Pastor Terjerat Asmara dan Terbelenggu Harta

0
789 views
Ilustrasi: harta uang. (Ist)

BAPERAN. BAcaan PERmenungan hariAN.

Selasa, 25 Januari 2022.

Tema: Tidak selalu siap.

Bacaan.

  • Kis. 22: 1-6 atau Kis. 9: 1-27.
  • Mrk. 16: 15 -18.

“MAS, aku tidak siap dan bingung. Betul. Aku tidak bisa. Hatiku tidak bisa dipaksa menerima pengutusan baru ke luar Jawa.

Ada begitu banyak hal yang terkait dan sangat berat untuk meninggalkan. Perasaanku lagi tertekan,” kata pastor, adik angkatan, atas rencana penugasan baru.

Ia segera akan dikirim ke luar Jawa. Berkarya di suatu paroki kecil dan lokasinya terpencil.

“Bukankah itu yang kita ikrarkan Dik? Bersedia setiap saat diutus ke mana pun. Di sana pun Tuhan ingin dilayani dan mencurahkan berkah,” kataku.

“Betul Mas aku tahu. Aku sadar dan mengerti banget. Kali ini, aku tidak siap. Ketika hatiku bebas dan tidak terikat selain pada pengutusan-Nya, tidak masalah mas. Apalagi ketika aku masih muda, energik dan cita-cita yang sangat menggebu-gebu.

Di umurku saat ini aku membutuhkan pertimbangan yang lebih panjang. Aku juga mulai memperhitungkan kesehatanku. Bahkan mungkin masa depanku juga,” katanya.

“Lah dulu, kita kan tidak memberi syarat atas apa pun yang akan terjadi. Bukankah kita telah menyerahkan diri dalam bimbingan Pembesar dan tentu berserah pada rancangan Tuhan yang mengagumkan, bukan?

Kenapa Dik?

Adakah sesuatu yang menghambatmu baik secara fisik atau psikologis. Sudahkah curhat dengan Bapa Pembimbing Rohanimu dan Bapak Uskup?” tanyaku.

“Belum Mas. Aku mau merenungkan dulu. Kemarin, aku mendapat sinyal dari pembesar kita.

Secara fisik tidak ada masalah mas. Tetapi secara psikologis, aku belum sanggup dan belum bisa meninggalkan kenyamananku di tempat yang ini. Aku merasa nyaman, bahagia.

Di sini aku dapat mengekspresikan pelayananku dengan prima. Umat sangat mendukung dan mengerti kesulitanku.

Ada beberapa keluarga yang dekat bahkan bisa dikatakan aku dianggap sebagai anggota keluarganya sendiri.

Aku sungguh nyaman dan tidak mau dipindah.

Aku dapat info dan membayangkan di tempat yang baru dari pergulatan imam-imam yang lebih dahulu. Rasanya aku tidak sanggup. Aku masih ingin 1-2 tahun di tempat ini. Tidak dipindah dulu.

“Apa yang sebenarnya kau alami?” kataku tak sabar.

Ia diam sejenak dan menangis. “Masalah pribadi Mas,” jawabnya.

“Apa ada kaitan dengan wanita?”

“Ada Mas. Justru itu yang memberatkanku tidak bisa meninggalkan dia sekarang ini sendiri. Saat ini kami saling dekat, saling bekerjasama. Adalah rasa ‘perasaan’ sedikit,” gundahnya.

“Gimana kisahnya?”

“Kami belum jauh melangkah. Kalau dekat, sudah. Kami jalan bareng. Teman komunitas tahu. Kadang mereka pun saya ajak.

Akhir-akhir ini saya sedikit memberanikan diri untuk lebih mengenal dia. Dan rasanya dia pun tidak keberatan.

Dengan orangtuanya sudah dekat. Tapi mereka tetap mewanti-wanti saya untuk tidak berlebihan. Anaknya berpikiran dewasa, karena pernah kuliah di luar negeri.

Karier bagus. Dan kalau mau melanjutkan usaha orangtua, itu lebih dari cukup. Kebetulan dia anak yang pertama dari dua bersaudara.

Awalnya saya hanya menyertakan modal karena dia mendapat proyek. Saya menyertakan apa yang saya terima, yang saya miliki selama ini. 

Prospeknya bagus. Lalu saya melibatkan saudara-saudari saya untuk berinvestasi yang sama.

Investasi cukup maju dan berkembang bahkan hasil sudah terlihat melimpah.

Tapi di balik itu semua, saya mulai menyenanginya.

Juga menyanyanginya,” jelasnya.

“Bagaimana dengan reaksinya?”

“Dia hanya pernah menyatakan, bersahabat dululah. Dia mendukung pelayanan saya. Tetapi dalam kerjasama ini, murni bisnis.

Seandainya saya menarik modal saya, juga dia tidak keberatan.”

“Dan hatimu bagaimana?”

“Justru disini saya bingung. Saya ingin dekat. Tetapi dia belum memberi tanda-tanda. Saya ingin lebih dari sekedar sahabat. Tetapi dia tidak menanggapi. Pernah dia bilang belum waktunya.

Yang penting proyek demi proyek didapat. Mumpung masih muda mengejar apa yang ingin dikejar.

“Kalau engkau yang memutuskan?”

“Saya tidak siap kehilangan dia,” tegasnya.

“Oke. Renungkanlah. Ajaklah dia bicara. Dan lihatlah reaksi dia,” kataku.

Kesiapsediaan diutus membutuhkan kesediaan melepas. Itu menyakitkan.

Tuhan, temui aku dipersimpangan jalan-Mu. Amin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here