketapang memperingati 60 tahun ditahbiskannya Mgr. Gabriel Wilhelmus Sillekens CP menjadi uskup pertama untuk Keuskupan Ketapang,” paparnya.

Mgr. Gabriel Wilhelmus Sillekens CP menerima tahbisan episkopalnya sebagai Uskup Keuskupan Ketapang pada tanggal 17 Juni 1962. Sedangkan, sesi-sesi sidang Konsili Vatikan II diawali dengan pembukaan resminya pada tanggal 11 Oktober 1962.

Prefektur Apostolik Ketapang Mgr. Gabriel Wilhemus Sillekens CP memberkati tiang pancang guna memulai projek pembangunan gedung Biara OSA di Jl Pal (sekarang bernama Jl. Jenderal Sudirman) Ketapang di awal tahun 1957. (Dok CP-OSA/Repro MH)

Buah-buah nyata Konsili Vatikan II di Keuskupan Ketapang

Karena menjadi peserta aktif dalam Konsili Vatikan II selama tiga tahun perjalanan sidang-sidangnya, maka sebagai Bapa Konsili Vatikan II tentu saja Mgr. Gabriel W. Sillekens CP teramat paham akan dinamika dan ke mana Gereja Katolik akan mengarah menuju masa depan.

Jejak-jejak hasil Konsili Vatikan II itu sungguh menampakkan hasilnya di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang di Provinsi Kalbar. Demikian penegasan Mgr. Pius Riana Prapdi.

Pertama: Pastoral Turne

Konsili Vatikan II membangun communio (bdk. Lumen Gentium a. 1) di mana di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang mulai berkembang apa yang disebut “pastoral turne”.

Yakni, imam dan uskup sering-sering berkunjung menyambangi wilayah-wilayah pedalaman untuk berjumpa dengan umat.

“Kami melakukan itu ke mana-mana. Tidak hanya para imam, tapi juga uskup ikut turun ke lapangan,” papar Mgr. Pius Riana Prapdi sebagaimana tampak dalam dokumentasi video saat melakukan turne dengan naik sepeda motor dan naik kapal motor.

“Perjumpaan umat dengan Sang Gembala memberi daya ungkit yang mendorong semakin aktifnya keterlibatan kaum awam,” terang Mgr. Pius Riana Prapdi seraya menyebut dokumen Apostolicam Actuositatem artikel 3 tentang Dekrit Kerasulan Awam produk Konsili Vatikan II

Uskup Mgr. Riana Prapdi dengan kopiah khas Dayak warna kuning tampak tengah tiduran di perut kapal motor usai melakukan turne di wilayah pedalaman Keuskupan Ketapang bersama Sesawi.Net dan Titch TV, akhir Desember 2016. (Royani Ping)
Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi menjajal keberanian dengan mengendarai sepeda motor trail untuk meniti jalan kecil basah dan licin di kawasan pedalaman Keuskupan Ketapang. (Dok. Keuskupan Ketapang)

Communio itu berkembang menjadi Gereja Indonesia – dan bukan lagi Gereja di Indonesia. Dan itu ditandai antara lain:

  • Dengan muncul dan semakin bertumbuhnya semangat solidaritas antar keuskupan.
  • Semakin terbukanya keuskupan-keuskupan untuk mengirim para imam diosesan lokalnya menjadi “misionaris domestik” karena diutus berkarya ke wilayah pastoral keuskupan lain.

Kedua: Keterlibatan kaum awam semakin banyak

Konsili Vatikan II mendorong perayaan-perayaan liturgis bertumbuh makin “mengumat”. Kini, bisa mengikuti setiap Perayaan Ekaristi selalu menjadi kerinduan umat.

Khusus di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang yang maha luas itu, tidak setiap stasi punya imam yang berdomisili permanen di wilayah itu.

Karenanya, perayaan liturgi seperti ibadat sabda dan lainnya sering kali hanya bisa dilakukan oleh umat awam yang menjadi Prodiakon. “Di situ ada semangat dan kerinduan akan pengutusan di kalangan umat juga semakin menguat,” kata Mgr. Pius Riana Prapdi.

Ilustrasi: Penyambutan meriah oleh tarian khas Bajawa dan kemudian khas Dayak mengiringi prosesi awal sebelum misa tahbisan imamat Diakon Mite Pr di Gereja MRPD Paroki Air Upas, Keuskupan Ketapang di hari Jumat tanggal 29 Juni 2018. (Mathias Hariyadi)
Ilustrasi: Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi disambut dengan tarian adat Dayak di Paroki Air Upas –sekitar 7-8 jam perjalanan darat dari Ketapang. (Mathias Hariyadi)

Perayaan Ekaristi menjadi sumber rahmat dan pokoh hidup bagi seluruh umat. (bdk. Sacrosanctum Consilium artikel 10).

Sehingga di ujung cerita yang baik ini, sekarang ini kita sungguh-sungguh menjadi Gereja Indonesia karena semua bentuk ungkapan perayaan liturgis itu tersaji di dalam kultur budaya dan bahasa lokal yang ada di tanahair Indonesia.

Ketiga: Munculnya tenaga-tenaga pewarta iman

Konsili Vatikan II menggerakkan misi pewartaan. Ini memang belum optimal, karena di Keuskupan Ketapang fokusnya masih pada upaya “mengadakan” tenaga-tenaga pewarta iman yakni para imam, para katekis, tenaga pastoral lainnya seperti Prodiakon dan lainnya. (bdk. Christus Dominus artikel 14).

Para hadirin yang mengikuti prosesi peresmian Biara dan Komunitas Awal para rahib Ordo Trappist di Pegadungan mesti rela jalan kaki di jalanan berlumpur pekat sepanjang 500 meter dari arah jalan raya di Tembelina. (Keuskupan Ketapang)
Perayaan Ekaristi bersama Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi, Abbas Pertapaan Trappist Rawaseneng Romo Gonzaga OCSO, dan Abbas Pertapaan Trappost Konigsoeven di Tilburg Negeri Belanda Romo Isaac Majoor OCSO memandai awal dimulainya keberadaan Pertapaan Trappist di Pegadungan, Kecamatan Sungai Melayu, Kabupaten Ketapang, Kalbar. (Keuskupan Ketapang)
Sr. Norbertha OSA yang dikenal oleh masyarakat Ketapang di tahun 1960-an sebagai “Suster Bidan Sepeda”. (Dok OSA/Repro MH)

Keempat: Gereja menjadi teman seperjalanan umat

Konsili Vatikan II telah menggalakkan misi pelayanan kemanusiaan. Gereja menjadi “teman seperjalanan” bagi umat – terutama di wilayah-wilayah pedalaman. (bdk. Lumen Gentium artikel 24)

Akhirnya, proficiat bagi Ikafite (Ikatan Alumni Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma).

Karena telah berprakarsa mau menggelar kegiatan dan acara Peringatan 60 Tahun Konsili Vatikan II di kampus Fakultas Teologi Kepausan Wedabhakti dan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Sabtu 15 Oktober 2022 pekan lalu.

Hari Ini Memberi Cerita, Besok Memberi Kenangan by Sr M. Ludovika OSA
Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi berkopiah khas Dayak menyusuri Sungai Laur dalam perjalanan pastoral turne bersama Sesawi.Net dan Titch TV, akhir Desember 2016. (Royani Ping)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here