“Pengakuan” Catatan Rohani St. Eugenius de Mazenod OMI dan Kisah Liem Tjay

0
453 views
Ilustrasi - Pengakuan kaum berjubah by Romo Koko MSF.

MERASA bebas dan merdeka karena sembuh dari Covid-19.

“Selamat pagi, Romo,” sapa dengan semangat Ibu Daru di depan warung nasi rames, sebelah Gereja Maria Imakulata Banyumas.  

“Selamat pagi, bu,” sahut kembali Liem Tjay sambil menghentikan langkah kakinya .

Terjadilah perjumpaan yang tidak disangka sangka dan rencana.

“Romo, saya cari sarapan nasi rames dan tempe mendoan. Sembari ingin memberi tahu kepada para tetangga, saya sudah bebas Covid-19,” ungkap Bu Daru dengan semangat dan penuh kegembiraan.

Bu Daru mengungkapkan “pengakuan” dirinya sudah berhasil bebas dan sembuh dari Covid-19.

Memang Covid-19 membuat isolasi, jarak, perubahan komunikasi personal dan pandangan publil terhadap pasien. Bahkan orang yang terkena virus Covid-19 langsung mendapat “cap”. 

Sambil membeli nasi rames ke warung, Bu Daru menyatakan kemerdekaannya untuk mendapat pengakuan para tetangga bahwa dirinya telah sembuh.

Di lain waktu, Bu Daru pernah mengungkapkan kepada Liem Tjay demikian.

“Selama melakukan isolasi mandiri di rumah, saya, bapaknya dan dua anak saya sering mengeluh kepada Tuhan. Dosa saya apa, ya Tuhan? Mengapa Covid-19 ini justru menimpa keluarga saya? Akhirnya saya pasrah hanya mengandalkan kehendak Tuhan. Ternyata saya mengakui dengan sadar akan campur tangan Tuhan yang menyembuhkan saya dan seluruh keluarga,” ungkapnya.

Sebuah pengakuan keluar dari kesadaran diri Bu Daru lewat pengalaman sakit, terkena virus corona.

Tidak mudah seseorang mengungkapkan “sebuah pengakuan” yang jujur.

Mengapa?

Membuka “topeng kedok”, berani memperlihatkan diri apa adanya, menelanjangi diri itu berat dan sulit. Ibarat membuka “aib” dan pengalaman hidup yang pahit, traumatik sangatlah berat dan membutuhkan proses panjang.

Apalagi mengakui kesalahan dan dosanya sendiri.

Makam St. Eugenius di Gereja Katedral Marseille.

Menghilangkan pengakuan

Pada saat saat tertentu, orang ingin sekali menghilangkan jejak dirinya, jika ternyata masa lalunya berlangsung kurang baik. Bahkan dalam kriminalitas ada suatu gerakan memutuskan mata rantai untuk menghilangkan jejak dengan cara membunuh saksi misalnya.

seseorang ingin menghilangkan sejarah, berarti membunuh pembuat sejarah itu. Persis seperti Malin Kundang yang tidak mengakui bahwa wanita itu adalah ibu kandungnya.

Akibatnya, ia dikutuk menjadi batu.

Cerita Bu Diah

Bu Diah, karyawati sebuah Panti Asuhan menceritakan pada Liem Tjay begini.

“Si Monic ini tidak mau disentuh sama Ibu Lisa, mamanya sendiri yang berkunjung ke Panti Asuhan. Ia malah menangis, menjerit, meronta-ronta, ketika Ibunya mau menggendong Monic.”

Begitulah Monic (1 tahun) tidak lagi mengenal dan mengakui ibu kandungnya yang telah menitipkan Monic di Panti Asuhan, ketika Monic masih berumur 5 bulan.

Bayi pun bisa mengungkapan sikap “tidak mengakui” ibunya sendiri dengan bahasa tubuhnya: menangis, meronta sebagai bentuk rekaman masa lalu yang traumatis.

Namun dalam dunia nyata, tidak seorang pun mampu menghilangkan masa lalunya.

Bung Karno (1901-1970) pernah mengatakan “Jasmerah” yang berarti “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.”

Refleksi Liem Tjay

Sebagai religius, kaum berjubah pun tidak mudah menyatakan pengakuan dengan jujur dan berani untuk membuka diri.

Jubah, jabatan, kotbah yang menarik, sikap yang ramah dan simpati, penampilan yang viral di medsos bisa menjadi alat, sarana untuk meng-cover, penutup, benteng pertahan diri bagiku agar orang lain, umat, uskup, provinsial, rekan se-komunitas tidak mengetahui dan membuka aib, kelemahan, kesalahan.

Bahkan dosa-dosaku, sehingga aku aman dan jalan mulus dalam panggilan dan karya.

Sekali lagi, aku tidak mudah mau dan bisa mengungkapkan “pengakuan”.

Pengakuan kaum berjubah

Liem Tjay ingat akan karikatur sobatnya Romo Koko MSF yang menggambarkan pengakuan dosa para kaum berjubah

Pengakuan Santo Paus Yohanes Paulus II

Bagi Liem Tjay, pengakuan Santo Paus Yohanes Paulus sangat inspiratif dan mendalam.

”Aku percaya sedalam-dalamnya bahwa kendati segala kelemahanku, Tuhan akan memberi kepadaku semua rahmat yang diperlukan untuk menghadapi. Menurut kehendak-Nya, tugas apa pun, cobaan dan derita yang akan dituntut dari hamba-Nya, dalam perjalanan hidup.

Aku juga percaya Tuhan tidak pernah akan membiarkan diriku – lewat sikap-sikapku: kata-kata, perbuatan, dan kelalaian – mengkhianati kewajiban-kewajibanku dalam Tahta Suci Santo Petrus ini.”

