Misionaris Awam: Merauke Misiku Pertama, Sejak Itu Hidupku Berubah

1
671 views
Bermisi di Merauke di ujung tenggara Papua, bersama mama-mama. (Dok. Eustakia Esti)

MERAUKE, Papua: 2017-2018

“Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak, dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28: 19–20)

Aku pandangi langit dari balik kaca pesawat. Gelap saja terlihat, waktu menunjukkan sekitar pukul 23.00 WIB. Mungkin ini penerbangan termalam dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.

Aku masih merasa gamang, perut agak sakit melilit, sekalipun kami baru saja menyantap nasi goreng di salah satu gerai fastfood di ruang tunggu bandara.

Aku tersenyum dan mengingat wajah sahabatku, Yesus. Hanya karena Dia-lah, maka aku saat ini mengangkasa membawa misi yang masih belum kupahami benar bagaimana akhirnya.

Pagi tanggal 24 Oktober 2017, sekitar pukul 07.00 WIT, disambut teriknya matahari akhirnya aku menginjakkan kaki di Bandara Mopah, Merauke.

Destinasiku yang pertama

Benar, Merauke-lah tempat misiku pertama sebagai misionaris awam. Merauke akan menjadi rumah baru, yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, setidaknya untuk satu tahun ke depan.

Di sanalah aku menyatu dengan alam, adat istiadat, wajah-wajah lugu penduduknya, menemukan keluarga baru yang bukan darah dagingku.

Dan nantinya aku akan menemukan suatu kekuatan perjalanan hidup sesungguhnya yang dibentangkan Tuhan buatku. Bentangan-Nya bukan sekedar dari Sabang sampai Merauke. Namun dari hidup, setengah mati, dan kembali dihidupkan Tuhan.

Bentangan hidupku sendiri.

Bersama teman-teman pewarta misioner. (Dok. Eustakia Esti)
Bersama teman-teman pelayanan. (Eustakia Esti)

Bersama sejumlah teman

Aku berangkat ke “Tanah Misi” di Merauke ini  bersama rekan-rekanku. Semuanya berasal dari berbeda daerah. Hanya Fanny temanku yang berasal dari kota Malang, kota tempat asalku.

Total kami bersembilan yang akan melayani di daerah Merauke ini. Bang Agus, Silvy, Lana, Sam, Gego, Fanny, Mama Ita, Bu Sri, dan aku. Empat yang pertama adalah misioner senior yang telah melayani bertahun-tahun di tanah misi.

Pusat Spiritualitas Karmel

Kami tinggal di sebuah Rumah Retret Komunitas, yaitu Pusat Spiritualitas Karmel, di Kampung Sirapu, Merauke.

Kami sendiri adalah misionaris awam yang berasal dari Komunitas Tritunggal Mahakudus, saudara bungsu Kongregasi yang didirikan oleh Romo Yohanes Indrakusuma CSE.

Saudara tertua kami adalah Puteri Karmel dan saudara kedua kami adalah Carmelitae Sancti Eliae atau disingkat CSE.

Aktifitas keseharian kami di sana dimulai doa hening dan brevir harian pada pukul 04.30 WIT. Dilanjutkan tugas harian, seperti memasak yang dijadwalkan bergantian sepekan sekali.

Lalu sarapan bersama, bersih-bersih area rumah retret, menyiram tanaman, memotong rumput, dan mencuci pakaian serta bersih diri dan membersihkan kamar pribadi dan wisma. Juga belajar pribadi dan menyiapkan pelayanan.

Pada pukul 12.00, kami berkumpul untuk berdoa Angelus dan Rosario dilanjutkan makan siang. Setiap Kamis, kami rekreasi dengan menyanyikan puji-pujian sebelum makan. Setelah makan kami biasanya beristirahat, atau belajar dan berdoa pribadi di kamar atau kapel.

Bersama mama-mama di Merauke.(Eustakia Esti)

Pelayanan keluar

Sore waktunya kami keluar untuk pelayanan di kota Merauke maupun di pesisir Pantai Wendu dan Matara. Biasanya kami terbagi menjadi tim, yang terdiri dari 2-3 orang. Setiap Senin adalah Hari Komunitas, di mana kami tidak ada pelayanan keluar, dan berpuasa. Inilah kegiatan sehari-hari jika tidak ada kegiatan retret di tempat kami.

Jika ada retret, yang biasanya berlangsung antara 2–4 hari. Maka jadwal kami berubah total. Beberapa hari sebelumnya kami sudah melakukan persiapan.

Dari mulai subuh, beberapa dari kami harus pergi ke pasar berbelanja kebutuhan untuk memasak makanan peserta retret.

