Pedalaman Nanga Mahap, Sanggau: “Malaikat” di Jalan Menuju Anak-anak SEKAMI Stasi Landau Manserai

0
408 views
“Malaikat” di Tengah Jalan Anak-anak SEKAMI Stasi Landau Manserai. (OMK Paroki Nanga Mahap, Keuskupan Sanggau)

PAGI itu kami kedatangan tamu dari Stasi Landau Manserai, Paroki Nanga Mahap di wilayah reksa pastoral Keuskupan Sanggau, Kalbar. Seorang bapak pemimpin umat datang menemui pastor paroki dan kemudian datang menyambangi pimpinan komunitas kami.

Tujuannya untuk minta salah satu suster di komunitas kami bisa diutus memimpin ibadat. Bersama anak-anak Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner atau SEKAMI. Lokasinya di sebua stasi. Jauh dari “pusat kota” Nanga Mahap, Keuskupan Sanggau, Kalbar.

Sekedar tahu saja, butuh perjalanan selama kurang lebih delapan jam untuk bisa sampai di Nanga Mahap dari Pontianak.

Dari Pontianak, mobil bisa melaju cepat selama lima jam dan baru akan sampai di Sekadau. Masih tiga jam lagi dari Sekadau menuju Nanga Mahap.

Pada kesempatan kali ini, suster pimpinan komunitas akhirnya berkenan mengutus saya untuk memimpin ibadat yang dimaksud.

Pada hari Minggu pagi itu, sekitaran pukul 06.00 WIB, saya dan beberapa OMK sudah siap untuk berangkat menuju stasi. Meskipun hujan turun,kami tetap berangkat. Perjalanan dengan waktu tempuh selama satu jam dengan sepeda motor.

Dalam perjalanan melewati badan jalan penuh dengan kobangan bubur lumpur, saya sampai terjatuh terduduk di tanah lumpur. Tas yang biasanya saya pakai untuk menyimpan jubah ganti kali ini sudah menjadi basah kena air lumpur.

Saya bangun, berusaha menyelamatkan jubah saya yang ada di tas, namun gagal total. Tas sudah terlempar cukup jauh. Usaha menyelamatkan tas gagal, saya terjatuh lagi.

Jalan terlalu licin. Untuk melewatinya dengan berjalan kaki pun susah. Saya juga kurang berpengalaman melewati jalan itu.

Rantai motor putus di pagi hari

Setelah 30 menit melewati lumpur dan sampai terjatuh berkali-kali, kali ini ujian mental terjadi pada kondisi kendaraan. Sampai di persimpangan jalan, rantai motor putus. Padahal, perjalanan kami masih jauh.

Seketika merasa saya akan gagal sampai ke tempat yang harus kami tuju. Kami berhenti sejenak. Berharap ada yang melewati jalan tempat kami berdiam diri.

“Malaikat” di tengah jalan

Pagi-pagi begini, adakah orang lewat sini suster? Tanya salah satu OMK. Namun, tak lama kemudian, ternyata ada dua orang bapak lewat hendak membeli tabung gas.

Kami berteriak minta sang pengendara motor untuk berhenti, ternyata mereka berhenti. Dan mereka menolong kami membawa motor ke bengkel. Mereka bahkan membantu membangunkan si pemilik bengkel.

Satu jam OMK harus menunggu di bengkel sampai pukul 08..00 WIB. Singkat cerita, kami datang terlmabat di acara.

Jubah basah di atas mimbar

Pukul 08.40 WIB, kami akhirnya sampai di kampung. Umat stasi sudah menunggu di kapel stasi. Setelah cuci kaki di kali, kami segera bergegas menuju kapel dan berganti pakaian.

Karena di jalan tadi saya sudah terjatuh dan jubah saya terkena lumpur, maka di hari itu saya berbusana jubah basah naik ke atas mimbar. Juga kotor di sana-sini oleh lumpur.

Sebagian umat bertanya, kenapajubah suster basah? Suster jatuh di jalan yang jelek situ ya? Iya. Jawab saya

Memimpin ibadat berbusana jubah basah membuat badan saya tiba-tiba terasa dingin. Ingin rasanya waktu cepat berlalu, karena badan menjadi terasa tidak enak.

Namun di kapel itu banyak sekali umat. Terlebih anak-anak SEKAMI. Dan kebetulan saja saya pun jadi penggiat SEKAMI di paroki. Maka, jubah basah dan terkena lumpur menjadi terlupakan.

Makan bersama anak-anak SEKAMI

Setelah selesai ibadah bersama, saya dan OMK diajak masuk ke rumah pemimpin umat untuk makan siang bersama anak anak SEKAMI masing-masing membawa bekal. Kami makan bersama teman-teman SEKAMI di rumah pemimpin umat.

Dalam  suasana serba sangat sederhana dan berada di tengah mereka yang polos dan lugu, ada perasaan sukacita di hati saya. Lupa sudah busana basah dan kotor. Lupa sejenak badan mulai terasa meriang.

Banyak belajar dari lapangan

Banyak hal baru dan baik menjadi bahan pelajaran hidup bagi saya. Hal-hal baik itu saya lihat dan rasakan dari lapangan. Itulah pengalaman hidup para umat di pedalaman, keseharian mereka berkerja di ladang, dan menoreh karet.

Sebagai religius suster, kami harus membiasakan diri mampu dengan ramah dan hangat menyapa umat. Mengunjungi mereka di kampung yang jauh dari pusat keramaian.

Hal-hal ini sungguh menjadi sebuah kisah pengalaman hidup yang berharga. Teramat mahal untuk dilupakan. Juga teramat sayang kalau hanya saya simpan di hati dan tidak kemudian saya buat narasi. Untuk misi pewartaan iman, tentu saja. Biar orang bisa juga merasakan denyut sukacita saya ketika bertemu dan mengenal mereka.

Inilah sekelumit pengalaman hidup. Berbagi cerita sukacita. Yang mereka alami dan rasakan. Lalu itu memberi daya inspirasi pada saya.

Dengan berbagai suku dan budaya berbeda, mengenali dan memahami kehidupan mereka, maka saya dibantu untuk semakin mampu terlibat bersama mereka. Ini semakin membuat kami  bisa saling mengerti dan memahami. Sebuah jalan kehidupan yang berbeda untuk saling dimengerti dan dipahami.

Dengan bersama mereka dan mengalami sejenak ritme hidup mereka, maka hal itu mendatangkan sukacita. Dan semua itu menjadi lebih “terang-benderang” setelah kami beradu muka. Saling kenal dekat di lapangan, usai ibadat.

Semua pengalaman berharga ini terjadi, setelah penulis ini mulai menikmati pengutusan menjadi guru PAUD di Nanga Mahap ini setelah bertahun-tahun sebelumya berkarya di Ketapang, Kalbar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here