Minggu Biasa 16, B; 22Juli 2018: Yang Sukses, Menyendiri, Yang Percaya, Mencari

0
966 views
Yesus berkotbah di atas bukit. (Ist)

Yer. 23: 1-6; Ef. 2:13-18; Mrk. 6:30-34

Injil hari ini agak mengherankan. Para murid baru kembali dari pengutusan mereka yang sukses. Yesus mengajak mereka beristirahat dan menyendiri; mereka naik perahu ke seberang. Orang banyak yang tahu kemana Yesus dan para murid-Nya pergi, mendahului mereka ke tempat itu. Bagaimana mungkin, orang jalan kaki, berjalan mengelilingi danau dapat sampai lebih dahulu daripada orang yang mengambil jalan lurus, naik perahu menyeberang?

Nampaknya para murid kembali kepada Yesus sambil diikuti orang banyak yang mendengar dan menyaksikan ajaran dan kuasa mereka. Sehingga mereka menjadi begitu sibuk. Dicatat oleh Markus: makan pun mereka tidak sempat.

Nampaknya mereka menyendiri di perahu; berlama-lama di tengah danau bersama Yesus; melihat kembali pengalaman mereka dan mendengarkan ajaran Yesus. Baru sesudah itu mereka menyeberang dan kembali melayani orang banyak; orang yang sudah menyaksikan dan mendengar ajaran dan kuasa para rasul dan sekarang ingin bertemu dengan Yesus sendiri.

Ada dua hal yang layak kita renungkan.

Para murid mendapat sukses besar. Banyak orang yang mendengar, menjadi percaya, mau mengikuti mereka kembali ke Kaparnaum. Dan sekarang mereka memilih sendirian bersama guru dan Tuhan mereka; merenungkan kembali pengalaman dan perjalanan mereka bersama Tuhan.

Berapa banyak di antara kita yang dalam sukses, sempat merenung dalam kesendirian bersama Tuhan? Biasanya kita bersuka cita menikmatinya; kalau hati kita baik, kita mengadakan syukuran, bersaksi kemana-mana.

Sehabis kunjungan tamu-tamu penting di pertapaannya, para murid heran melihat guru berkeringat menimba air dan mengepel lantai. Ketika ditanya, mengapa ia berbuat demikian, sang guru menjawab: “Saya sedang membuang keringat kesombonganku.” (Alumni Kanisius: “Apa yang Kita Sombongkan?”)

Hal lain adalah orang banyak yang menyusul dan mendahului Yesus bersama para murid-Nya. Pertemuan mereka dengan para murid, membuat mereka lebih tertarik lagi untuk mengenal Yesus, guru dan Tuhan para murid itu.

Tindakan ini juga tidak biasa. Orang banyak cenderung puas dengan apa yang dialaminya secara rohani. Kapan-kapan kalau pengkotbah yang hebat itu datang, kita akan mendengarkannya lagi. Begitu kecenderungan kita. Tetapi mereka mau bersusah payah mengikuti para murid dan mau cape-cape berjalan cepat menyusul dan mendahului Yesus dan rombonganNya. Mereka ingin tahu lebih banyak dan tidak takut membuang waktu, tenaga dan biaya untuk mencari Yesus.

Tetapi berapa orang yang sungguh mau terlibat dan mencari Tuhan? Kita takut disebut fanatik. Bahkan sering pengalaman hebat secara rohani, tidak membuat kita ‘fanatik’ dalam arti positif: sungguh-sungguh memilih Tuhan sebagai prioritas dalam hidup kita.

Pada saat jatuh, pada saat goyah, kita biasa mencari Tuhan. Tetapi pada saat sukses dan pada saat kita teguh percaya, para rasul dan orang banyak memberi kita petunjuk bagaimana hidup dijalani berpusat pada Tuhan. Kristus perduli pada para murid-Nya, Ia berbelas kasih pada orang banyak. Tuhan ada dan peduli pada hidup kita.

Seorang pemuda mengenang masa kecilnya. Ia harus pakai kaus kaki yang sudah kendur, selalu merosot ke dalam sepatunya. Ibunya memberi dia karet gelang untuk menahan kaus kaki itu di tempatnya. Waktu itu ia tidak sadar, orang tuanya tidak punya uang untuk membelikannya kaus kaki baru. (Bo Sanchez:”I Love Rubber Bands”)

Bahkan sampai saat ini, ada bekas lingkaran di pergelangan kakinya akibat ikatan karet di kakinya itu. Dia heran, bahwa ia tidak pernah mengeluh. Setelah direnungkannya, ia yakin, itu karena ayahnya selalu ada di rumah pada saat ia membutuhkannya.

Tiap malam, waktu sudah pulang dari kerja, ayahnya duduk bersamanya dan bercerita tentang Tarzan, Superman dan mendengarkan ocehan anaknya tentang cita-cita masa depannya. Hari Sabtu mereka ke pasar, beli jajan dan beli karet gelang baru sebelum pulang. Ia sadar, orang yang dicintainya, tidak perlu menunjukkan cintanya dengan cara luar biasa. Yang diinginkan cuma supaya ia ada di rumah.

Begitu juga dengan Tuhan. Mungkin Tuhan tidak langsung menjawab doa kita, menyembuhkan penyakit kita atau menghilangkan masalah kita. Tapi Tuhan ada bersama kita, menemani kita, menangis bersama kita. Atau, seperti ayah anak itu, Tuhan memberi kita “karet gelang’ untuk sekedar menghibur kita. Dan hiburan kecil itu sudah cukup untuk membuat kita bertahan.

Karena kita tahu, Tuhan ada di rumah bersama kita. Dia ada, waktu kita senang, waktu kita teguh. Dia ada waktu kita susah, waktu kita goyah. Semoga bersama Dia kita tumbuh lebih bahagia dan lebih setia lagi kepadaNya. Amin.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here