GEREJA Lokal Keuskupan Agung Semarang (KAS) sedang berduka. Dua orang imam yang berkarya di lingkungan KAS berpulang secara berurutan dalam hitungan hari.
- Romo Stephanus Istata Raharja Pr (1968-2025), imam diosesan KAS dari Gereja Santo Kristoforus Paroki Banyutemumpang di Kabupaten Magelang dipanggil Tuhan hari Minggu, 5 Oktober 2025 pukul 15.40 WIB di ICU RS Panti Rapih Jogjakarta.
- Romo Yoseph Aris Triyanto MSF (1972-2025) dari Gereja St. Paulus Paroki Kleco Solo juga menghadap Sang Pemilik Kehidupan pada hari Senin, 6 Oktober 2025 pk 18.25 WIB di RS St. Elisabeth Semarang.
Selamat beristirahat dalam Kerahiman Allah, kedua Romo yang tercinta.
Berita kehilangan ini selain membawa dukacita, semestinya juga menjadi perhatian kita semua. Umat semakin sering mendengar berita para imam -bahka yang masih sangat muda belia- sudah sering mengalami sakit.
Akibatnya, mereka tidak dapat aktif untuk sementara, dirawat di rumah sakit, atau bahkan dipindahkan dari paroki dan tempat pelayanannya untuk beristirahat secara intensif di Wisma Sakit.
Bukan hanya para imam sepuh yang sakit. Ini justru yang paling memprihatinkan penulis bahwa banyak para imam masih muda belia juga tidak lepas dari kenyataan tersebut. Kondisi ini sebenarnya merupakan refleksi dari kondisi kesehatan masyarakat Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.

Penyakit Tidak Menular (PTM)
Kementerian Kesehatan RI menyebut bahwa Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyakit yang tidak bisa ditularkan dari orang ke orang, yang perkembangannya berjalan perlahan dalam jangka waktu yang panjang (kronis).
PTM berkembang secara lamban dan memerlukan pengelolaan jangka panjang karena progresivitasnya yang cenderung menetap seiring bertambahnya usia. WHO menyebut PTM sebagai Non communicable diseases (NCDs)/penyakit kronis. Penyakit ini cenderung berlangsung lama, dan merupakan hasil kombinasi faktor genetik, fisiologis, lingkungan, dan perilaku.
PTM atau NCD memengaruhi orang dari semua kelompok usia, wilayah, dan negara, serta banyak dijumpai di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Asnawi Abdullah (19 Februari 2025) menyampaikan bahwa beban PTM (Penyakit Tidak Menular) di Indonesia terus meningkat, dan menjadi tantangan utama pada sistem kesehatan nasional. PTM telah berkontribusi hampir 75% dari total angka kematian di Indonesia.

Empat penyakit pembunuh
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan ada empat besar PTM penyebab kematian terbanyak di Indonesia.
- Stroke dengan prevalensi 8,3 kasus per 1.000 penduduk menempati urutan pertama menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023.
- Setelah stroke, penyakit mematikan selanjutnya adalah penyakit jantung.
- Urutan ketiga menurut Menkes adalah penyakit kanker.
- Keempat penyakit ginjal.
Sedangkan beban penyakit akibat PTM yang terbanyak secara global di seluruh dunia meliputi penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah), kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes.
Faktor risiko PTM
Penyakit Tidak Menular (PTM) terjadi karena kombinasi dari berbagai faktor, baik genetik, fisiologis, lingkungan, dan perilaku.
Pada tahun 2016, PTM bertanggung jawab atas 72% kematian global, atau hampir empat kali lipat dibandingkan kematian akibat penyakit menular, maternal, perinatal dan masalah nutrisi.
Penyakit hipertensi dan diabetes terutama menjadi perhatian karena prevalensinya yang tinggi serta perannya sebagai faktor risiko utama penyakit jantung dan pembuluh darah.
Laju peningkatan kasus baru serta prevalensi hipertensi dan diabetes menjadi salah satu masalah kesehatan utama, baik di tingkat global, regional, maupun nasional.

