Papua, Mencari Peluang Lebih Baik untuk Masa Depan (3)

0
285 views
Perkampungan Asmat di wilayah terpencil Sawaerma, Keuskupan Agats, Papua. (Mathias Hariyadi)

DARI semua uskup di Papua, yang paling menarik adalah memperhatikan kiprah Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC. Semula, beliau adalah Uskup Keuskupan Amboina, namun kemudian diangkat Vatikan menjadi Uskup Keuskupan Agung Merauke 11 November 2020.

Lolos dari upaya pembunuhan dengan bom

Beliau sempat viral di media sosial belum lama ini, karena berhasil lolos dari dua kali percobaan pembunuhan dengan serangan bom.

Yang pertama terjadi, ketika beliau pertama kali tiba di wisma residensial Keuskupan Merauke tanggal 1 Januari 2021. Berhasil lolos, karena beliau mampir ke tempat lain dulu.

Yang kedua terjadi tanggal 30 Mei 2021, saat berlangsung misa di Gereja Katedral Merauke. Berhasil lolos, karena ia tidak memimpin misa saat itu.

Baca juga: Mgr. PC Mandagi MSC Dua Kali Jadi Target Pembunuhan Bom Bunuh Diri

Vokal dan berani “bicara”

Mgr. PC Mandagi MSC juga pernah viral, lantaran merilis surat terbuka tanggal 28 Juli 2021 di mana beliau bicara “keras” tentang tindak kekerasan dan perlakuan diskriminatif  terhadap orang Papua yang saat itu telah melibatkan oknum TNI. Beliau mengutuk setiap tindakan kekerasan terhadap manusia dengan alasan apa pun.

Menurut beliau, setiap manusia -termasuk orang asli Papua- adalah gambaran Allah. Manusia bukan hewan. Maka tindak kekerasan dan perlakuan diskriminatif itu harus diadili dan siapa pun yang melanggar kaidah sosial ini harus dihukum seberat-beratnya.

Beliau juga mengingatkan, orang Papua sudah lama mengalami sikap dan tindakan kekerasan dari aparat keamanan -baik itu polisi dan militer- dan mereka telah mengalami dirinya terluka.

Ilustrasi – Wilayah Papua dan Uskup Keuskupan Agung Merauke Mgr. PC Mandagi MSC (Ist)

Beliau mohon aparat militer meminta maaf dan berjanji akan mengubah cara pendekatan terhadap orang Papua. Hendaklah aparat militer mengasihi, menghargai dan melindungi orang Papua sebagai warga negara Indonesia seutuhnya.

Hukum harus ditegakkan kepada siapa pun dengan didasari dan sekaligus diwarnai dengan cinta, kelembutan. Sama sekali bukan dilandasi oleh dendam atau pun kekerasan.

Beliau mohon agar setiap personil militer yang ditempatkan di Papua harus mendapat pembinaan khusus dalam karakter.

Baca juga: Uskup Keuskupan Agung Merauke Mgr. PC Mandagi MSC: Perlakukan Orang Papua Secara Hormat Bermartabat

Meski sangat vokal dan bicara blak-blakan dengan “keras”, namun Mgr. Mandagi MSC sama sekali juga tidak menutup mata atas banyak anggota aparat keamanan militer yang baik. Banyak juga dari mereka yang menunaikan tugas dengan penuh cinta kasih terhadap orang Papua.

80 artikel hasil “Ekspedisi Tanah Papua” oleh Harian Kompas

Pengamat media, Ignatius Haryanto, dalam artikelnya di Kompas edisi 23 Mei 2022 menulis opini berjudul “Memelihara Asa pada Papua”.

Ia menulis bagaimana Kompas lewat lebih dari 80 artikel bertajuk “Ekspedisi Tanah Papua” berusaha memberi gambaran cukup lengkap kepada pembaca apa yang sedang terjadi di Papua. Bukan semata bicara tentang alam dan keindahan Bumi Papua, melainkan juga termasuk berbagai problem yang dihadapi masyarakat Papua.

Taruhlah itu sebagai misalnya deforestasi, pertambangan, pendidikan, kesehatan, konservasi, ekonomi, politik, dan budaya.

Melalui berbagai hasil liputan lapangannya itu, Kompas telah berusaha menggambarkan hingga kini masih terjadi konflik masyarakat adat dengan “kelompok pendatang”. Terjadi demikian, karena masyarakat adat sampai kehilangan hewan buruannya, karena lahan tanahnya telah dikuasai perusahaan yang beroperasi tak jauh dari wilayah adat. Juga telah terjadi perubahan “menu” dan pola makan masyarakat; dari yang semula masyarakat pemakan sagu dan ubi menjadi penikmat nasi dan mie instan.

