Panggilanku adalah Cinta, Sungguh tak Mudah Pahami “Logika” Penggiat Medsos

0
392 views
Ilustrasi: 42 Tahun sudah Kongregasi Suster Abdi Kristus (AK) telah berkarya di Nabire, Papua. (Ist)

“Hidup seorang Kristiani tidak lain adalah perjuangan terus-menerus melawan diri sendiri; tidak ada perkembangan jiwa menuju keindahan kesempurnaannya kecuali dengan harga rasa sakit.” (Padre Pio)

“Pengurbanan… pengurbanan…,” begitu teriakan seorang perempuan muda setiap kali ia melakukan sesuatu yang menjadi tugasnya.

Sejenak saya terdiam dan mengambil jarak agar tidak terpancing masuk dalam situasi yang tidak nyaman. Meski dalam hati saya mulai bertanya-tanya, “Jangan-jangan saya juga salah satu penyebab dirinya merasa harus berkurban.”

Pada kesempatan lain, ketika ada sesi foto bersama, perempuan muda itu kembali berteriak, “Ayo bergaya supaya panggilan sebagai suster kelihatan bahagia.”

Kali ini, hati saya mulai sedikit bergolak. Antara “rasa pedih” berusaha mengikuti arahan perempuan muda yang saat itu dipercaya untuk mengarahkan dalam berpose dan lalu ditatapkan dengan realita hidup sehari-hari.

Ilustrasi: Berjalan sembari berfoto bersama. (Mathias Hariyadi)

Cara eksis di zaman modern dengan “rekayasa” situasi

Rupa-rupanya saya sedang berhadapan dengan generasi muda zaman sekarang yang sudah terbiasa memposting dirinya di medsos. Sebagai upaya menabur daya pikat yang dia miliki melalui dunia medsos.

Berhadapan dengan generasi yang berbeda, saya mencoba berfikir positif. Namun itu sungguh tidak mudah. Ada kalanya hati saya menjerit kesakitan; bertanya-tanya apakah ini dunia permainan?

Namun ada kalanya, saya tegas dengan diri sendiri. Dalam batin, mengatakan: mari ikuti saja ‘permainannya’, namun jangan hidupi gaya hidupnya yang berlawanan dengan hati nurani.

Akhirnya saya tergerak masuk dalam permenungan pribadi setiap kali saya berhadapan dengan situasi yang penuh misteri tentang makna “pengurbanan dan kebahagiaan sejati”.

Menjadi suster biarawati Abdi Kristus (AK)

Beberapa hari setelah mengalami peristiwa kebersamaan dengan seorang perempuan muda itu, saya dikejutkan dengan peristiwa lain. Mungkinkah ini salah satu jawaban atas misteri tentang pengorbanan dan kebahagiaan itu?

Saat itu, saya diajak mengikuti Perayaan Ekaristi Minggu Panggilan di sebuah gereja. Tanpa persiapan, tiba-tiba nama saya disebut romo saat homili.

Di hadapan umat yang didominasi kaum muda, romo itu kemudian bertanya sesuatu yang sangat mendasar tentang hidup panggilan saya sebagai suster biarawati Abdi Kristus (AK).

“Suster Agnes, pengalaman apa yang membuat suster bahagia menjalani hidup panggilan  sebagai biarawati AK?”

Hati saya bergetar, namun ada ketenangan batin  luar biasa yang mendorong saya untuk menjawab dengan tenang begini. “Pengalaman dicintai Allah Romo,” kataku tenang dari bangku umat.

Ilustrasi: Pertemuan 12 Tim Kongregasi Biarawati Abdi Kristus di Rumah Retret Wisma Nazareth di Sumber, Muntilan. (Dok. AK)

Cinta Allah menggetarkan jiwa

Hati saya tiba-tiba berkobar-kobar, ketika romo kemudian menegaskan bahwa pengalaman dicintai Allah itulah yang menjadi pondasi pokok manusia menanggapi panggilan Allah. Entah hidup panggilan berkeluarga maupun hidup bakti sebagai imam dan biarawan-biarawati.

Ada rasa damai mengalir di dalam hati saya, meski mata saya mulai berkaca-kaca. Apalagi, ketika romo mengungkapkan tandanya kita dicintai Allah adalah ketika kita tetap setia menghidupi panggilan-Nya. Mau melayani sesama dan Tuhan melalui Gereja-Nya, meski di tengah-tengah badai kehidupan.  

