Home BERITA Minggu Palma 25 Maret 2018: Arah Cerah di Saat Gelap

Minggu Palma 25 Maret 2018: Arah Cerah di Saat Gelap

0
Ilustrasi Minggu Palma (Ist)

REKAN-rekan yang baik,

Bacaan bagi perarakan Minggu Palma kali ini (Mrk 11:1-10) mengisahkan bagaimana Yesus disambut meriah oleh orang banyak ketika memasuki kota Yerusalem. Mereka telah mendengar pelbagai tindakan penyembuhan dan pengusiran roh jahat serta pengajarannya mengenai Kerajaan Allah.

Mereka sadar, Dia ini Mesias yang sudah lama ditunggu-tunggu. Harapan mereka, Allah segera akan membuat Mesias-Nya menunjukkan kebesaran-Nya di kota suci-Nya. Dan memang akan terjadi demikian.

Tetapi kebesaran Mesias ini berbeda daripada yang diidam-idamkan. Guna menyelaminya, marilah kita ikuti Kisah Sengsara pada Minggu Palma ini (Mrk 14:1-15:47) serta memetik hikmatnya.

Para imam kepala dan Ahli Taurat merasa terancam oleh kehadiran Yesus karena ia hendak mengubah pusat ke-Yahudi-an, yakni Bait Allah, menjadi rumah doa bagi semua orang (lih. Mrk 11:17a = Yes 56:7) dan bukan sebagai lambang identitas orang Yahudi belaka. Mereka juga tidak menyukai ajaran Yesus bahwa manusia boleh mendekat kepada Allah dan memanggil-Nya “Bapa”.

Bagi para pemimpin tadi, sebutan ini sebuah hujatan. Oleh karenanya,  mereka berupaya menyingkirkan Yesus dengan “diam-diam”, tanpa mengungkapkan alasan yang sesungguhnya (14:2). Dan lewat penguasa Romawi, mereka berhasil membuatnya dihukum mati pada salib.

Mengapa Ia disalibkan?

Bagi para pengikutnya, riwayat Yesus tidak tamat dengan penyaliban dan penguburannya. Ia tetap diingat. Kenangan ini menjadi sumber keteguhan kebenaran yang dipersaksikan Yesus di salib dan diakui oleh kepala pasukan (Mrk 15:39 “Orang ini benar Anak Allah”).

Kenangan akan Yesus bahkan dikembangkan serta diperkaya dengan pengalaman orang-orang yang tidak mengenalnya secara pribadi. Dan kenangan ini menjadi sumber keteguhan iman mereka.

Contoh paling jelas ialah tulisan-tulisan Paulus. Lain lagi Kisah Para Rasul yang menjelaskan keteguhan itu sebagai karya Roh Kudus. Injil-injil kemudian menjelaskannya dengan memakai gagasan dasar yang berasal dari Yesus sendiri, yakni kedatangan Kerajaan Allah yang diperkenalkannya sebagai “Anak Allah”, orang yang amat dekat pada-Nya.

Begitulah Kerajaan Allah itu menjadi kenyataan dalam kehidupan. Orang diajak menyambut kerajaan ini dan semakin menghidupinya.

Menjalani saat-saat gelap

Pengurapan Yesus di Betania oleh seorang perempuan (14:3-9), seperti dikatakannya sendiri, menjadi gelagat bagi perawatan jenazahnya nanti. Akhir hidupnya nanti juga menjadi pokok yang diutarakannya dalam perjamuan terakhir (14:12-21). Dikatakannya, di antara murid-muridnya ada yang akan menyerahkannya kepada para imam (14:21-21).

Roti dan anggur yang dibagikannya pada kesempatan itu ditampilkannya sebagai tubuh dan darahnya – kehidupannya – yang sebentar lagi akan menjadi kurban yang meresmikan Perjanjian yang Baru (14:22-24), maksudnya kesediaan Allah dan kesetiaan manusia. Inilah yang menumbuhkan Kerajaan Allah. Pada saat-saat ini dari pihak manusia yang diminta ialah kesetiaan, bukan cetusan kesediaan yang sulit dipenuhi. Petrus menyatakan bersedia mati bersamanya malah, tapi akhirnya mengingkarinya sampai tiga kali (14:29-31; dan memang terjadi demikian 14:66-72).

Malamnya,  Yesus dan murid-murid-Nya berada di luar tembok kota bagian timur, di tempat yang bernama Getsemani. Sementara ketiga murid terdekatnya tertidur, Yesus berdoa menyerahkan diri pada kehendak Bapa-Nya (14:32-42). Akhirnya datang Yudas bersama para penangkap (14:43-52). Penangkapan Yesus ini membuat murid-muridnya tercerai-berai, seperti nubuat Zakhariah yang dikutip Yesus (14:27 = Zakh 13:7). Tapi mereka akan berkumpul kembali dengannya di Galilea (14:28).