Ada indikasi yang kuat yang ditemukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI bahwa usia penderita PTM (Penyakit Tidak Menular) cenderung semakin rendah atau semakin banyak ditemukan pada kelompok usia muda/produktif.
Meskipun PTM secara umum masih memiliki prevalensi tertinggi pada kelompok lansia (usia 60 tahun ke atas) dan pralansia (usia 45-59 tahun), namun berbagai laporan Kemenkes menyoroti pergeseran epidemiologi yang mengkhawatirkan. Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes secara eksplisit menyebutkan bahwa PTM kini mengancam usia muda.
Hal ini terlihat dari laporan yang menggarisbawahi bahwa remaja merupakan kelompok rentan. Pola hidup tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, kurang aktivitas fisik, dan pola makan yang buruk, yang terbentuk pada masa remaja meningkatkan kemungkinan mereka menderita PTM seperti hipertensi, diabetes, stroke, dan penyakit jantung di usia dewasa muda.
Penelitian menggunakan data SKI (Survei Kesehatan Indonesia) 2023 menunjukkan perlunya perhatian lebih pada kelompok non-lansia (usia pra-lansia dan produktif) karena PTM seperti hipertensi juga banyak terjadi pada kelompok usia ini, bukan hanya pada lansia.
Hipertensi dulunya dianggap penyakit khas lansia, namun kini sering ditemukan pada usia pralansia (45-59 tahun) dan bahkan lebih muda karena gaya hidup modern.
Demikian juga untuk kasus Diabetes Melitus (DM), terjadi peningkatan kasus DM pada usia yang lebih dini akibat obesitas, kurang aktivitas fisik, dan konsumsi GGL (Gula, Garam, Lemak) berlebihan.
Tidak ada satu penyebab tunggal yang bertanggung jawab terhadap terjadinya PTM pada individu. Secara umum telah diketahui, bahwa penyakit dapat timbul karena interaksi berbagai faktor risiko.
Faktor risiko kemunculan suatu penyakit dapat dibedakan menjadi dua:
- Yang tidak dapat diubah (non-modifiable).
- Yang dapat di diubah (modifiable).
Faktor risiko non-modifiable meliputi faktor genetik, usia, jenis kelamin, dan riwayat medis tertentu. Faktor ini harus diterima sebagai anugerah dari Yang Kuasa, dan tidak dapat ditolak keberadaannya.

Namun manusia memiliki kemampuan untuk mengontrol faktor risiko modifiable, yang berupa perilaku hidup sehari-hari. Perilaku hidup sehari-hari dapat dijabarkan dalam banyak hal:
- Pola makan, yang meliputi jenis dan jumlah asupan makanan. Komsumsi makanan dalam jumlah yang berlebihan, terutama dengan kandungan gula/ garam/ lemak tinggi, serta konsumsi ultraprocessed food dalam jumlah dan frekuensi tinggi, sangat berisiko meningkatkan kejadian berbagai PTM.
- Konsumsi alkohol berlebihan dan merokok (aktif maupun pasif) juga diketahui berperan besar dalam meningkatkan risiko kejadian PTM. Zat kimia dalam rokok dan alkohol dapat memunculkan radikal bebas menyebabkan kerusakan bertahap pada berbagai sistem tubuh, memicu proses peradangan, gangguan metabolik, serta perubahan struktur dan fungsi organ.
- Aktivitas fisik yang rendah umumnya akan mendorong terjadinya obesitas. Lemak tubuh berlebih (terutama lemak visceral/perut) memicu perubahan metabolik, hormonal, dan peradangan kronik yang berdampak luas ke organ tubuh, yang akan mengarah pada terjadinya PTM.
Pencegahan PTM
Setelah faktor-faktor risiko penyebab PTM diketahui, maka cara yang paling sederhana untuk mencegah PTM adalah dengan menghindari faktor risiko tersebut.
Pengaturan pola makan, membatasi konsumsi alkohol dan rokok, serta melakukan aktivitas fisik secara rutin melalui olah raga, nampaknya menjadi langkah yang paling masuk akal untuk mengurangi risiko terkena PTM.
Pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi untuk membatasi faktor risiko utama PTM, di antaranya:
- Peraturan Pemerintah No. 109/2012 mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau, termasuk larangan iklan rokok di media tertentu, kawasan tanpa rokok, dan peringatan kesehatan bergambar.
- Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 30/2013 tentang pengendalian kadar gula, garam, dan lemak pada produk pangan olahan, serta kewajiban pencantuman label gizi.
- Peraturan tentang kawasan tanpa rokok (KTR), yang wajib diterapkan di sekolah, fasilitas kesehatan, tempat ibadah, tempat kerja, transportasi umum, dan ruang publik tertentu.

