Paroki Nanga Mahap, Keuskupan Sanggau, Kalbar: Sukacita Bertani dan Panen Padi di Sawah Subur

0
725 views
Ilustrasi: Lahan persawahan dengan bulir-bulir padi yang sudah tua menguning di wiayah permukiman penduduk di Paroki Nanga Mahap, Keuskupan Sanggau, Kalbar. (Sr. M. Ludovika OSA)

SAYA ini 100% orang Dayak dari Kalbar. Sekarang ini, sudah kurang lebih selama 6 bulan teerakhir ini, saya telah ditugaskan oleh Pemimpin Umum Kongregasi Suster St. Augustinus dari Kerahiman Allah –biasa disebut OSA—di kawasan permukiman orang Dayak yang berbeda dari lingkungan Dayak darimana saya lahir dan berasal.

Sama-sama berada di Provinsi Kalbar, tapi toh ‘citarasa’ sosial Dayak tetap saja berbeda.

Pedalaman di Keuskupan Sanggau

Sebagai suster religius OSA, saya mendapat tugas berkarya di bidang pendidikan PAUD di wilayah administratif Paroki Nanga Mahap.

Lokasinya bukan di Keuskupan Agung Pontianak (KAP), bukan pula di Keuskupan Ketapang di mana karya para suster OSA “bertebaran” di banyak lokasi, melainkan paroki itu ada di wilayah gerejani Keuskupan Sanggau.

Areal persawahan yang subur untuk tanaman padi. Bertani dan menanam padi dengan menetap di lokasi tertentu adalah “tradisi baru” bagi kebanyakan orang Dayak di Kalimantan.

Selain mengenal situasi lingkungan yang baru di tempat karya dan komunitas suster OSA, saya juga harus belajar mencintai semua yang ada “di situ”: Nanga Mahap.

Mencintai lingkungan sekitar dan mengenal lebih jauh adalah hari-hari perjuangan saya ketika mengawali tugas di Nanga Mahap, Keuskupan Sanggau, Kalbar.

Awal pertama memanglah berat lantaran proses penyesuaian diri. Sekarang ini, setelah hampir enam bulan berada di tengah Umat Katolik Keuskupan Sanggau di Paroki Nanga Mahap, saya mulai merasakan denyut jantung ‘berbeda’. Saya mulai mencintai mereka dan tradisi lokal di sana serta merasa berada bersama mereka.

Petani padi dan peladang

Dunia perkerjaan dan sumber penghasilan hidup masyarakat Dayak di Nanga Mahap adalah bertani padi dan lainnya.

Banyak umat Katolik bekerjasama sehingga berhasil membuka lahan perladangan dan pertanian yang luas dengan tingkat sumber kehidupan yang juga membaik.

Semua itu menjadi semakin “lebih sempurna”, karena mutu tanah di Nanga Mahap termasuk subur.

Menanam padi bagi saya orang Dayak adalah “hal baru”, karena di banyak tempat tradisi menanam padi itu tidak banyak dilakukan oleh orang-orang Dayak karena berbagai faktor.

Tradisi baru: menanam padi

Ternyata, orang Dayak di Nanga Mahap sekarang ini sudah menjadi “sangat biasa” dan bisa menanam padi dan menjadi peladang yang sifatnya tetap alias bukan lagi nomaden (berpindah-pindah).

Saat-saat berada bersama dengan umat Katolik di Nanga Mahap di areal persawahan di tengah banyaknya bulir-bulir padi itulah, saya bisa merasakan aroma sukacita yang besar.

Foto-foto di bawah ini rasanya cukup menggambar isi hati saya ketika bersama-sama suster OSA lain ikut terjun ke sawah memanen padi hasil usaha bersama, memasak lemang untuk makan siang di tegalan atau di tengah ladang.

Mencintai alam, mengenal budaya setempat dan kemudian mencintai dan merawatnya adalah hari-hari sukacita bersama Umat Katolik Paroki Nanga Mahap, Keuskupan Sanggau, Kalbar.

Bersama-sama membersihkan lahan untuk kemudian disulap menjadi areal pertanian dan sawah di Nanga Mahap, Keuskupan Sanggau, Kalbar.
Aroma sukacita dan enaknya makan bersama di ladang usai bekerjasama membersihkan kawasan untuk fungsi pertanian.
Enaknya memasak lemang untuk menu makan siang bersama di ladang.
Sejenak Sr. Lidia OSA “melupakan” jubah susternya dan biara, ia terjun ke lapangan di areal persawahan di Nanga Mahap dan ikut melakukan panen padi.
Makan bersama dengan menu lokal hasil bumi setempat di Nanga Mahap, Keuskupan Sanggau.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here