Bacaan:
- 2Raj. 5:14–17
- 2Tim. 2:8–13
- Luk. 17:11–19
KESIMPULAN Yesus menjadi dasar permenungan kita: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini? Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”
Bagaimana nasib yang sembilan orang lainnya? Tetap sembuh atau kembali sakit?
Saya rasa, kalau syarat untuk sembuh adalah harus bersyukur kepada Yesus, sebagian besar yang disembuhkan harus dibatalkan kesembuhannya. Apalagi kalau diukur dari berapa banyak yang ikut berduka di bawah salib Yesus — pasti sedikit sekali. Mereka memang sembuh, tetapi apakah mereka selamat? Apakah mereka mengalami: “Iman menyelamatkan”?
Sakit kusta merupakan penyakit lahir dan batin. Secara fisik, tubuh orang yang sakit kusta dihancurkan sedikit demi sedikit. Secara sosial, mereka menjadi orang terbuang, tidak boleh hidup bersama masyarakat di kampung atau kotanya. Secara emosional, mereka adalah orang yang putus asa dan tanpa harapan. Secara iman, mereka merasa sebagai orang terkutuk dan dihukum Tuhan.
Maka, ketika sepuluh orang itu sembuh, tentu semua merasa ada ungkapan syukur yang meluap dalam hatinya. Namun, sembilan orang Yahudi di antara mereka merasa bahwa pengesahan dari imam -bahwa mereka sudah sembuh- jauh lebih penting daripada kembali kepada Yesus. Dengan pengesahan dari imam, mereka bisa kembali kepada keluarga dan masyarakatnya.
Tetapi orang Samaria yang satu itu melihat sesuatu yang baru dalam pengalaman hidupnya. Bagi dia, menjadi sembuh dari kusta bukan sekadar pulih seperti dahulu, melainkan perjumpaan dengan sosok luar biasa -Yesus- yang memberinya hidup baru.
Dalam hidup kita sehari-hari, kita sering mengalami berkat Tuhan dalam berbagai situasi. Namun, seperti sembilan orang kusta itu, tidak selalu pengalaman berkat mengubah hidup kita. Peristiwa itu bisa memberi rasa senang, lega, puas, bangga – tetapi hanya sekejap, lalu berlalu. Itulah yang terjadi pada orang-orang Yahudi itu: mereka sembuh, tetapi tidak mengalami keselamatan.
Suatu kali saya menunggu di sebuah bandara untuk menjemput seorang teman. Saat mencari di antara kerumunan penumpang yang baru turun dari pesawat, saya melihat seorang pria berjalan ke arah saya sambil membawa dua tas di tangannya. Ia berhenti di samping saya untuk menyapa keluarganya.
Pertama, ia memeluk anak laki-lakinya yang masih kecil (sekitar enam tahun). Saat mereka saling menatap, sang ayah berkata, “Sangat senang bisa melihatmu, Nak. Aku sangat merindukanmu.”
Anaknya tersenyum malu-malu dan menjawab pelan, “Aku juga, Ayah.”
Kemudian pria itu berdiri dan menatap anak laki-lakinya yang lebih besar (sekitar sembilan atau sepuluh tahun). Sambil memegang wajah anaknya ia berkata, “Kamu sekarang sudah jadi pemuda. Aku sangat mencintaimu, Zach.”
Mereka pun berpelukan dengan penuh kasih.
Ketika melihat bayi perempuannya, ia langsung mengambilnya dari gendongan ibunya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Halo, gadis kecil.” Bayi itu langsung mendekap ayahnya dan meletakkan kepalanya di pundak sang ayah – tampak begitu nyaman.
Setelah beberapa saat, ia menyerahkan anak perempuannya kepada anak laki-laki tertuanya dan berkata, “Aku menyimpan yang terbaik untuk yang terakhir.”
Lalu ia mencium istErinya dengan penuh kemesraan dan kerinduan. Menatap mata istErinya, ia berkata, “Aku sangat mencintaimu!” Mereka saling menatap dengan senyum bahagia, tangan mereka saling berpegangan.
Dengan rasa penasaran, saya menghampiri keluarga itu.
“Wow. Sudah berapa lama kalian menikah?” tanya saya.
“Sudah saling mengenal empat belas tahun; dua belas tahun di antaranya kami jalani dalam pernikahan,” jawab pria itu tanpa melepaskan tatapannya dari wajah istErinya yang cantik.
“Kalau begitu, sudah berapa lama kamu meninggalkan mereka?” tanya saya lagi.
Pria itu menoleh dan tersenyum penuh sukacita, “Dua hari.”
Dua hari? Saya tertegun. Dengan penyambutan seperti itu, saya kira ia telah pergi selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Melihat ekspresi saya, pria itu tersenyum dan berkata, “Jangan hanya berharap, teman. Putuskanlah.”
Kemudian, sambil menjabat tangan saya, ia berkata, “Tuhan memberkati.”
Jika kita hanya berharap, harapan itu tidak akan pernah terwujud. Putuskanlah kehidupan seperti apa yang kita inginkan dan wujudkan dengan kerja keras setiap hari. Dengan anugerah Tuhan, kita akan menikmati terwujudnya semua harapan itu. (Michael D. Hargrove, Jangan Berharap, Putuskanlah.)
Seperti orang Samaria yang disembuhkan, ia mengalami perubahan hidup dalam Tuhan Yesus. Menjadi saksi kehidupan kasih dalam keluarga itu adalah pengalaman iman. Bertekad untuk mewujudkannya dalam hidup kita – itulah iman yang menyelamatkan.
Semoga hidup kita senantiasa disegarkan dan dihidupi oleh berbagai sikap iman yang menyambut serta menanggapi setiap berkat yang kita terima setiap hari dalam hidup. Amin.