Pastor Harus Tetap Selibat: Kritik Paus Emeritus Benedictus XVI kepada Paus Fransiskus

3
1,898 views
Paus Emeritus Benedictus XVI by Franco Origlia/Getty Images via AFP.

AKHIR-akhir ini muncul sebuah ide dan diskusi mengenai boleh-tidaknya pria yang sudah menikah dan kemudian bisa ditahbiskan menjadi imam. Dengan demikian, pokok penting dari gagasan dan diskusi ini adalah perlu-tidaknya pastor itu masih harus selibat (tidak menikah) atau tidak.

Gagasan ini mengemuka, seiring dengan situasi di mana tidak ada banyak imam di kawasan pedalaman hutan Amazon di Brasil. Karena itu, kemudian muncul ide tersebut. Yakni, guna bisa terjadi pelayanan sakramental di tempat-tempat terpencil, maka perlu “dihadirkan” imam-imam lokal yang secara spontan bisa “diciptakan”.

Caranya tidak lain dengan menahbiskan pria-pria setempat –walaupun sudah menikah dan kini punya keluarga dan anak—untuk kemudian ditahbiskan menjadi imam.

Ini penting agar pria-pria menikah dan kini jadi pastor itu bisa melayani kebutuhan pelayanan sakramental gerejani di tempat-tempat permukiman di pedalaman –jauh dari keramaian—di hutan-hutan Amazon di Brasil.

Cara ini ditempuh karena di sana tidak ada imam “konvensional”, Yakni para pastor yang sejak “dari sononya” memang sudah melakoni hidup selibat dan telah mengalami proses pembinaan di seminari dan studi wajib filsafat-teologi hingga akhirnya dinyatakan “layak” untuk ditahbiskan menjadi imam.

Nah, diskusi tentang ide “kontroversial” di atas langsung menemukan “jalan buntu”. Terutama, ketika menabrak tradisi Gereja Katolik yang umurnya sudah berabad-abad lamanya bahwa seorang imam itu di mana pun harus tetap menjalani hidup selibat dengan tidak menikah.

Belum ada keputusan

Vatikan belum mengambil keputusan penting soal ini, meski Paus Fransiskus pernah mengatakan akan mempertimbangkan ide diperbolehkannya pria sudah menikah lalu menerima Sakramen Imamat dan ditahbiskan menjadi imam.

Namun, hal itu –seandainya memang akan diputuskan—nantinya hanya akan terjadi di mana ada kebutuhan mendesak dan kehadiran para pastor “konvensional” tidak ada.

Kecaman Paus Emeritus Benedictus XVI

Salah satu penentang keras atas gagasan kontroversial itu adalah Paus Emeritus Benedictus XVI yang kini berusia 92 tahun.

Dalam sebuah buku baru yang beliau tulis bersama Kardinal Robert Sarah terbitan Fayard di Perancis, Paus Emeritus Benedictus XVI menentang keras atas munculnya pertimbangan pria menikah boleh ditahbiskan jadi imam.

Paus Emeritus Benedictus XVI berpendapat bahwa tradisi selibat yang sudah berlangsung ribuan tahun itu tidak boleh serta-merta “dihilangkan”.

Apalagi hanya untuk tujuan eksperimental dan guna bisa memenuhi “kebutuhan khusus” di lapangan yang juga serba khusus: tidak ada imam “konvensional” di tempat-tempat terpencil, maka perlu “diciptakan” imam-iman “non-konvensional”.

Tidak mau tinggal diam

Mengenai gagasan “kontroversial” ini, Paus Benedictus XVI yang resmi mengundurkan diri di tahun 2013 menegaskan dirinya tidak akan “tinggal diam” merespon gagasan tersebut.

Menurut dia, praktik imam menjalani hidup tidak menikah dengan selibat itu sudah menyumbangkan banyak hal kepada Gereja.

“Juga tidak mungkin orang bisa fokus berkerja, ketika pada saat yang sama dia menjadi pastor dan menikah serta harus bertanggungjawab pada keluarganya,” demikian tutur Paus Emeritus Benedictus XVI sebagaimana ditulis harian Perancis Le Figaro.

