Pengurbanan Abraham dan Manusia yang Berakal

0
492 views
Ilustrasi: Pengurbanan Ishak oleh Abraham. (Ist)

DUA pertanyaan serius yang diajukan oleh manusia zaman ini. Terkait kisah Abraham yang mengurbankan anak terkasihnya.

Pertama, bagaimana mungkin Allah yang menyampaikan perintah jangan membunuh kepada Musa dan keturunannya justru memerintahkan pembunuhan sebagai korban bakaran?

Kedua, bagaimana mungkin Abraham dan anak terkasihnya secara sangat patuh berusaha menjalankan perintah itu tanpa kritik maupun protes sama sekali?

Kisah ini terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama; terutama kitab Kejadian 22:1-19 dengan judul perikop “Kepercayaan Abraham diuji”.

Kutipan lengkap narasi tersebut adalah sebagai berikut:

22:1 Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.” 22:2 Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran  pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”

22:3 Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. 22:4 Ketika pada hari ketiga Abraham melayangkan pandangnya, kelihatanlah kepadanya tempat itu dari jauh. 22:5 Kata Abraham kepada kedua bujangnya itu: “Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu.”

22:6 Lalu Abraham mengambil kayu untuk korban bakaran itu dan memikulkannya ke atas bahu Ishak, anaknya, sedang di tangannya dibawanya api dan pisau.

Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama. 22:7 Lalu berkatalah Ishak kepada Abraham, ayahnya: “Bapa.” Sahut Abraham: “Ya, anakku.” Bertanyalah ia: “Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?” 22:8 Sahut Abraham: “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.”

Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama. 22:9 Sampailah mereka ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. Lalu Abraham mendirikan mezbah di situ, disusunnyalah kayu, diikatnya Ishak, anaknya itu, dan diletakkannya di mezbah itu, di atas kayu api. 22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.

22:11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: “Abraham, Abraham. ” Sahutnya: “Ya, Tuhan.” 22:12 Lalu Ia berfirman: “Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu  yang tunggal kepada-Ku.”

22:13 Lalu Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya. 22:14 Dan Abraham menamai tempat itu: “TUHAN menyediakan”; sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: “Di atas gunung TUHAN, akan disediakan.”

22:15 Untuk kedua kalinya berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepada Abraham, 22:16 kata-Nya: “Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri–demikianlah firman TUHAN–:Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku, 22:17 maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. 22:18 Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku .” 22:19 Kemudian kembalilah Abraham kepada kedua bujangnya, dan mereka bersama-sama berangkat ke Bersyeba; dan Abraham tinggal di Bersyeba.

Konteks dan waktu penulisan

Meskipun masa hidup Abraham diperkirakan antara tahun 2165–1990 Sebelum Masehi, mayoritas penafsir dan pengkaji kitab suci mengidentifikasi bahwa narasi tentang pengurbanan Abraham ini ditulis oleh Tradisi Para Imam (Priestly Tradition atau Priester Codex) yang disingkat dengan Tradisi P, pada masa sekitar tahun 400-an Sebelum Masehi, yakni pasca pembuangan bangsa Israel ke Babilonia.

Meskipun ditulis pada masa yang jauh lebih muda, namun narasi ini ditempatkan pada awal kisah sejarah bangsa Israel sebagai bagian dari narasi besar tentang panggilan Abraham dari Ur Kasdim dan kisah tentang Sara dan Hagar (atau Siti Hajar dalam tradisi Muslim), sehingga narasi itu tampak terjadi pada masa sejarah pembentukan bangsa Israel.

Periode pasca pembuangan ke Babilonia merupakan periode krisis yang berat bagi bangsa Israel baik dari sisi politik, ideologis, maupun mental dan religiositas. Pengalaman pembuangan adalah pengalaman kehancuran total sebagai bangsa sekaligus kehancuran dalam banyak pandangan dan keyakinan keagamaan.

Kehancuran kenisah atau Bait Allah (Baitullah) yang diyakini sebagai pusat kehadiran Yahweh dan pusat kekuatan bangsa dalam menghadapi musuh-musuh politik, merupakan pengalaman krisis religiusitas yang mendalam.

Jika tempat kediaman Yahweh itu hancur lebur, lalu di manakah kehadiran Yahweh itu?

  • Apakah Ia telah meninggalkan bangsa Israel?
  • Apakah Ia yang dianggap sebagai sesembahan utama dan sumber kekuatan bangsa juga telah terkalahkan oleh dewa-dewi sesembahan para musuh?

Jika tidak demikian mengapa Ia hancur?

Jika Yahweh telah menjanjikan kemakmuran dan pertolongan kepada bangsa, mengapa bangsa Israel justru tercerai berai dan bahkan dibuang di negeri asing dan hidup sebagai budak?

Itulah pengalaman krisis fundamental yang dialami oleh Israel sebagai bangsa pada masa itu.

