Peran Penting Pancasila: Merawat Kebhinnekaan Indonesia

0
227 views
Bung Karno tengah berpidato by Ist

AGAMA memegang peranan vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” menjiwai empat sila lainnya.

Salah satu contoh konkret betapa dahsyatnya efek agama diyakini oleh Presiden Pertama Republik Indonesia: Ir. Soekarno.

Beliau menyadari bahwa kekuatan agama sungguh nyata dalam kehidupan rakyat Indonesia. Untuk mencegah kembalinya pasukan Belanda, Bung Karno memohon fatwa hukum untuk mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.

Pada 17 September 1945 Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah fatwa jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanahair sebagai suatu jihad fisabilillah.

Fatwa ini merupakan bentuk penjelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan.

Setelah keluarnya fatwa NU itu, pada 19 September 1945 terjadi insiden tembak menembak di Hotel Oranje antara pasukan Belanda dan para pejuang Hizbullah Surabaya.

Seorang kader Pemuda Ansor, Cak Asy’ari dengan gagah berani menaiki tiang bendera dan merobek warna biru, sehingga hanya tertinggal Merah Putih.

Religi dan nasionalisme

Faktor agama merupakan salah satu daya penggerak bagi rakyat Indonesia.

Fatwa (19 September 1945) dan Resolusi Jihad NU (22 Oktober 1945) mampu menjadi pembakar semangat rakyat untuk rela berjuang, bahkan siap mati membela tanahair dan mengusir penjajah yang hendak kembali lagi.

Fatwa dan Resolusi Jihad NU mengambarkan bahwa agama tidak bertentangan dengan nasionalisme

Agama dalam kehidupan rakyat Indonesia sungguh menjadi pedoman. Tepat sekali sila pertama dalam Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa” menjadi dasar bernegara dan berbangsa.

Dari semua hal yang dibutuhkan dalam hidup. Landasan keimanan atau keberagamaan menempati posisi pertama dari semua hal penting dalam konteks kehidupan rakyat Indonesia.

Bung Tomo, tokoh penting di Hari Pahlawan di Surabaya.

Pekikan jihad yang berawal dari fatwa dan Resolusi Jihad NU yang menggerakkan warga Surabaya serta gema takbir (Allahu Akbar) Bung Tomo yang mengerakkan rakyat merupakan bentuk konkret aplikasi umat beragama dalam menjunjung nasionalisme.

Setelah lenyapnya kolonialisme, lalu apakah nasionalisme pupus?

Berbeda-beda agama, satu Indonesia

Di bagian awal, penulis sudah memaparkan militansi dari kalangan Islam. Fatwa dan Resolusi Jihad NU mampu menggelorakan semangat laskar-laskar Hizbullah dan warga Surabaya untuk mengusir penjajah.

Sejak kelahiran, masa perjuangan, dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, tergambar jelas jasa beragam kalangan.

Pernyataan “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia” adalah slogan nasionalisme dari Uskup Indonesia pribumi pertama Mgr. Albertus Soegijopranata SJ.

Presiden RI Ir. Soekarno “Bung Karno” bersama Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Mgr. Willekens SJ, dan IJ Kasimo. (Ist)

Berkat kegigihan diplomasinya, Vatikan menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan RI usai dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945.

Hingga kini slogan tersebut tetap relevan dan masih menggelorakan semangat pemeluk agama Katolik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mgr. Albertus Soegijopranata, SJ ditetapkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan pada 26 Juli 1963 (Komandoko: 2008).

Perwakilan dari kalangan Hindu, seruan untuk Puputan (perang habis-habisan) di Margarana dari Lektol I. Gusti Ngurah Rai berhasil memberikan perlawanan luar biasa kepada Belanda.

Puputan Margarana merupakan peristiwa heroik dari pimpinan pasukan Ciung Wanara, Ngurah Rai yang mampu membuat kocar-kacir Belanda.

Kalah jumlah dari pasukan Belanda, mereka gugur sebagai kusuma bangsa. Pada tahun 1975 Pemerintah RI menetapkan Ngurah Rai sebagai Pahlawan Nasional (Komandoko: 2008).

