Minggu Palma 13 April 2025: Menyambut Yesus di Yerusalem

0
73 views
Ilustrasi: Iring-iringan perarakan perayaan misa Minggu Palma di halaman Kampus Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI), Cikarang, Bekasi, Minggu 02/04/2023.

Lukas 19:28-40

DALAM upacara perarakan Minggu Palma tahun ini, dibacakan kisah Yesus memasuki Yerusalem menurut Lukas 19:28-40. Perjalanan ini akan berakhir dengan penolakan para pemimpin dan penyaliban, namun juga dengan kebangkitan.

Tiga kali hal ini telah dinyatakan Yesus kepada para murid, tetapi mereka menganggapnya tak masuk akal. Meskipun demikian, Yesus tetap mengarahkan pandangannya ke Yerusalem, seperti dinyatakan dalam Lukas 9:51: “Ketika hampir tiba waktunya Yesus diangkat ke surga, Ia mengarahkan pandangannya untuk pergi ke Yerusalem.”

Dalam ayat itu, Yerusalem ditulis Lukas sebagai Ierousaleem – nama kota menurut kebiasaan Yahudi. Nama ini bisa dipelesetkan sebagai “Yeru-zalim“, yakni kota yang digambarkan Lukas sebagai tempat yang menolak kedatangan-Nya. Namun, dalam Lukas 19:28 yang dibacakan hari ini, disebutkan bahwa “Setelah mengatakan semuanya itu, Yesus mendahului mereka dan meneruskan perjalanannya ke “Hierosolyma” – nama Yunani untuk kota itu. Dengan menggunakan nama Yunani, Lukas tampaknya ingin menyampaikan bahwa kota ini bersedia menerima kedatangan-Nya – bisa juga diperdengarkan sebagai “Yeru-syalom“.

Mari kita lihat bagaimana kota itu menyambut-Nya.

Berteologi dengan tindakan

Yesus memasuki Yerusalem –Hierosolyma– dengan menunggang seekor keledai muda yang belum pernah ditunggangi siapa pun. Dialah penunggang pertamanya.

Apa maknanya? Orang-orang Israel yang menantikan kedatangan Mesias dari Tuhan akan segera menangkap simbol ini. Mereka mengingat nubuat Nabi Zakharia (Za 9:9) tentang kedatangan Raja Mesias di Sion-Yerusalem. Dalam kisah menurut Matius, nubuat ini dikutip secara langsung (Mat 21:5):

“Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai Puteri Sion, bersorak-sorailah, hai Puteri Yerusalem. Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.”

Di dalamnya terasa luapan kegembiraan menyongsong Sang Raja. Ia adil – artinya raja bagi semua orang; ia jaya – datang dengan penuh kekuatan; dan walau penuh kebesaran, ia hadir dengan kelembutan, merasakan kebutuhan dan penderitaan umat-Nya.

Kebesaran-Nya tercermin pula dalam sikap orang banyak yang menghamparkan pakaian di jalanan (Luk 19:36), agar Ia lewat tanpa menjejak tanah – adamah (tanah, dalam Ibrani), simbol kemanusiaan yang rapuh. Ia adalah Raja yang penuh kuasa ilahi. Orang-orang yang menyambut-Nya memahami makna tindakan ini. Mereka adalah warga Hierosolyma, bukan Ierousaleem.

Nubuat Zakharia berlanjut: “Ia akan melenyapkan kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem; busur perang akan dilenyapkan, dan ia akan memberitakan damai kepada bangsa-bangsa.” (Za 9:10).

Jadi, kedatangan-Nya bukan sekadar tontonan religius, melainkan peristiwa pembawa damai. Di kota ini, orang tak lagi takut akan kekerasan atau kehilangan harapan. Inilah buah pertama dari menerima kedatangan-Nya.

Yang tidak setuju?

Hanya Injil Lukas yang mencatat percakapan antara kaum Farisi dan Yesus dalam peristiwa ini. Mereka berkata, “Guru, tegurlah murid-murid-Mu itu.” (Luk 19:39).

Kekhawatiran mereka mungkin masuk akal—takut terjadi keonaran menjelang hari raya di bawah pengawasan ketat Romawi. Tapi ada alasan lain: mereka resah terhadap cara Yesus “berteologi” di hadapan umum. Bagi mereka, seorang guru yang terhormat seharusnya mengajarkan doktrin, bukan beraksi teologi di jalanan. Itu dianggap tak pantas.