Malam itu juga Yesus digiring ke Sanhedrin, Mahkamah Agama yang berwenang mengadili perkara-perkara yang bersangkutan dalam kehidupan agama dan masyarakat Yahudi. Macam-macam tuduhan dilancarkan, tetapi tidak satu pun dapat ditunjukkan dasarnya. Saksi palsu mengatakan Yesus akan merusak Bait dan membangunnya kembali. Yesus tidak membela diri (14:57-61a). Ketika ditanya Imam Agung apakah ia itu Mesias, Yesus tidak menyangkal dan malah mengatakan bagaimana Ia nanti akan dimuliakan di kanan Allah dan akan kembali ke dunia (14:61b-62).

Jawaban ini dianggap hujatan dan mendatangkan hukuman mati. Tetapi Sanhedrin tidak dapat menjatuhkan hukuman mati. Maka mereka membawanya kepada penguasa Romawi, Ponsius Pilatus, dan mengajukan tuduhan politik, yakni Yesus menyatakan diri raja orang Yahudi (15:1-3).

Pilatus berusaha melepaskan Yesus dengan meminta orang-orang Yahudi memilih siapa yang patut dibebaskannya pada hari raya mereka: Yesus atau Barabas. Mereka menghendaki Barabas, yang justru seorang pemberontak dan pembunuh (15:6-11). Pilatus terpaksa menuruti. Ia memutuskan Yesus disalib dan membiarkan serdadu-serdadu menderanya terlebih dahulu (15:12-15) Mereka memasangkan mahkota duri di kepalanya dan mempermainkannya sebagai raja.

Yesus memanggul salib ke Golgota, nama Aram yang artinya “Tempat Tengkorak”, sebuah bukit di kawasan barat Yerusalem. Di tengah jalan habislah tenaganya. Simon dari Kirene yang kebetulan lewat dipaksa memikul salib Yesus. Terpikir, seandainya tak ada Simon Kirene, bisa jadi Yesus tidak akan sampai ke Golgota dan sejarah umat manusia akan amat berbeda. Perjumpaan dengan orang yang tidak dikenal juga menjadi jalan penebusan umat manusia.

Penyaliban Yesus dicatat Markus terjadi pada pukul sembilan pagi, pada salibnya dipasang tulisan “Raja Orang Yahudi” dan bersama dia disalibkan juga dua orang penyamun (15:25-27).

Pada pukul tiga sore Jumat itu, ia menyerukan doa keluhan Mzm 22:2, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dalam keadaan sekarat ia diberi minum anggur asam.

Inilah saat Yesus berseru dengan suara nyaring dan menghembuskan nafas terakhir (15:37). pada saat yang sama tirai Bait Suci terkoyak dua dari atas ke bawah (15:38) dan kepala pasukan di tempat penyaliban menyatakan bahwa Yesus itu benar Anak Allah (15:39). Kematian-Nya disaksikan para perempuan yang telah mengikuti dan melayaninya mulai Galilea hingga ke Yerusalem (15:40-41).

Sebuah Narasi Kesaksian

Bagian terakhir Kisah Sengsara menceritakan penguburan Yesus petang hari Jumat menjelang hari Sabat. Yusuf Arimatea, anggota Sanhedrin, mendapat izin dari Pilatus untuk menguburkan jenazah Yesus setelah mengkafaninya. Begitulah Yesus dibaringkan di pemakaman yang kemudian ditutup dengan batu. Maria Magdalena dan Maria ibu Yesus menyaksikan penguburan ini (15:42-47).

Pelbagai macam dambaan, idaman, impian, perhitungan yang dikenakan pada Yesus kini memang ikut terkubur. Tetapi banyak dari harapan itu sebetulnya bukanlah yang diajarkan-Nya, seperti halnya penegakan kembali Kerajaan Daud, kejayaan politik serta kekuasaan bagi para pengikutnya di hadapan kaum mapan di Yerusalem.

Apa yang tersisa?

Ada kesaksian yang tak diragukan dari orang-orang paling dekat dengan-Nya, yakni bahwa pada dini hari Minggu, yaitu hari ketiga mulai dari hari penguburan-Nya, mereka mendapati makamnya kosong tanpa ada yang memindahkan jenazahnya.

Ia sudah bangkit. Para pengikut Yesus percaya bahwa Allah tidak membiarkan Yesus tetap berada di antara orang mati. Dia dibangkitkan. Yesus menerima hidup baru dari Allah Bapa-Nya sendiri. Hidup baru ini  kini dapat dibagikannya kepada siapa saja.

Inilah kenyataan Kerajaan Allah yang diajarkan oleh Yesus dan dipersaksikan-Nya dengan salib, kematian, serta kebangkitan-Nya. Yang percaya juga boleh berharap ikut serta dengan Dia yang bangkit itu.