Tuhan memiliki banyak cara untuk memanggil dan menyelamatkan manusia. Pribadi yang sungguh dicintai Allah akan semakin mencintai panggilan-Nya meski harus melewati jalan-jalan yang sulit, karena Cinta Allah itulah yang akhirnya menopang hidup panggilan-Nya seutuhnya.

Saya akhirnya tertunduk malu dan terharu. Ada banyak kisah yang membuat saya sungguh tidak pantas menanggapi panggilan-Nya. Namun betapa Cinta Tuhan itu melampaui apa yang saya rasa dan pikirkan.

Cinta Allah menarik saya menyadari kerapuhan diri saya dan membiarkan Allah saja yang mengisi dan menguatkan saya untuk melangkah maju menapaki penggilan-Nya yang penuh misteri.  

Patung Bunda Maria “Our Lady of China” karya Lu Hung Nien (1924) untuk Gereja Pemangkat, Kalbar. (Komisi Komsos Keuskupan Agung Pontianak)

Bunda Maria, pribadi yang sumeleh

Berjalan bersama Bunda Maria adalah panggilan tersendiri. Itu membuat saya semakin merasa tidak sendirian. Ketenangan dan dorongan untuk semakin sumeleh ( pasrah) bersama Bunda Maria sungguh sebuah anugerah dari  panggilan-Nya.

Ada ikatan batin tersendiri dengan seorang ibu yang penuh ketegaran sekaligus kelembutan dan kesabaran hati, saat merenungkan pengurbanan Yesus.

Tentu banyak kisah pengurbanan Bunda Maria yang kita rasakan buahnya. Namun, Bunda Maria tidak pernah menceritakan pengurbanannya kepada siapa pun.

Ketika berhadapan dengan sesuatu yang mengusik hatinya, Bunda Maria diam dan mengolah dalam hati. Tapi, kemudian bertindak dengan tenang melaksanakan apa yang dikehendaki Tuhan.

Pengurbanan Yesus yang rela mengambil rupa menjadi hamba, direndahkan, disiksa dan wafat di kayu salib menyatu dalam pengurbanan Bunda Maria membuahkan kedamaian dan kebahagiaan yang tak terperikan bagi kita.

Pada akhirnya saya menemukan jawaban akan permenungan tentang apa makna dan dasar pengurbanan sejati yang telah diteladankan oleh Tuhan Yesus dan bunda-Nya.

Ilustrasi: Akhirnya Yesus disalibkan –pertunjukan tablo oleh OMK salah satu paroki di Samarinda, Kaltim. (Ist)

Pengurbanan-Nya bukan untuk menjadi  menjadi populer dan dikenal oleh dunia.

Pengurbanan-Nya dibangun atas dasar kasih tulus tanpa pamrih (agape) agar Bapa dimuliakan dan janji Allah digenapi melalui hidup-Nya yaitu tentang karya keselamatan bagi dunia ini.

Yesus melayani dan melakukan banyak mukjizat dan Bunda Maria melakukan banyak tindakan Kasih.

Tuhan Yesus dan Bunda Maria tidak pernah melakukan semuanya itu agar Dia dimuliakan atau disanjung tinggi oleh para pengagum-Nya, melainkan supaya Bapa-Nya dimuliakan (Yohanes 11:40).

Bagaimana dengan kita? Adakah tujuan hidup kita hanya untuk memuliakan Allah saja atau cenderung untuk memuliakan diri sendiri?

Kiranya hanya rahmat Allah yang memampukan diri kita menyediakan diri dipakai Tuhan menjadi saluran berkat-Nya bagi sesama dengan tulus gara nama-Nya semakin dimuliakan.

Kita ditantang untuk terus-menerus memperjuangkan keindahan dan kebahagiaan kesempurnaan-Nya dimulai dengan mengalahkan diri sendiri meski harus melewati rasa sakit.

Panggilanku adalah cinta

Cinta adalah Allah sendiri yang telah mengurbankan Diri-Nya melalui Putera-Nya demi cintanya kepada kita.

Video berikut ini adalah buah permenungan bahwa ”Aku yang hina dan rapuh adalah salah satu buah dari pengurbanan cinta-Nya dengan iringan lagu Rapuh Yang Kau Pilih

Syair ditulis oleh Romo T. Krispurwana SJ.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here