SUATU ketika, Liem Tjay mendapat dua orang tamu di pastoran pedalaman – tempat dia mengampu pastoral sebagai pastor paroki di wilayah pastoral Keuskupan Agung Samarinda, Kaltim. Kedua tamu “orang kota” itu adalah Pastor Sergio dan Suster Rita – identitas mereka ini bukan nama sebenarnya.
Tapi mereka berdua itu sungguh-sungguh seorang imam dan seorang suster biarawati.
Pastor Segio adalah pastor rekan di sebuah paroki kecil di Jawa Barat. Suster Rita tinggal di suatu biara sebagai pengurus rumahtangga.
Mereka berdua masih ada hubungan keluarga. Karena itu, saat liburan tahunan, mereka bersama-sama ingin menengok kerabat keluarga di Balikpapan, Kaltim.
Uji nyali ke pedalaman
Mereka mengatakan kepada Pastor Liem Tjay tertarik mau ikut turne ke stasi jauh di kawasan pedalaman. Perjalanan dari pusat paroki ke stasi ditempuh selama satu jam.
Karena semalaman telah terjadi hujan lebat dan jalanan jadi penuh kubangan lumpur pekat, maka mobil hanya sampai di pasar desa.
Liem Tjay dan dua tamu ini harus berjalan kaki menuju ke kapela stasi. Lokasinya sejauh 3 km dari tempat parkir mobil dekat pasar.
Ketika mereka melewati rumah-rumah papan ala transmigrasi dan pekarangan yang penuh dengan lumpur, kedua tamu “orang kota” ini tampak keheranan melihat situasi kanan-kiri jalan.
Maka mereka pun bertanya, “Ini pemandangan yang luar biasa. Bagaimana masyarakat dan umat bisa bertahan hidup di tempat seperti ini?”
Maksudnya adalah bagaimana mereka mampu bertahan hidup di model permukiman penduduk yang serba “miskin” macam itu.
Dari kejauhan, jajaran umat stasi sudah berdiri di depan Kapela. Berbondong-bondong mau menyambut dua tamu penting ini.
Ada yang merasa bangga dengan kehadiran Pastor Sergio dan Suster Rita yang sama sama berasal dari satu kampung.
Pamer jabatan
Setelah misa, ada acara perkenalan dan tanya jawab.
Pastor Sergio memperkenalkan diri. “Saya Pater Sergio tinggal di Jakarta sebagai Deken dan Dewan Tarekat, Ketua Yayasan Pendidikan,” katanya bangga.
Semua umat langsung bertepuk tangan.
Ada yang berbisik, “Hebat ya pater itu, jabatannya Deken.”
Yang lain ikut mengatakan pelan, “Pater itu kami punya keluarga. Saya kenal mamanya yang sudah tua!”
Kemudian Suster Rita juga mulai memperkenalkan diri.
“Walaupun saya berasal dari kampung, sekarang saya tinggal di Jakarta sebagai Direktris Sekolah Tinggi Manajemen & Akuntansi.”
Ibu Letta secara spontan mengangkat tangan sambil berdiri memberikan komentar,
“Kami bangga Pater dan Mama Suster punya jabatan hebat dan sukses di Jakarta. Kami ini merantau sudah 10 tahun.
Pater dan Suster tahu sendirilah, bagaimana keadaan di daerah transmigrasi seperti ini. Sulitnya kami menanam padi dan berkebun untuk bertahan hidup.
Kami tetap miskin dan susah hidup di rantau. Mohon bantuan Pater dan Mama Suster!”
Salah kalian mau transmigrasi
Apa jawaban Sr Rita?
“Bodoh. Itu salah kalian sendiri, mau-maunya merantau di daerah seperti ini. Di kampung sendiri saja, tanah lebih subur dan luas. Tinggal di kampung sendiri lebih makmur daripada di sini.
Mengapa kalian mau sengsara di rantau seperti ini?” jawab suster biarawati ini dengan yakin.
Tentu ia tak bermaksud menyinggung perasaan atau apa. Ia hanya berpikir, mesti pikir matang-matang dulu sebelum meninggalkan kampung halaman dan kemudian ikut program transmigrasi ke luar pulau.
Tak dinyana, bu Letta yang duduk di barisan bangku umat mendadak langsung naik pitam.
Dengan nada suara tinggi, ia mengatakan seperti ini.
“Suster dan pastor ini sudah enak hidup di biara, tidak menderita lagi. Coba kalau tidak ada jabatan sebagai pastor dan suster, sama saja Pastor dan Suster akan hidup sengsara seperti kami-kami ini.
Ingat, kami tahu dari mana Pastor dan Suster berasal dan di mana telah dibesarkan.Kita ini sama saja berasal dari kampung yang susah dan gersang.
Ingat, hanya karena jabatan di biara dan Gereja, hidup kalian bisa lebih beruntung dan enak, eh jangan pernah lupa dengan keluarga di kampung!”
Demikian kisah seorang pastor dan suster yang baru saja “memamerkan” jabatan yang bergengsi di hadapan umat se-asal-nya di rantau.
Kisah lama ini tetap masih dikenang oleh Liem Tjay.
Melihat reaksi umat
- Umat langsung bereaksi ternganga. Semua lalu menatap dua manusia kaum berjubah yang masih berdiri di depan altar dengan membawa impian.
- “Pater, Suster, Bruder, kalian yang berjubah putih hidupmu bisa terjamin di biara nan damai. Kami umatmu tetap berjuang melawan kemiskinan dan ketidakberdayaan. Biarlah kami hidup dalam kubangan lumpur sengsara. Dengan tulus, selalu doakan kami ini biar tabah menjalani nasib. Kelak kami pun akan hidup makmur seperti kalian kaum berjubah!”
- Umat pun ikut bangga. Mereka ikut merasa bangga, karena keluarganya yang telah berjubah bisa hidup sukses karena jabatan dan fasilitas hidup sudah sangat terjamin.
- Mereka bangga, karena jabatan-jabatan di balik jubah putih itu ternyata mampu mengubah hidup para religius.
- Kepahitan yang pernah menghiasi masa lalu mereka itu kini telah sirna hilang. Tertutup sudah oleh kisah sukses di balik jubah. Hidup keseharian mereka telah berubah total, karena suatu penampilan bergengsi dan saleh dengan atribut sosial punya pangkat jabatan, punya posisi kedudukan di dalam unit karya tarekat atau keuskupan; juga bertengger dalam struktur kepemimpinan Gereja.
Jangan terlena
Mendengar kisah lama di pedalaman Penajam di Kaltim yang dialami Pastor Liem Tjay itu, almarum Romo Suyanto Tuyet Pr lalu bertanya serius kepada sahabatnya.
“Begitukah kamu selama kamu berkarya di wilayah pedalaman Kalimantan Timur? Sampai terlena dengan tugas-tugas Keuskupan?” gugat almarhum kepada penulis.
Penegasan Tuyet terhadap jabatan Liem Tjay.
“Ceti, walaupun kamu tidak pernah mendapat tugas studi khusus, entah di luar negeri atau di universitas dalam negeri, kamu ternyata punya kemampuan dan talenta, sehingga kamu bisa menggunakan anugerah Tuhan untuk melakoni hidupmu sebagai seorang imam-Nya yang memang kere.” (Berlanjut)