Inilah harapan yang tak bisa terkubur.

Kisah Sengsara dalam Injil bukanlah laporan pandangan mata, melainkan sebuah narasi kesaksian orang-orang yang paham serta percaya bahwa sengsara dan kematian Yesus terjadi dalam rangka pengabdian-Nya untuk membangun kembali hubungan baik antara manusia dan Allah.

Kisah sengsara-Nya memperlihatkan betapa merosotnya kemanusiaan yang menolak kehadiran Yang Ilahi. Ditegaskan dalam kesaksian ini bahwa orang yang pasrah menerima kehadiran Allah akan menerima kehidupan sejati – seperti Yesus yang kemudian dibangkitkan dari kematian-Nya. Kisah tragis manusia tak berdosa itu dipersaksikan bagi orang banyak bukan untuk memicu rasa terharu, melainkan untuk membuat kita makin menyadari sampai di mana kekuatan-kekuatan jahat dapat memerosotkan kemanusiaan.

Juga untuk mempersaksikan bahwa Yang Ilahi tidak bakal kalah atau meninggalkan manusia sendirian. Inilah kabar baik bagi semua orang.

Kisah sengsara menurut Markus ialah bagian paling awal dari Injil dan baru mulai disusunnya pada awal tahun 70-an, jadi empat dekade sesudah Yesus wafat, dan di Roma, dan bukan di negeri tempat Yesus pernah hidup. Baru setelah itu disertakannya pula kisah-kisah mengenai tindakan dan pengajarannya di sepanjang perjalanan dari Galilea menuju ke Yerusalem tempat ia menderita sengsara.

Sepuluh tahun kemudian,  Matius menyusun kembali tulisan Markus menjadi beberapa kumpulan pokok pembicaraan dan tindakan Yesus. Matius juga menyisipkan bahan-bahan mengenai perkataan Yesus yang sudah beredar waktu itu dan menyertakan bahan khas dari Matius sendiri, antara lain kisah kelahiran Yesus. Sementara itu, Lukas juga mengolah kembali Markus sambil menambahkan bahannya sendiri, seperti misalnya kisah kelahiran dan masa kanak-kanak Yesus. Lukas juga menyertakan bahan dari kumpulan kata-kata Yesus yang juga dipakai Matius.

Baru pada tahun 90-an Yohanes menyelesaikan Injilnya. Ia tidak memakai Markus sebagai dasar seperti Matius dan Lukas. Ia menulis atas dasar gerak pengalaman batin orang percaya akan Yesus sang Sabda yang menerangi jagat.

Dari Bacaan Kedua: Madah tentang Kristus  (Fil 2:6-11)

Bacaan ini sebaiknya didengarkan sebagai  madah pujian  bagi Kristus, yang meskipun sejatinya dalam  rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, tetapi  telah mengosongkan dirinya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan  manusia. Dan  dalam keadaan sebagai  manusia ia telah merendahkan dirinya  dan taat sampai mati…

Begitulah ayat 6-8.

Dalam mendalami  bacaan ini  sebaiknya dimengerti bahwa ungkapan mengenai  “pengosongan diri”, “merendahkan  diri” bukan  dimaksud sebagai anjuran bagi pengikut Kristus untuk menirunya.

Tujuan bacaan ini ialah untuk membuat pendengar mengerti dan menghargai betapa besarnya pengorbanan  yang telah dijalani Kristus demi membuat Diri sama seperti  manusia. Dengan  demikian orang akan makin dekat padanya.

Ini semua membuat  Allah meninggikan-Nya  dan mengaruniakan pada-Nya  nama luhur yang diakui kebesarannya semua ciptaan. Inilah yang ditegaskan dalam ayat 9-1.  Mengakui kebesaran ilahi  yang bersedia mendekat ke kemanusiaan, itulah inti iman para pengikut Kristus. Pengakuan ini  jugalah yang membuat manusia dekat kembali dengan Allah.

Dalam arah itu maka kemanusiaan  bisa menjadi sungguh sama dengan yang diinginkan Pencipta, yakni menjadi “rupa” dan “kesamaan” dari Allah sendiri seperti  terungkap dalam Kej 1:27. Gagasan inilah yang mendasari madah tentang Kristus dalam bacaan kali ini.

Kristus digambarkan sebagai manusia seperti dikehendaki Pencipta sendiri, yakni menjadi serupa  dan memiliki kesamaan  tetapi toh tidak bermaksud menyamai-Nya, bahkan merendah dan menjadi hamba, maksudnya, bersedia menjalankan keinginan tuannya. Dan  hamba yang seperti  ini akan diberi kehormatan besar oleh tuannya di rumahnya.

Salam hangat, A. Gianto

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version