Dari kalangan Kristen, Frans Kaisepo pada 19 Desember 2016 diabadikan dalam uang kertas RI pecahan 10.000. Beliau adalah Pahlawan Nasional RI dari Papua.

Sebelum itu, namanya sudah diabadikan sebagai nama bandara di Biak, Papua, dan diabadikan sebagai nama kapal perang Indonesia, KRI Frans Kaisepo.

Beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui SK Presiden RI No. 077/TK/ tanggal 19 Agustus 1993.

Dari kalangan Peranakan Tionghoa diwakili oleh John Lie. Lalu, ia berganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma (Santosa: 2012).

Keahliannya dalam menerobos blokade Angkatan Laut Kerajaan Belanda hingga ia mendapat  “Hantu Selat Malaka”.

Laksamana Muda merupakan pangkat tertinggi yang pernah diraih pejuang peranakan Tionghoa di RI.

Berkat jasa dan sumbangsihnya untuk RI pada 9 November 2009, John Lie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama kapal perang, KRI John Lie.

Keindonesiaan perlu dijaga

Republik Indonesia dari awal fitrahnya berdiri di atas keberagamaan. Kaum muda perlu semakin dini diperkenalkan dengan jasa-jasa para pahlawan yang terdiri dari beragam latar belakang (suku dan agama).

Kemajemukan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari Indonesia.

Salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang mempersatukan adalah Pancasila.

Almarhum Gus Dur pernah mengungkapkan demikian.

“Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan.”

Indonesia eksis karena ada perbedaan. Ini sesanti Gus Dur (Mathias Hariyadi)

Kebesaran hati para pendiri bangsa sudah teruji kala mereka rela dan ikhlas untuk menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 17 Agustus 1945 petang, beberapa perwakilan Indonesia Timur menyampaikan keberatan terhadap tujuh kata tersebut.

Esoknya, Moh. Hatta, K.H. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimejo, dan Teuku M. Hasan membahas hal tersebut dan bersepakat mengubah sila pertama menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Spiritnya satu: merangkul seluruh elemen bangsa dalam NKRI (Iyubenu: 2015).

Penyadaran terhadap karunia keberagaman (suku dan agama) di bumi Indonesia merupakan proses yang perlu terus digaungkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Khususnya internalisasi terhadap nilai keberagaman perlu digiatkan penyebarannya dalam institusi-institusi pendidikan.

Generasi muda perlu disadarkan bahwa terdapat perbedaan antara pluralisme dengan kebenaran agama.

Guru Besar Filsafat dari STF Driyarkara Jakarta, Prof. Franz Magnis-Suseno SJ menyatakan berikut ini.

“Menerima secara positif dan hormat kepada agama lain bukan berarti harus mengatakan semua agama sama. Sikap pluralitas adalah mampu hidup berdampingan dengan menerima umat beragama yang berbeda.”

Salah satu pembeda bangsa Indonesia adalah Pancasila.

Dalam pidato 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menawarkan konsepsi yang dikenal sebagai Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Indonesia merdeka.

Dalam pidato tersebut, beliau mengungkapkan bahwa sila-sila itu adalah kearifan masyarakat nusantara yang telah dihidupi selama ratusan bahkan ribuan tahun.

Dengan jelas dan rendah hati beliau menegaskan bahwa dirinya bukan menemukan hal baru tetapi sekedar menggali dari khasanah budaya nusantara (Tobing: 2012).

Ciri dari Pancasila adalah nasionalisme religius, yakni nasionalisme yang tetap menjadikan agama sebagai dasar, namun agama yang dimaksud di sini bukanlah satu agama tertentu, melainkan seluruh agama yang diakui oleh negara (Nasih: 2012).

Kekhasan dasar negara Pancasila yang mampu merangkul segenap warga bangsa, beragam kekayaan adat, suku, dan agama adalah nasionalisme Indonesia. 

Pemilihan dasar negara Pancasila sungguh karunia yang disadari sedari awal oleh para pendiri bangsa.

Mereka memahami bahwa NKRI dapat terus melaju dan hidup jika ada ideologi pemersatu.

Pancasila adalah kunci.

Pancasila dapat merangkul segenap warga bangsa dengan keanekaragamannya.

Pancasila menegaskan, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here