Juga jadwal persiapan menyiapkan kamar, mulai dari membersihkan kamar dan merapikan tempat tidur dan membersihkan kamar mandi, persiapan administrasi dan multimedia hingga persiapan materi untuk memberikan pengajaran dalam retret.

Ular di kamar

Banyak hal yang tak terduga terjadi, yang sempat aku ingat. Seperti ketika tiba-tiba jadwal retret diundur satu hari, karena peserta belum terkumpul, padahal kami sudah terlanjur memasak makanan.

Pernah juga aku harus memasak dengan kondisi tangan yang bengkak besar karena tergigit tiga ekor lebah kayu sekaligus. Atau, ketika tiba-tiba di kamar peserta ditemukan ular.

Maklum di sekeliling rumah retret yang berbentuk panggung, memang terdiri dari padang rumput yang sangat luas.

Tidak hanya lebah kayu, ular, bahkan biawak pun pernah kulihat berlari-lari dalam kegelapan di dasar panggung rumah retret.

Membantu imam dalam selebrasi iman di lokasi luar gereja. (Dok. Eustachia Esti)

Lokasi rumah retret

Tempat kami terletak di tengah-tengah antara arah kota dan pesisir Pantai Wendu, Merauke. Dari Rumah Retret menuju kota Merauke membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit, bersepeda motor, dengan kondisi jalan lurus dan bagus.

Sedangkan berbalik arah, menuju arah pesisir pantai Wendu membutuhkan waktu yang sama, 30 menit, namun kondisi jalan separuhnya rusak, berlubang dan berpasir. Yang sama dari kondisi jalan adalah, sama-sama tidak adanya lampu di sepanjang jalannya.

Banyak kegiatan Gereja dan  kegiatan adat yang telah aku ikuti selama di Merauke. Mulai dari perayaan  tahbisan romo, upacara Adat Jual Beli Tanah, upacara Usap Lumpur di pernikahan adat, Pesta Sambut Baru (Komuni Pertama), perarakan Sakramen Mahakudus dan adorasi sepanjang jalan dari Stasi Sirapu menuju Desa Matara.

Yang terakhir ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut dari Desa Sirapu melalui Paroki Bunda Hati Kudus Wendu dan beberapa stasi lain.

Perkawinan massal

Aku pun  sempat mengikuti Adorasi semalam suntuk di stasi terakhir. Semua adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan. Termasuk sebuah misa pemberkatan pernikahan secara masal dan baptisan masal di Stasi Matara. Di mana saat itu aku mendadak membantu pastor paroki,  membawakan air baptis.

Tenaga yang kurang kadang membuat Pastor Andreas Fanumbi Pr kesulitan dalam menangani banyak kegiatan paroki dan stasi. Hal itu membuat umat tidak bisa mendapatkan Komuni secara rutin.

Masih banyak pengalaman indah yang aku alami di tempat misi pertamaku ini. Namun aku tahu semua tidak bisa aku ceritakan singkat di sini.

Ada banyak misionaris awam di beberapa daerah misi komunitas kami, yang memiliki pelayanan lebih lama dan kekayaan pengalaman bermisi yang lebih banyak dari aku.

Setahun saja di Merauke sudah bisa membuatku berubah menjadi lebih banyak merenung, mengambil hikmah dari perjalanan hidupku. Aku belajar mendengarkan banyak suara dalam doa-doaku, di ruang tersembunyi, rumah jiwaku.

Dukungan teman-teman dalam satu perjalanan menjadi misionaris awam. (Dok. Eustakia Esti)

Pengalaman baru yang menyadarkanku di atas awan masih ada langit, membuatku harus selalu rendah hati. Di bawah pohon yang subur, tersimpan akar menembus tanah, bekerja siang dan malam, itulah kerja keras dalam keikhlasan ber misi.

Ternyata, di mana pun aku berada, dengan siapa pun aku tinggal, semua akan terasa seperti di rumah sendiri jika aku mampu menangkap rencana Tuhan di dalamnya.

Dan aku mulai mengerti akan hal ini.

Jarak bukan batasan, untuk terus berlari, merasakan dan membagikan cinta

Darah bukan batasan, untuk merasa terhubung dengan siapa pun yang hadir di depan mata

Rumah tak terbatas pada tembok dan atap, namun sesederhana dan sedekat lubuk hati

Jiwa yang mampu masuk di kedalaman damaiNya

Itulah jiwa yang berhak menempati rumah sesungguhnya.

Malang, 13 Oktober 2020

Eustakia Esti

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here