Lalu, sekarang sudah ada jalan yang sampai “membelah” kawasan hutan hingga memang bisa memudahkan akses mobilitas manusia, namun juga berkontribusi ikut menambah kerusakan hutan.

Semakin banyak tempat destinasi wisata yang menjanjikan; termasuk memuncukan problem sampah (plastik), kebijakan otonomi khusus, problem keamanan, pemekaran wilayah, dll.

Ekspedisi serupa sebenarnya juga pernah dilakukan Kompas kurang lebih 15 tahun yang lalu yaitu tahun 2007. Bila kedua ekspedisi lapangan tersebut dibandingkan, maka tidak ada perbaikan signifikan atas kesejahteraan masyarakat; termasuk layanan dasar pendidikan dan kesehatan.

Pertanyaanya, memang masih ada harapan di sana? Kalau pun masih ada, lalu sampai kapan?

Ilustrasi – Penampakan lahan gundul karena aksi penebangan hutan di kawasan hutan di Papua (Forest Digest)

Sangatlah kompleks

Masalah Papua memang sangat kompleks. Ada kesan bahwa penyelesaian masalah dilakukan setengah hati. Dalam forum Ombudsman Kompas, muncul pandangan bahwa cara pandang sentralitas itu dominan; padahal berbagai permasalahan itu tidak sama.

Salah satu inti masalah adalah karena masyarakat Papua sendiri tidak banyak diikutsertakan dalam diskusi dan ikut menentukan masa depan mereka.

Ada seloroh yang pernah didengar dan sangat diingat Haryanto, “Orang sayang dengan Papua, tetapi tidak sayang dengan manusia Papua”.

Tanah Papua selalu diincar hutannya, kayunya, kekayaan tambangnya dan alamnya. Namun manusia Papua yang menghuninya tidak (pernah) ikut diperhitungkan. Tanpa dialog dengan masyarakat Papua, kita khawatir masa depan Papua akan begini-begini saja atau mungkin malahan semakin buruk.

Semoga masyarakat Papua pada saatnya mendapatkan pemimpin dan orang-orang yang sungguh mencintai, memahami, melindungi, dan membela masyarakat Papua dan mengusahakan damai yang berlandaskan kebenaran dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

Sampai saat ini, berbagai tindak kekerasan, konflik bersenjata, serta ketidakadilan masih banyak terjadi di Papua.

Cukup banyak manusia yang menjadi korban dari berbagai pihak. Sebagian korban adalah orang-orang sipil yang bekerja di Papua termasuk tenaga kesehatan dan pegawai bangunan dan infrastruktur yang mencari nafkah dan ditugaskan di Papua.

Laode Ida dalam tulisannya di Kompas edisi 25 Juli 2022 berjudul KKB dan Pembangunanisme Papua mencatat, dalam rentang waktu 4,5 tahun terakhir (2017-2022) peristiwa penembakan yang dilakukan kelompok kekerasan bersenjata (KKB) sudah lebih dari 200 kali dengan korban meninggal tak kurang dari 144 orang.

Pertanyaan kritisnya, mengapa gerakan separatis yang tindakannya dilabeli KKB masih saja (bisa) eksis? Padahal masyarakat Papua sudah berada di pangkuan Indonesia selama 59 tahun (1963-2022)?

Laode Ida mengusulkan beberapa hal.

Pertama agar para tokoh Papua (baik tokoh adat, tokoh agama, kepala suku, maupun para pejabat pemerintah daerah) sungguh menjalankan fungsi sebagai integrator sosial politik lokal. Dengan antara lain memperhatikan dan mempengaruhi para aktor KKB untuk lebih (mau) bekerjasama membangun Papua.

Kedua, agar ukuran keberhasilan pembangunan Papua bukan sekedar terlaksananya anggaran pembangunan. Namun semakin dirangkulnya para aktor KKB untuk bergabung bersama-sama membangun Papua.

Ketiga, para aktor KKB di Papua dan di luar negeri diakui sebagai “kelompok perlawanan rakyat Papua” dan didengarkan aspirasinya dengan pendekatan dialogis. Penyelesaian damai di Aceh dengan secara langsung melibatkan Gerakan Aceh Merdeka sampai pertemuan Helsinki 2005 menjadi contoh keberhasilan pendekatan dialogis.

Pendekatan keamanan dan menggunakan kekatan militer untuk penegakan hukum pidana akan berpotensi memunculkan isu sensitif pembantaian etnik. Kalau hal tersebut terjadi, maka kita harus bersiap menghadapi solidaritas kolektif berbasis ras (Melanesia) secara internasional.