Ref: Célibat des prêtres: le cri d’alarme de Benoît XVI.

Tradisi imam menjalani hidup selibat dengan tidak menikah itu, demikian tulis harian terbitan Perancis, sudah berlangsung selama 600 tahun.

Hingga berita ini dirilis pada hari Senin tanggal 13 Januari 2020, tulis Le Figaro, Vatikan belum mengeluarkan tanggapan resmi atas kritik tajam dan “penolakan” Paus Emeritus Benedictus XVI atas gagasan kontroversial boleh-tidaknya pria sudah menikah ditahbiskan menjadi imam.

Vaticanisti

Para Vaticanisti –pengamat isu-isu Vatikan—merilis berbagai reaksi yang beragam atas “komentar” pedas Paus Emeritus Benedictus XVI atas isu yang memang tengah hangat diperbincangkan karena kontroversialnya.

Menurut mereka, kritik dari seorang Paus yang sudah pensiun kepada Paus penerusnya itu “tidak biasa” terjadi.

Namun pengamat lain justru mendukung langkah itu agar Paus Fransiskus tidak sampai “kebablasan” menabrak “rambu-rambu” tradisi Gereja Katolik. Dalam hal ini adalah praktik hidup selibat yang berlaku para setiap pastor di seluruh dunia.

“Komentar Paus Benedictus XVI itu jangan diartikan beliau telah ‘batal’ puasa bicara, hanya karena beliau dan “kelompoknya” merasa tidak pernah harus mengunci mulut  dengan tidak boleh bicara membahas isu-isu penting yang tengah terjadi di Gereja Katolik Semesta,” demikian ahli sejarah Gereja sekaligus teolog Massimo Faggioli dari Universitas Villanova dalam kicauannya di Twitter.

“Namun, komentar terakhir ini rasanya memang di luar kebiasaan di mana seorang Paus Emeritus secara etisk sebaiknya jangan lagi boleh ‘campur tangan’ dalam urusan roda pemerintahan Paus penerusnya,” tambahnya.

Joshua McElwee dari National Catholic Reporter juga menyebut kritik Paus Emeritus Benedictus XVI sebagai hal yang “sangat mengejutkan”.

Mengomentari cuplikan rilis buku baru yang dilansir harian Le Figaro, Joshua McElwee menulis demikian. “Sungguh tak biasa bagi seorang mantan Paus ikut campur menanggapi isu penting yang kini tengah menjadi bahan pembahasan oleh Paus penerusnya.”

Para teolog konservatif mendesak bahwa Paus Emeritus itu sebaiknya “diam” melakukan puasa bicara. Ini penting, ketika Paus Fransiskus gencar tengah melakukan pembaruan atas banyak hal. Utamanya melakukan pembaruan dalam tata kelola pastoral gerejani.

Apalagi, kata mereka, Paus Benedictus XVI masih tinggal di dalam “lingkaran dalam” Istana Kepausan Vatikan.

Perkara selibat para imam

Di bulan Oktober 2019 lalu telah berlangsung apa yang disebut Sinode Para Uskup membahas masalah-masalah sosial dan lingkungan di Amazon, Brasil.

Di akhir Sinode Amazon itu terbit sebuah dokumen yang antara lain mendiskusikan peluang bagi pria sudah menikah –meskipun juga sudah berumur—boleh menerima Sakramen Imamat untuk kemudian bisa ditahbiskan menjadi imam. Ini menjadi semacam “solusi cepat” agar bisa  guna memenuhi “kebutuhan mendesak lokal” akan adanya pastor.

Para Uskup di Amerika Latin yang juga ikut dalam Sinode Amazon ini mendukung ide baru tersebut. Ini karena pertimbangan kemendesakan akan kebutuhan kehadiran para imam di lokasi-lokasi pedalaman terpencil di hutan Amazon yang tidak bisa dijangkau oleh para “imam konvensional”.

Ketika gagasan soal ini dibawa ke Tahta Suci Vatikan sebagai “hasil” Sinode Amazon, Paus Fransiskus berjanji akan segera mempertimbangkannya.

