Renungan Harian
Senin, 17 Januari 2022
PW. St. Antonius, Abas
Bacaan I: 1Sam. 15: 16-23
Injil: Mrk. 2: 18-22
SUATU sore, saya menerima tamu pasangan suami isteri, yang sedang menghadapi persoalan.
“Romo, saya ingin berpisah dengan suami saya; saya sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan perkawinan kami.
Saya tidak akan menuntut apa-apa dari suami saya. Saya akan kembali ke rumah orangtua saya dengan membawa kedua anak kami.
Saya lebih baik sendiri mengasuh kedua anak kami; saya sanggup untuk menjalani ini. Sampai sekarang ini yang terjadi juga sudah seperti ini, saya bekerja dan mengasuh kedua anak kami.
Kiranya ini pilihan terbaik saya. Semua demi kebaikan kami dan suami.
Romo, saya ingin pisah dengan suami, bukan karena saya tidak mencintai suami. Saya amat mencintai suami.
Tetapi rasanya dalam perjalanan perkawinan ini, kehidupan berumahtangga seperti menghambat suami untuk berkembang dan semakin dekat dengan Tuhan,” ibu itu menceritakan persoalannya.
“Maaf ibu, sebenarnya apa yang sesungguhnya menjadi persoalan sehingga ibu memutuskan untuk berpisah? Apakah sudah tidak ada jalan lain?” tanya saya.
“Romo, persoalan pokok menurut saya adalah suami tidak nyaman dengan hidup perkawinan, dan hidup perkawinan seperti pilihan yang salah bagi dia. Suami saya sejak dulu orang yang aktif dalam pelayanan.
Sejak menikah, dia tetap aktif dalam pelayanan. Tetapi semakin lama, fokusnya pada pelayanan bukan pada keluarga.
Dia bahkan sampai memutuskan untuk mundur dari tempatnya bekerja dan berusaha bekerja dari rumah agar mempunyai banyak waktu untuk pelayanan.
Namun ujung-ujungnya dia tidak menghasilkan apa pun. Saya tidak mempermasalahkan dia tidak bekerja, kehidupan ekonomi keluarga tidak terganggu, karena saya masih bekerja.
Tetapi saya berharap dia mau berbagi tugas mengurus rumah dan anak-anak.
Kami sudah berkali-kali berkonsultasi berkaitan dengan permasalahan keluarga. Beberapa pastor dan konselor menyarankan agar suami lebih konsentrasi ke keluarga dan berani meninggalkan aktivitasnya di luar rumah, karena prioritas utama adalah keluarga.
Suami mengerti dan berusaha untuk fokus pada keluarga.
Tetapi beberapa kali dia mengatakan kepada saya bahwa saran para pastor dan konselor yang kemudian dia ikuti, dia rasakan sebagai godaan dari roh jahat agar dia menjauh dari pelayanan dan menjauh dari Tuhan.
Dia mengatakan bahwa pelayanan adalah bentuk mengutamakan Tuhan. Artinya prioritas utama dia adalah Tuhan.
Sehingga kalau diminta memberi prioritas utama pada keluarga bagi dia itu adalah godaan roh jahat yang tampil seperti malaikat.
Saya jadi bingung, kalau begitu seolah-olah kami, saya dan anak-anak itu bagian dari godaan itu karena berharap dia lebih fokus pada kami,” ibu itu menjelaskan.
“Bapak, maaf dahulu waktu memutuskan menikah apakah itu pilihan bapak sendiri dengan bebas dan bahagia atau karena tekanan dari luar?” tanya saya kepada bapak itu.
“Itu pilihan bebas saya Romo. Saya sadar dengan keputusan saya bahwa lewat hidup perkawinan saya akan semakin memuji, menghormati dan memuliakan Allah,” jawab bapak itu.
“Pak, itu semua benar, maka prioritas utama bapak adalah keluarga. Karena bapak telah memilih dengan sadar, bebas dan bahagia bahwa lewat hidup berkeluarga bapak akan semakin memuji, menghormati dan memuliakan Allah.
Sekali lagi tekanannya pada lewat pilihan hidup berkeluarga. Artinya kalau bapak melakukan sesuatu, meski tampaknya suci dan mulia tetapi tidak dalam kerangka hidup berkeluarga itu pasti dari roh jahat.
Kalau semua kegiatan bapak yang menurut bapak adalah pelayanan bagi Tuhan, tetapi menghancurkan keluarga bapak, maka itu pasti dorongan dari roh jahat.
Sekarang ini godaan terbesar dari roh jahat adalah bapak lewat karya-karya baik dan suci dibawa semakin menjauh dari keluarga yang pada akhirnya menghancurkan keluarga.
Hati-hati dengan niat baik dan suci harus selalu dicek agar tidak tersesat,” jawab saya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Samuel, niat baik dan suci dari Saul justru membuat dirinya jauh dari Tuhan, karena dia lupa akan apa yang menjadi sabdaNya.
“Mengamalkan sabda lebih baik daripada korban sembelihan, menuruti firman lebih baik daripada lemak domba jantan.”