Demikian pendapat Laode Ida yang pernah menjadi Komisioner Ombudsman 2016-2021.

Kisah lama bernama Pepera

Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, Irian Barat masih dikuasai Pemerintah Belanda. Belanda berharap Irian Barat menjadi negara yang berdiri sendiri yang mempunyai relasi khusus dengan Kerajaan Belanda.

Tahun 1961, Belanda mengusulkan agar Irian Barat menjadi negara sendiri di bawah PBB, namun usul tersebut ditolak Majelis Umum PBB.

Indonesia sendiri menuntut agar Irian Barat menjadi bagian negara Indonesia.

Tahun 1962 Presiden Soekarno membentuk operasi militer yang diberi nama Komando Mandala yang dipimpin Mayjen Soeharto untuk merebut Papua dari tangan Belanda.

Belanda akhirnya bersedia berunding dengan Indonesia bersama PBB.

Tanggal 15 Agustus 1962 Belanda menyerahkan kekuasaan atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) lewat Perjanjian New York. Belanda meminta agar dilakukan Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat oleh seluruh orang asli Papua.

Sesudah itu, Belanda meninggalkan Papua. Tanggal 1 Mei 1963, Pemerintah Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih di Tanah Papua dan menyatakan Papua sebagai bagian dari negara Indonesia.

Ilustrasi – Pepera Papua (Ist)

Sesuai amanat Perjanjian New York, Pemerintah Indonesia wajib menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera.

Pepera diadakan 14 Juli – 2 Agustus 1969 di delapan lokasi, yaitu di Merauke, Wamena, Nabire, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak, dan Jayapura.

Peserta Pepera di delapan tempat tersebut dipilih oleh Pemerintah Indonesia dan berjumlah seluruhnya 1.022 orang yang tidak seluruhnya orang asli Papua.

Di tiap tempat sebagian peserta dipilih untuk menyatakan pendapat. Lalu seluruh peserta secara aklamasi menyatakan memilih tetap bergabung dengan Indonesia.

Saat itu, Pangdam XVI/Cendrawasih adalah Brigjen Sarwo Edhie Wibowo. Puteri ketiga Brigjen Sarwo Edhie Wibowo adalah almarhumah Kristiani Herawati yang lebih dikenal sebagai Bu Ani Yudhoyono, isteri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Resolusi 2504 PBB

Hasil Pepera tersebut dilaporkan dalam Majelis Umum PBB dan dicatat dalam Resolusi 2504 (XXIV). Saat itu dan sampai saat ini masih ada pihak-pihak yang mempermasalahkan apakah Pepera 1969 tersebut sungguh dilakukan sesuai dengan Resolusi 1541 (XV) Perjanjian New York tahun 1962.

Ada juga yang mengusulkan agar Pepera diulang kembali sesuai amanah Perjanjian New York.

Perubahan identitas nama Papua

Tahun 1973, nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya oleh Presiden Soeharto.

Nama “Irian” yang adalah akronim untuk “Ikut Republik Indonesia Anti Netherland” diubah menjadi Papua lewat UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Di kemudian hari di Papua dimekarkan menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Papua dengan Ibukota Jayapura dan Propinsi Papua Barat dengan Ibukota Manokwari. Sorong adalah kota terbesar di Propinsi Papua Barat.

Pemerintah Daerah di Papua terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif, Pemerintah Propinsi sebagai badan eksekutif dimpimpin seorang Gubernur, dan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua.

MRP memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua; dengan berlandaskan hormat terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Sejak Pepera 1969, kini sudah berlalu hampir 53 tahun Papua menjadi bagian dari Negara Indonesia. Bila dihitung sejak 1 Mei 1963, maka sudah 59 tahun waktu berlalu.

Presiden Jokowi berkali-kali berjanji untuk sungguh membangun Papua. Beliau berkali-kali berkunjung ke Papua. Ada banyak dana dan program pembangunan untuk Papua.

Ilustrasi – Pemekaran wilayah Papua menjadi enam provinsi. (Ist)

Enam provinsi di Papua

Papua saat ini sudah dimekarkan menjadi enam propinsi. Dilakukan dengan alasan pemerataan pembangunan dan keamanan yaitu:

  • Propinsi Papua dengan Ibukota Jayapura;
  • Propinsi Papua Barat dengan Ibukota Manokwari;
  • Propinsi Papua Selatan dengan Ibukota Merauke;
  • Propinsi Papua Tengah dengan Ibukota Mimika;
  • Propinsi Papua Pegunungan dengan Ibukota Wamena.
  • Propinsi Papua Barat Daya dengan Ibukota Sorong.