Belum ada keputusan

Yang pasti, hingga saat ini Vatikan belum mengambil keputusan apakah nantinya para pria yang sudah menikah itu boleh jadi imam apa tidak.

Juga penting dipahami di sini bahwa “klausul” itu tidak berlaku umum secara universal. Melainkan –kalau pun itu nanti dibahas dan kemudian diputuskan– maka hal itu hanya berlaku secara terbatas di mana kasus-kasus khusus itu muncul.

Taruhlah itu di pedalaman sangat terpencil di kawasan hutan Amazon, Brasil. Bukan berlaku umum di mana-mana.

Hal ini sering disalahartikan oleh banyak orang, termasuk wartawan yang tidak tahu “A-to-Z”nya tentang hal-ikhwal tata kelola pastoral gerejani khas Gereja Katolik. Termasuk isu penting saat ini, yakni apakah nantinya para pastor boleh menikah, punya keluarga dan anak-anak.

Bukan begitu cara pikirnya.

Melainkan cara pikir yang benar harusnya demikian ini. Karena ada urgensi di lapangan, maka sekali waktu –untuk sementara waktu sampai saat ini hanya bisa diandaikan saja—bahwa pria sudah menikah akan (boleh) menerima tahbisan imamat dan menjadi pastor.

Cara pikir yang salah biasanya kemudian melahirkan kesimpulan yang juga salah. Yakni, setiap pastor nantinya akan boleh menikah.

Satu isu lainnya adalah Paus juga tengah mempertimbangkan dimungkinkannya peran lebih besar bagi kaum perempuan dalam tata kelola pastoral gerejani. Lagi-lagi, dari sebuah gagasan ini kemudian ditafsirkan secara salah bahwa kaum perempuan nantinya boleh jadi imam.

Menurut laporan BBC International, Paus diharapkan bisa segera mengambil keputusan atas isu-isu kontroversial ini dalam beberapa bulan mendatang.

Mengapa menjadi heboh?

Kita, Umat Katolik, sudah tahu bahwa hidup tidak menikah dengan cara selibat itu sudah dari sononya telah menjadi cara hidup bagi setiap imam di mana pun juga.

Salah satu tujuan pastoral “praktisnya” adalah agar hidup dan mutu pelayanan pastor itu hanya tertuju pada Tuhan dan Gereja-nya; tidak terpecah  fokus dan perhatiannya pada keluarga dan anak-anaknya.

Tujuan ini jelas tidak akan “terpenuhi” secara baik dan optimal,  seandainya di kemudian hari nanti  pria sudah menikah kan diperbolehkan menjalani “hidup ganda” sebagai pastor, namun sekaligus suami dan bapak keluarga.

Tetap fokus di jalur tradisi

Bagi kaum konservatif dan tradisionalis, Paus Fransiskus hendaknya tetap “fokus” menepati arah  jalur pemikiran tradisional-konvensional ini. Jangan berubah arah.

Demikian inti kritik pedas dan imbauan Paus Emeritus Paus Benedictus XVI kepada Paus Fransiskus sebagaimana dilansir Le Figaro.

Mereka juga mengkritik pedas bahwa gagasan mengizinkan pria sudah menikah bisa menjadi pastor itu hanyalah satu langkah “diam-diam” dari kelompok modernis agar praktik selibat bagi para imam itu sebaiknya dihilangkan saja.

Dan inilah yang ditolak mentah-mentah oleh Paus Emeritus Benedictus XVI dan kaum tradisionalis-konservatif, pendukung Paus Emeritus Benedictus XVI.

Kita tahu bahwa sebelum menjadi Paus, Kardinal Joseph Ratzinger –nama asli Paus Emeritus Benedictus XVI—dikenal sebagai pribadi yang keukeuh mempertahankan dogma dan semua ajaran tradisi Gereja Katolik saat menjadi Kepala Kongregasi (semacam Kementerian) Ajaran Iman.

Sumber: Le Figaro, BBC International.

3 COMMENTS

  1. Saya sangat mendukung pernyataan Paus Emeritus Benedictus XVI. Imam Katolik harus selibat. Pelayanan di Amazon masih bisa dibuat oleh Diakon permanen, pro-Diakon atau Katekis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here