Akibatnya, pada masa ketika mereka boleh kembali ke negeri asal mereka, dibutuhkan sesuatu yang dapat kembali meneguhkan identitas kebangsaan dan religiusitas mereka sebagai orang-orang yang dipilih dan mendapatkan jaminan perlindungan serta beragam jaminan lain dari Yahweh, Allah sesembahan Israel.

Dalam masa krisis identitas politik dan religius semacam itu, sebagian orang Israel telah mengadopsi atau bahkan melibatkan diri dalam ritual-ritual bangsa-bangsa tetangga demi mendapatkan keselamatan, ketenangan, atau kemakmuran sebagaimana diyakini oleh agama-agama tradisional bangsa-bangsa tetangga di Babilonia.

Salah satu bentuk ritual keagamaan yang dijalankan adalah pengorbanan manusia demi mendapatkan keselamatan. Ritual semacam ini tercermin dalam teks kitab nabi Yeremia 7: 30-31 sebagai berikut:

7:30 Sungguh, orang Yehuda telah melakukan apa yang jahat di mata-Ku, demikianlah firman TUHAN, telah menempatkan dewa-dewa mereka yang menjijikkan di rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini untuk menajiskannya. 7:31 Mereka telah mendirikan bukit pengorbanan yang bernama Tofet di Lembah Ben-Hinom untuk membakar anak-anaknya lelaki dan perempuan, suatu hal yang tidak pernah Kuperintahkan dan yang tidak pernah timbul dalam hati-Ku.

Fungsi narasi dan perhatian tradisi Para Imam

Dalam konteks krisis identitas kebangsaan dan religiusitas semacam itulah narasi tentang pengurbanan Abraham ini ditulis oleh tradisi Para Imam.

Narasi yang ditulis pada tahun 400-an Sebelum Masehi ini tentu saja tidak mencerminkan fakta historis tentang apa yang dilakukan oleh Abraham, melainkan lebih merupakan narasi yang bersifat teologis, metaforis, ideologis dan edukatif.

Narasi ini berfungsi sebagai upaya untuk meneguhkan kembali identitas dan karakter kebangsaan maupun religius bangsa Israel dalam menghadapi krisis fundamental.

Identitas dan karakter itu sudah selayaknya dijangkarkan pada figur Abraham sebagai tokoh besar dan utama pendiri bangsa yang pada generasi berikutnya diteguhkan dan dilanjutkan oleh Musa.

Karena penulis narasi ini adalah Tradisi Para Imam, sangatlah masuk akal jika perhatian utamanya diarahkan kepada persoalan ibadah dan ritual serta hukum.

Maka narasi ini berkaitan erat dengan hal-hal ritual dan keagamaan, yakni ritual pengurbanan, terutama jenis korban bakaran.

Perintah Allah kepada Abraham untuk mempersembahkan anak terkasihnya sebagai kurban bakaran, sepantasnya dibaca sebagai cerminan sekaligus sindiran tentang praktik mengurbankan anak kepada dewa-dewi agama-agama asing yang lazim dilakukan oleh sebagian orang Israel pada masa itu.

Sebagaimana terefleksikan dalam teks Yeremia 7:30-31.

Karena ayat ini bersifat sebagai sindiran dan cerminan dari praksis masyarakat masa itu, sangat dipahami pula bahwa dalam ayat itu Abraham menunjukkan ketaatan mutlak tanpa protes sedikit pun, karena bagi tradisi Para Imam, sikap kritis itu tidak menjadi perhatian.

Perhatian utamanya adalah menyindir dan mencerminkan praksis serta kognisi sosial tentang pengorbanan manusia.

Sebagai bentuk sindiran, perintah Allah kepada Abraham dalam Kej 22:2 pada akhirnya ditanggapi dengan perintah malaikat kepada Abraham untuk tidak melakukan apa pun kepada anak terkasihnya (Kej 22:12).

Kesatuan gagasan antara perintah untuk mempersembahkan anak pada Kej 22:2 dan perintah malaikat untuk tidak membunuh anak pada Kej 22:12 membentuk sebuah pesan kritis dan edukatif. Yakni, bahwa orang-orang Israel yang benar-benar percaya dan setia kepada Allah, sama sekali tak akan pernah melakukan persembahan anak sebagai kurban bakaran sebagaimana lazim dilakukan oleh para penyembah dewa-dewi asing.

Pesan ini diteguhkan dengan rangkaian ayat yang berkaitan yakni Kej 22:8, 13 dan 14.

Secara naratif, jawaban Abraham terhadap pertanyaan anaknya bahwa Allah yang akan menyediakan anak domba untuk kurban (Kej 22:8) merupakan ayat yang bersifat antisipatif terhadap ayat 13 dan 14.

Ayat 14 merupakan penegasan dan puncak dari antisipasi itu yakni bahwa “Allah benar-benar menyediakan” sehingga tempat dari peristiwa itu disebut sebagai tempat “Tuhan menyediakan”.