Isteri Presiden Jokowi Bu Iriana konon numpang lokasi lahir di Papua.

Masalah ketidakadilan dan pelanggaran HAM hingga kini, masih saja terus terjadi di Papua; bahkan pada zaman Presiden Jokowi.

Sampai sekarang pelanggaran HAM dan ketidakadilan di Papua masih terjadi.

Amnesty Internasional misalnya mencatat bahwa antara Februari 2018 sampai Agustus 2021 terjadi 56 kasus insiden dengan jumlah korban meninggal dunia 98 orang.

Pihak TNI dan polisi Indonesia menyatakan bahwa para korban adalah bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau kelompok bersenjata yang mengganggu keamanan di Papua.

Korban juga terjadi di pihak TNI, polisi, dan masyarakat lainnya termasuk pekerja sipil berbagai proyek infrastruktur.  

Banyak kasus kekerasan -bahkan dengan korban jiwa- tidak pernah sungguh diselidiki secara independen dan tidak pernah diadili secara terbuka dalam pengadilan sipil yang independen. Misalnya perlu diselidiki siapa sesungguhnya pelaku dan dalang penembakan serta apa dan darimana senjata yang digunakan.

Juga perlu diselidiki motivasi dan siapa yang mengambil keuntungan dari berbagai peristiwa tersebut.

Suara para pastor di Papua

Para pastor Papua berkali-kali menyuarakan pendapat mereka. Tanggal 21 Juli 2020 sebanyak 57 pastor Katolik pribumi Papua menulis seruan moral yang diperluas menjadi seruan moral 147 pastor Katolik se Papua pada tanggal 10 Desember 2020.

Tanggal 14 November 2021 sekali lagi 194 pastor Katolik se-Papua menyatakan seruan moral demi kemanusiaan, keadilan, kebenaran & keselamatan hidup Orang Asli Papua (OAP) di atas tanah leluhurnya.

Tema seruan moral tersebut adalah “Sukacita Propinsi Papua Menyukseskan PON XX. Namun Masyarakatnya Sedang Menyembunyikan Dukacita Mendalam yang Sedang Dialami Umat Nduga, Kiwirok, Intan Jaya, dan Maybrat.”

Para pastor yang menandatangani seruan moral tersebut berasal dari semua keuskupan dan berbagai Ordo dan Kongregasi yang bekerja di Papua.

Sebelumnya juga ada pernyataan sikap dan seruan gencatan senjata oleh 36 imam praja (confrater diosesan/condios) Keuskupan Timika-Papua 31 Oktober 2021.

Pada intinya para pastor tersebut berharap berbagai kekerasan dan konflik di Papua dapat diakhiri dan dipecahkan dengan dialog dan rekonsiliasi.

Para pastor yakin bahwa tugas Gereja adalah bersuara untuk mereka yang tak bersuara (the voice of the voiceless) dan harus menjadi promotor keadilan, kebenaran, dan perdamaian.

Bagi mereka, tanah Papua bukanlah tanah kosong dan sudah merupakan milik Orang Asli Papua sejak zaman leluhur.

Ajaklah Uskup-uskup Papua sebelum bicara tentang Papua

Tanggal 9 Desember 202, Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) se-Papua yang terdiri dari SKP Keuskupan Agung Merauke, SKP Keuskupan Timika, SKP Agustinian Papua, dan SKP Fransiskan Papua mengeluarkan press release.

Isinya berupa kritik serta harapan agar pimpinan KWI perlu mendengarkan dan berdiskusi lebih dahulu dengan para uskup Papua, bila ingin menyampaikan pendapat mengenai situasi Papua.

Sikap para uskup Papua sendiri tidak pernah disampaikan secara terbuka melalui media umum.

SKP se-Papua menyatakan bahwa selama ini mereka selalu menyampaikan kepada KWI berbagai data berbagai masalah pelanggaran HAM dan ketidakadilan di Papua dan memberi catatan kritis mengenai pendekatan pemerintah Indonesia terhadap berbagai masalah di Papua yang mengakibatkan banyak korban.

Mencari peluang di masa depan

Tanggal 2 Februari 2023 Mgr. Yanuarius Matopai You akan ditahbiskan sebagai uskup untuk Keuskupan Jayapura.

Semoga Mgr. Yan You bersama para uskup dan imam serta masyarakat di Papua akan membuka babak baru masa depan Papua yang lebih aman, damai, adil, dan sejahtera.

Ferry SW, 25 Januari 2023 (Selesai)

Baca juga: Papua – Mengenang Para Imam yang Berkarya di Papua dan Kini Sudah Meninggal (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here