Kamis, 12 Kamis 2025
2Kor. 3:15-4:1,3-6.
Mzm. 85:9ab-10, 11-12, 13-14; Mat. 5:20-26
DALAM kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa lepas dari berbicara. Kata-kata keluar begitu saja; saat bercanda, saat kecewa, saat marah, bahkan saat merasa tahu segalanya.
Namun, sadarkah kita bahwa dalam setiap kata yang keluar dari mulut kita, ada kekuatan yang besar? Bukan hanya membangun, tetapi juga menghancurkan.
Marah, kafir, dan jahil, tiga hal yang seringkali muncul dari lidah yang tak terkendali, menjadi cermin dari hati yang belum dijaga. Ketiganya bukan sekadar sikap batin, tetapi sering kali terwujud melalui ucapan.
Oleh karena itu, kita perlu merenungkan pepatah lama yang tetap relevan: “Mulutmu harimaumu.” Lidah kita bisa menjadi binatang buas, yang jika tidak dijinakkan, bisa melukai siapa saja, termasuk orang yang paling kita cintai.
Setiap kata negatif punya daya rusak: Membunuh karakter seseorang. Mematikan semangat orang yang sedang berjuang. Menghancurkan harapan yang baru tumbuh.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir, harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil, harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.”
Tuhan Yesus dalam Khotbah di Bukit membawa kita melampaui hukum lahiriah menuju kedalaman hati. Ia tidak hanya berbicara tentang pembunuhan fisik, tapi tentang akar terdalam dari kekerasan: amarah, penghinaan, dan penghakiman lewat kata-kata.
Amarah adalah bara dalam hati yang bisa meledak menjadi kebencian dan kekerasan. Mungkin kita tidak memukul, tidak membunuh, tetapi saat kita menyimpan amarah, kita membiarkan racun menggerogoti kasih.
Dan saat amarah itu terungkap dalam kata-kata, maka kita bukan hanya menyakiti, tetapi menghancurkan martabat orang lain.
Yesus mengecam keras mereka yang berkata kepada sesama: “Kafir” sebuah label kasar yang memisahkan, menolak, dan menghukum orang lain secara rohani.
Menganggap seseorang sesat atau tidak beriman hanya karena mereka berbeda dari kita adalah bentuk keangkuhan rohani. Kita menjadikan diri sebagai hakim, seolah kita tahu isi hati dan keselamatan seseorang. Padahal hanya Tuhan yang berhak menentukan.
Menyebut seseorang “jahil” bukan hanya menyatakan mereka bodoh, tetapi merendahkan dan mempermalukan. Kata-kata seperti ini muncul dari hati yang congkak, merasa lebih tahu, lebih benar, lebih pintar.
Tuhan Yesus mengingatkan bahwa kesombongan intelektual pun bisa menjadi jalan menuju neraka, bukan hanya karena isi kata-katanya, tetapi karena semangat yang mendorongnya: penghinaan.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku menghakimi iman orang lain hanya karena mereka berbeda?