Pengakuan Santo Eugenius de Mazenod OMI

Tanggal 21 Mei adalah peringatan wafatnya Santo Eugenius de Mazenod, Bapa Pendiri Kongregasi Oblat Maria Immakulata (OMI).

Dalam permenungan pribadi, Liem Tjay sebagai salah satu pengikut dan penerus warisan rohani Bapak Pendiri Kongregasi OMI untuk menjadi misionaris, lalu menemui kekuatan baru lewat “Pengakuan “

Dalam pengalaman rohani pribadi tersebut, Eugenius tersentuh oleh Salib Kristus. Ia mengenal Cinta Allah. Pengalaman rohani ini sungguh merupakan suatu “pertobatan pribadi” yang akan menghasilkan buah. Karena  ia lalu memutuskan mau menyerahkan hidupnya kepada Kristus.

Pengalaman istimewa itu membuka mata Eugenius bahwa melakukan sesuatu demi Gereja itu jauh lebih penting dan mendesak. Daripada tugas mengembalikan dan memulihkan harta kekayaan keluarganya yang sudah hancur berantakan.

Eugenius telah menemukan panggilannya.

Gereja Katedral Marseille di Perancis.

Catatan pribadi Mazenod OMI

Dalam catatan pribadi yang dibuatnya ketika sedang menjalani retret pada tahun 1814, Eugenius mengingat kembali apa yang terjadi pada hari Jumat Agung tahun 1807 itu.

Tulisnya demikian ini.

Aku mencari kebahagiaan di luar Allah dan setelah sekian lama yang kutemukan hanyalah penderitaan.

Betapa sering di masa lalu hatiku tercabik, tersiksa, memohon bantuan kepada Allah yang telah kutinggalkan.

Dapatkah aku melupakan airmata kesedihan yang mengalir saat aku memandang Salib pada hari Jumat Agung itu?

Memang airmata itu mengalir dari dasar lubuk hatiku dan tidak ada yang dapat mencegahnya.

Airmata itu terlalu banyak untuk bisa kusembunyikan dari orang lain yang juga hadir dalam perayaan yang mengharukan itu.

Aku dalam keadaan berdosa berat dan inilah yang membuat hatiku amat sedih.

Kemudian, di lain kesempatan, aku dapat merasakan perbedaannya.

Belum pernah jiwaku merasa sebegitu lega,

Belum pernah jiwaku merasa lebih berbahagia.

Ini semua hanya karena, di sela-sela banjir airmata, meskipun sedih atau lebih tepatnya, berkat kesedihanku, jiwaku melompat sampai pada tujuan akhirnya, yaitu Allah, satu-satunya tujuan, yang bila sampai hilang akan amat terasa.

Untuk apa bercerita lebih banyak lagi?

Memangnya aku akan pernah mampu mengungkapkan dengan tepat apa yang aku alami pada saat itu?

Hanya dengan mengingatnya saja, hatiku selalu diliputi dengan penghiburan rohani yang manis.

Aku mencari kebahagiaan di luar Allah, dan di luar Dia, yang kutemukan hanyalah derita dan kemalangan.

Saat St. Eugenius de Mazenod OMI meninggal dunia.

Tetapi senangnya –1.000 kali lebih senangnya – bahwa Bapa yang baik, meskipun ketidaklayakanku, menghujaniku dengan kekayaan belas kasih-Nya.

Satu hal yang sekurang-kurangnya dapat kulakukan sekarang adalah menebus waktu-waktu yang telah hilang percuma itu dan menggandakan cintaku kepada-Nya.

Biarlah seluruh perbuatanku, pikiranku, dll diarahkan pada tujuan itu.

Adakah penyerahan yang lebih besar daripada, di dalam segala-galanya dan untuk segala-galanya, hidup hanya untuk Tuhan, mencintai Dia di atas segala-galanya, mencintai Dia secara lebih karena Aku telah amat terlambat mencintai-Nya.

Yah. Kebahagiaan surga dimulai di sini, di dunia…

Marilah kita memilihnya sekarang.

Pengakuan Pastor Eugenius de Mazenod mengubah hidupnya untuk mencintai Yesus Kristus Juru Selamat dalam menghayati panggilan Tuhan sebagai imam, misionaris, uskup.

Cinta Kristus mengobarkan hatinya untuk memenuhi panggilan Tuhan untuk membangun Gereja di Perancis.

Salib Oblat dan Santo Eugenius de Mazenod OMI.

Dalam kepenuhan cinta Kristus mengantar Mgr. Eugenius de Mazenod OMI menjadi Beato pada tgl 19 Oktober 1975 oleh Paus Paulus VI.

Lalu dikanonisasi sebagai Orang Kudus bergelar Santo pada tanggal 3 Desember 1995 oleh Paus Yohanes Paulus II.

Wasiat terakhir yang tetap bergema dan menggetarkan semangat hati Liem Tjay sampai sekarang adalah: “Di antara kalian, cinta kasih, cinta kasih, cinta kasih; dan di luar keselamatan kepada jiwa-jiwa”.

Mgr Eugenius de Mazenod OMI dijemput oleh Yesus Kristus Juru Selamat dalam kedamaian abadi dan diiringi nyanyian Salve Regina oleh beberapa para Oblat, tanggal 21 Mei 1861 dan dimakamkan di Katedral Marseille, Perancis.

Sejuh manakah “pengakuan yang jujur” tetap menjadi sinyal dan olah rohani bagi Liem Tjay?

Sudahkah Liem Tjay menghidupi  wasiat Santo Eugenius de Mazenod?

Tepian Sungai Serayu, 21 Mei 2021 pada Pesta St. Eugenius de Mazenod OMI

Liem Tjay

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here