Tujuh langkah
Selain melalui regulasi, pemerintah menggalakkan Promosi Perilaku Hidup Sehat melalui program GERMAS (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) sejak 2016 yang bertujuan mendorong perubahan perilaku masyarakat dengan tujuh langkah utama:
- Aktivitas fisik teratur alias membuat tubuh bergerak dengan misalnya olahraga.
- Sering-sering makan mengkonsumsi buah dan sayur.
- Tidak merokok.
- Tidak mengkonsumsi alkohol.
- Cek kesehatan secara rutin.
- Menjaga kebersihan lingkungan.
- Menggunakan jamban sehat.
Pemerintah juga meningkatkan akses pemeriksaan kesehatan rutin untuk menemukan PTM lebih awal sebelum menjadi penyakit kronik, terutama pada kelompok usia 15 tahun ke atas.
Contohnya melalui program:
- Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu PTM) di masyarakat untuk pemeriksaan tekanan darah, gula darah, kolesterol, lingkar perut, IMT, dan konseling.
- Pemeriksaan kesehatan berkala di tempat kerja (UKK) dan sekolah.
- Program skrining kanker (payudara, serviks, kolorektal) pada usia tertentu.
- Penguatan sistem rujukan untuk tindak lanjut jika ditemukan faktor risiko tinggi.
Berbagai kebijakan pemerintah untuk mencegah PTM tidak ada gunanya, jika tidak didukung oleh masyarakat dengan mulai gaya hidup sehat untuk diri sendiri.
Kesadaran masyarakat memegang peran kunci dalam pencegahan (PTM), karena sebagian besar PTM dapat dicegah melalui perubahan perilaku dan gaya hidup. Namun, tingkat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap PTM masih menjadi tantangan besar.

Penutup
Kembali ke tujuan awal penulisan artikel ini, yaitu keprihatinan yang muncul karena semakin banyak para imam -termasuk yang muda usia- yang mengalami PTM.
Umat Katolik sudah sangat sering mendengar kutipan ayat: “Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.” (Mat 9:37–38).
Namun dalam kasus ini, berdoa dan memohon kepada Tuhan agar para pekerja ditambah jumlahnya serta dijaga kesehatannya tidak akan banyak berguna, jika tidak ada tindakan nyata yang menyertainya.
Tindakan harus dilakukan dari dua sisi:
- Umat harus mulai ikut terlibat untuk menjaga kesehatan para imam dengan memperhatikan pola makan yang baik melalui pilihan menu sehat yang disajikan untuk para Romo.
- Para imam juga harus menjaga kesehatannya sendiri, dengan melakukan aktivitas fisik secara teratur, membatasi rokok serta konsumsi alkohol (di luar misa), serta lebih mengontrol jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsinya.
Menjaga kesehatan menjadi kewajiban setiap insan, namun bagi Gembala Umat Gereja Katolik hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri, jika kita melihat dari sisi rasio jumlah gembala dibandingkan umat yang masih rendah.
Gembala Umat yang sehat dan bahagia akan menjadi pembawa suasana yang penuh sukacita dan menguatkan umat dalam peziarahan hidup beriman ini.
Mari berharap rasio jumlah gembala dan umat tidak terus menurun, namun terus meningkat; selain karena Tuhan yang menambahkan jumlah pekerja, juga karena Para Pekerja memiliki kesadaran untuk menjaga kesehatannya sendiri.
Bukan perkara yang gampang dilakukan, namun didasari dengan niat baik dan tulus untuk menjaga kesehatan para imam, disertai dengan komitmen dari berbagai pihak, maka marilah kita memulai hal yang baik, dan biarlah Tuhan sendiri yang akan menyelesaikannya.