Home BERITA Misteri Kelas Kosong

Misteri Kelas Kosong

0
116 views
Ilustrasi: Kompleks Persekolahan di wilayah hulu Sungai Kapuas, Sanggau, Kalbar. (Mathias Hariyadi)

PUKUL tujuh pagi yang cerah, mentari sudah membumbung tinggi, namun hanya ada kesunyian yang mencekam di depan Sekolah Penuh Harapan. Tujuh sosok remaja berdiri mematung di depan gerbang, mata mereka berkaca-kaca menatap deretan kelas yang kosong melompong. Tak ada suara riuh rendah murid, tak ada teguran ramah guru, tak ada tanda-tanda kehidupan.

Sekolah itu seperti ditelan bumi, meninggalkan mereka dalam kebingungan yang mendalam.

Jarot, yang paling tinggi dan terlihat paling dewasa di antara ketujuh anak itu, memecah keheningan yang menyesakkan. Suaranya bergetar, memendam kesedihan yang sama.

“Kelas kita kosong, sekolah kita sepi,” ujarnya pelan.

“Tapi kita tidak boleh menyerah pada keadaan ini. Bagaimana kalau kita tetap datang setiap pagi? Kita bersihkan kelas-kelas ini, sapu halaman sekolah, dan koridor.”

“Kita lakukan ini tanpa dibayar, tanpa harapan yang pasti,” lanjut Jarot, menatap wajah kawan-kawannya satu per satu.

“Siapa tahu Tuhan melihat usaha kita dan akan mengirim penyelamat, seorang guru yang akan mengisi lagi kekosongan yang ada.”

Etta, Ratih, Susilo, Anwar, Ruly, dan Iwan mengangguk setuju dengan mata yang masih basah oleh airmata putus asa.

Sejak hari itu, tujuh sekawan itu menjelma menjadi penjaga sekolah tanpa murid dan tanpa pelajaran. Mereka berkomitmen untuk merawat tempat yang seharusnya menjadi sumber ilmu mereka, meski tidak ada janji apa-apa.

Rutinitas mereka yang baru hanyalah membersihkan. Mereka menyapu debu yang menumpuk di meja-meja yang sudah lama ditinggalkan, menyikat lantai koridor yang lengket, dan merawat tanaman di halaman agar tetap hijau. Itu adalah pekerjaan yang menyenangkan karena mereka melakukannya bersama, diselingi canda tawa yang mencoba menepis sepi.

Namun, pekerjaan ini selalu diselimuti kesedihan yang mengendap karena ketiadaan seorang guru.

Setelah lelah bekerja dan peluh membasahi seragam mereka, mereka punya “ritual” lain untuk menghibur diri: memanjat pohon rambutan di sudut halaman yang sedang berbuah lebat, atau mengambil jambu klutuk di samping sekolah yang tumbuh liar.

Tawa mereka berderai, mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pelajaran. Mereka adalah murid tanpa sekolah, siswa tanpa guru, namun hati mereka penuh harapan yang tak pernah padam.

Sampai tibalah tanggal 20 Mei. Pagi itu, sesosok bayangan bergerak mengendap-endap di balik pagar bambu. Dia adalah seorang buronan “kelas kakap” yang sedang dalam pelarian panjang dan melelahkan.

Matanya yang tajam mengawasi aktivitas ketujuh anak muda itu, melihat mereka dengan cekatan membersihkan sekolah yang seharusnya sudah ditinggalkan jauh di belakang.

Sesuatu dalam diri buronan itu berdesir kuat. Hati nuraninya tersentuh oleh pemandangan ketulusan mereka. Ia tahu ia bersalah karena melarikan diri, dan setelah pelarian yang sunyi, ia merasakan kerinduan yang mendalam untuk berbuat baik. Ia memutuskan, tempat ini adalah akhir dari pelariannya.

Pagi berikutnya, buronan itu muncul tiba-tiba di hadapan mereka, berdiri tegak. Rambutnya sedikit acak-acakan, wajahnya penuh guratan lelah namun matanya memancarkan ketenangan.

“Selamat pagi,” sapanya pelan. “Namaku Randu.”

Randu kemudian menjelaskan bahwa ia memiliki kemampuan dan ilmu pengetahuan yang luas, meskipun ia pernah difitnah dan dijebloskan ke penjara. Ketujuh anak itu, yang sudah lama mendamba seorang guru, langsung menyambutnya dengan mata berbinar.

Di bawah bimbingan Pak Randu, kelas kosong itu mendadak hidup kembali. Mereka tidak hanya belajar membaca dan berhitung, tetapi juga tentang alam, tentang bintang, dan yang terpenting, tentang hidup dan moralitas.

Pak Randu mengajar dengan penuh kesabaran dan kasih sayang yang tulus. Kelas yang sepi itu kini penuh dengan diskusi, tawa, dan ilmu, seolah “Misteri Kelas Kosong” telah menemukan jawaban yang paling indah.

Sayangnya, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Beberapa minggu kemudian, saat Pak Randu sedang mengajar, beberapa mobil hitam berhenti di depan sekolah dan petugas berwajib datang menangkapnya kembali.

Anak-anak itu menangis histeris, memeluk kaki Pak Randu yang hanya bisa tersenyum getir. “Anak-anakku, teruslah belajar. Jadilah orang baik,” bisiknya sebelum digiring pergi.

Kepergiannya meninggalkan lagi kekosongan yang perih, tetapi mereka terus berdoa untuk Pak Randu.

Doa mereka akhirnya terkabul. Dalam proses pengadilan yang memakan waktu, kebenaran terungkap. Seluruh tuduhan yang dialamatkan kepada Pak Randu terbukti tidak benar.

Ia dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Tak lama setelah itu, di pagi yang cerah, di depan gerbang sekolah yang sudah bersih, muncullah sosok yang mereka rindukan. Air mata mereka kali ini adalah airmata bahagia.

Sekolah itu akhirnya mendapatkan bukan hanya seorang guru, tetapi seorang penyelamat sejati. Sekolah Penuh Harapan kini benar-benar penuh dengan harapan.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here