Allah telah menyediakan anak domba jantan yang tanduknya tersangkut di antara belukar.

Dengan demikian, sebagai penegasan identitas di tengah krisis religius bangsa Israel pasca pembuangan Babilonia itu, narasi ini hendak mengatakan sebuah kritik bahwa bagaimana pun situasi sulit yang dihadapinya, bangsa Israel hendaknya tetap setia kepada Allah.

Melalui praktik dan tindakan ibadah sebagaimana telah diwariskan oleh nenek moyang sepanjang sejarah dan tidak diperkenankan melakukan ritual keagamaan berupa pengurbanan anak sebagai kurban bakaran.

Karena Allah sendiri lebih menghendaki anak domba jantan sebagai kurban bakaran maupun kurban persembahan.

Sebagai penegasan identitas di tengah krisis, narasi ini juga hendak menyatakan penegasan bahwa dalam situasi apa pun, orang Israel hendaknya tetap setia kepada Allah karena Allah adalah pemberi jaminan,

Ia adalah “Allah yang menyediakan”.

Meskipun perikop narasi ini diberi judul “Kepercayaan Abraham diuji”, sebenarnya yang menjadi tema pokok dan pesan utama dari narasi ini adalah keyakinan tentang “Allah yang menyediakan” atau Allah yang memberikan jaminan dan perlindungan bagi kehidupan manusia beriman.

Maka penulis menilai bahwa Kej 22:14 dalam perikop ini merupakan ayat sentral dan puncak.

Manusia beriman adalah manusia berakal

Narasi pengurbanan Abraham sebagaimana tertulis dalam Kej 22:1-19 ini dengan demikian merupakan narasi yang diproduksi secara kontekstual oleh Tradisi Para Imam.

Untuk membangun masyarakat Israel yang mengedepankan akal dan sikap kritis dalam menghadapi situasi krisis.

Cara berpikir tentang pengalaman krisis, cara menyikapinya dan cara bertindak yang dipilihnya musti ditata ulang dan dikonstruksi secara lebih jernih dan bertanggung jawab.

Bagi Tradisi Para Imam, membunuh anak sebagai kurban persembahan adalah tindakan yang sangat tidak masuk akal dan tidak bertanggung jawab.

Persembahan kurban bakaran dan kurban sesembahan hendaknya mewarisi tradisi leluhur yakni berupa anak domba jantan karena selain dapat memenuhi fungsi religius.

Persembahan itu juga dapat berfungsi sosial yakni menjadi sarana untuk berbagi dengan orang-orang di sekitar, terutama mereka yang kurang beruntung.

Menyantap daging kurban bersama-sama dengan seluruh komunitas juga merupakan wujud dari ekspresi identitas kebangsaan dan religius orang Israel pada masa itu.

Diperlukan pilihan-pilihan yang lebih konstruktif dan produktif untuk menyusun kembali identitas kebangsaan dan religius bangsa Israel.

Perlu meneguhkan kembali keyakinan bahwa mereka adalah anak turun Abraham yang tetap mewarisi panggilan dan pilihan oleh Allah untuk menghadirkan diri sebagai bangsa yang berkualitas, setia dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disemai dan dikukuhkan dalam hukum Musa.

Sepuluh Perintah Allah secara sosial adalah temuan nilai yang sangat mendasar sepanjang perjalanan sejarah sebagai bangsa dan pantas untuk dijagai sertai dikembangkan dalam kehidupan.

Dari penelusuran ini tampak jelas bahwa narasi tentang pengurbanan Abraham sebagaimana tertulis dalam Kitab Kejadian itu merupakan sebuah rumusan ideologis, teologis, metaforis dan edukatif. Dalam ranah suprastruktur yang konstruksinya sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh basis materialnya. Yakni, pengalaman krisis fundamental yang dihadapi oleh masyarakat Israel kuno pada masa setelah pembuangan Babilonia.

Dalam konteks itu, narasi pengurbanan Abraham yang ditulis oleh tradisi Para Imam dengan jarak kurang lebih 15.90 tahun setelah masa hidup Abraham ini tidak mencerminkan fakta historis, melainkan lebih menekankan gagasan teologis, ideologis, metaforis dan edukatif.

Dalam konteks itu pula, perdebatan tentang siapa yang dipersembahkan, Iskak atau Ismail, menjadi sangat tidak relevan. Karena selain tidak mencerminkan fakta historis, penggunaan narasi itu sebagai bahan untuk menegaskan identitas komunitas akan sangat tergantung kepada konteks audiens yang dituju.

Yang lebih utama diperhatikan adalah pesan bahwa menjadi manusia beriman semestinya dijalankan dengan menjadi manusia yang lebih berakal dan bersikap kritis.

Ini membutuhkan latihan terus-menerus.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here