Namun Yesus menjawab: “Aku berkata kepadamu: jika mereka ini diam, maka batu-batu ini akan berteriak.” (Luk 19:40).

Sebuah reaksi tajam, tapi penuh makna. Yesus menyadari bahwa bila manusia tidak peka terhadap makna kehadiran-Nya, maka alam akan berbicara. Bahkan batu-batu jalanan -yang diam sekalipun- mengamati peristiwa ini.

Masuknya Yesus ke Yerusalem tidak hanya disambut manusia, tetapi juga dicermati semesta. Namun, saat ini masihlah masa manusia – waktunya kita berbicara, bersaksi. Jika manusia bungkam seperti warga Ierousaleem, maka akan tiba saatnya alam bersuara keras.

Di Golgota, alam memang “berteriak”: terjadi gempa, bukit-bukit batu terbelah, kubur terbuka, dan arwah orang kudus bangkit (Mat 27:51-53). Tetapi hanya mereka yang menerima-Nya yang dapat ikut serta dalam karya keselamatan ini. Kini masih ada waktu untuk berpindah ke Hierosolyma, kota damai.

Kisah Sengsara (Lukas 22:14–23:56)

Tanya: Anda pernah menafsirkan Kisah Sengsara demikian: Kisah tragis manusia tak berdosa itu (Yesus) disampaikan kepada orang banyak bukan agar orang terharu dan meratapinya, melainkan untuk membuat orang makin peka menyadari sampai di mana kekuatan-kekuatan jahat dapat memerosotkan kemanusiaan. Juga untuk mempersaksikan bahwa Yang Ilahi tidak bakal kalah atau meninggalkan manusia sendirian. Inilah kabar baik bagi semua orang.” Tolong diterangkan lebih lanjut.

Jawab: Bagi pembaca yang mendalami warta Injil, Yesus ditampilkan secara khas:

  • Dalam Markus, Ia adalah pribadi yang patut diimani, karena datang sebagai utusan Tuhan.
  • Dalam Matius, kebesaran-Nya tampak dalam keikhlasan menjalani penderitaan.
  • Dalam Lukas, Ia mempersembahkan penderitaan manusia di hadapan Bapa – Yesus sebagai martir demi semua orang.
  • Dalam Yohanes, penderitaan dan kebangkitan-Nya menegaskan kekuatan rohani dari iman akan Bapa yang Maharahim.

Tanya: Kisah Sengsara yang dibacakan pada Minggu Palma diambil dari Lukas 22:14–23:56. Apa kekhususannya?

Jawab: Di saat terakhir, Yesus berseru: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawa-Ku.” (Luk 23:46). Ia tampil sebagai pribadi yang tabah, menyerahkan diri kepada Bapa demi kemanusiaan. Dalam versi Lukas, Yesus adalah martir, bukan sekadar korban. Ia menyerahkan dirinya kepada Bapa, dan kebangkitan-Nya adalah jawaban Tuhan bagi umat manusia: harapan itu tidak sia-sia.

Tanya: Tapi bukankah istilah “martir” sekarang kerap dikaitkan dengan kekerasan?

Jawab: Tepat. Maka penting untuk tidak memahami Kisah Sengsara sebagai ajakan meratapi, tetapi sebagai Kabar Gembira. Dalam Injil Lukas, penderitaan dan wafat Yesus adalah kesaksian manusia kepada Tuhan atas kemerosotan martabat manusia. Kebangkitannya adalah kesaksian Tuhan kepada manusia, bahwa Dia hadir dan tidak tinggal diam.

Tanya: Apakah penderitaan yang dipersaksikan kepada manusia tidak berguna?

Jawab: Bukan begitu maksudnya. Solidaritas atas penderitaan sesama itu penting. Namun, Kisah Sengsara adalah warta Injili – berita baik. Wafat Yesus menunjukkan kepada Tuhan bahwa kemanusiaan telah begitu rusak oleh kekerasan, hingga sulit dikenali.

Maka Yesus berseru, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” Dan Tuhan menjawab dalam peristiwa kebangkitan: Yesus bangkit sebagai Sabda Tuhan kepada manusia. Melalui-Nya, kita mengenali kembali wajah Tuhan: “Dia itu Tuhan.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here