SETIAP manusia, laki-laki dan perempuan menggunakan mata hatinya untuk melihat adanya kesenjangan berdasarkan gender.
- Seperti Kartini, ia tidak diam, ia menulis, membanding-bandingkan, bertanya-tanya mengapa begitu lalu berusaha untuk mengatasinya.
- Ibu Maria Soelastri, pendiri Poesara Wanita Katholiek (nama asal WKRI), mencoba mengatasi persoalan-persoalan prinsip yang dihadapi para buruh perempuan waktu itu yang tidak memperoleh hak-haknya.
Mencoba berperan
Memperingati Hari Kartini, DPP Wanita Katolik RI mengangkat topik “Pengarusutamaan Gender: Konsep dan Praktik dalam Berorganisasi”. Dilaksanakan melalui webinar nasional, 30 April 2022.
Webinar yang menampilkan tiga pembicara pakar ini dihadari 247 perwakilan DPD Wanita Katolik seluruh Indonesia.
Lies Marcoes Natzir, Direktur Utama Rumah Kita Bersama (KitaB) adalah pakar senior gender di Indonesia. Ia menanggapi pertanyaan peserta terkait dengan sesama perempuan yang menekan dan menolak perempuan lain untuk maju.
Stereotipe merupakan lingkar tengah dalam ketidakadilan dan dikarenakan perempuan merupakan produk patriarki.
“Jadi ini sebetulnya tantangan bagi kita karena perempuan tidak berdiri di ruang hampa, perempuan ada di dalam sistem kemasyarakat yang memang patriarkis, karenanya kita harus terus-menerus memiliki consciousness,” jelasnya.
Kuota 30% perempuan
Terkait dengan kuota 30% perempuan, Lies mengutarakan harus dilihat dari konteksnya.
Kenapa ada kuota 30 persen?
Itu adalah upaya sementara, ketika adanya kesenjangan antara laki dan perempuan, konsepnya adalah affirmative action.
Maksudnya adalah upaya untuk mendukung sementara, agar perempuan naik dulu, agar setara.
“Itu sebetulnya sebuah kebijakan yang berangkat dari konsep CEDAW yang anti diskriminasi. Tentu saja tujuannya adalah persamaan.
Andai saja kalau partai itu sudah ramah pada perempuan, organisasi itu sudah ramah pada perempuan, keluarga itu sudah ramah pada perempuan, pendapat tentang 30 % itu tidak bermanfaat, benar sekali.
Sekarang situasinya masih belum seperti itu, karenanya lakukanlah 30% dulu, jadi bersifat sementara,” ungkapnya.
Mulai dari keluarga
Sekretaris Eksekutif KWI Romo Paulus Christian Siswantoko Pr mengemukakan pendapatnya terkait apa yang perlu dilakukan dalam mengarusutamakan gender.
Pertama, edukasi melalui keluarga sebagai gereja kecil tempat dimana kasih itu tumbuh dan kalau ada kasih maka ada relasi saling menghormati, saling menjaga, saling melengkapi.
Kedua, lembaga pendidikan.
“Kita memiliki banyak tempat pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi. Yang perlu bagi kita, Gereja untuk turut menyebarluaskan dan bermitra dengan mereka untuk mengarusutamakan gender ini.
Bagaimanapun juga ketika kita bisa memberi pemahaman yang baik pada generasi muda maka pemahaman yang benar akan melahirkan konstruksi sosial yang baik, di mana nantinya laki-laki dan perempuan akan mendapatkan perannya secara tepat,” jelasnya.
Ketiga, melalui kelompok kategorial atau pun teritorial guna memanfaatkan peluang dalam mempraktIkkan kesetaraan gender ini.
Kemudian, tata organisasi Gereja juga terus menerus didorong untuk menerapkan relasi adil gender mulai dari keuskupan, kevikepan, ke dekenat, lalu ke Rayon, paroki, sampai ke stasi dan lingkungan.
Kelima, jika seluruh aspek di atas terwujud, kita bisa mengatakan bahwa umat Katolik menjadi duta dalam pengarusutamaan gender; baik secara intern maupun di dalam masyarakat.
“Gereja Katolik terus mencoba mengarusutamakan gender secara adil meskipun memang karena faktor budaya, karena faktor sosial juga, maka memang masih menjadi PR yang panjang juga untuk memaksimalkan peran gereja Katolik dalam mengarusutamakan kesetaraan gender ini,” ungkap Romo Siswantoko.
Program strategis
Peran Wanita Katolik RI dalam mengarusutamakan gender diturunkan melalui program-program strategis dengan mempelajari situasi dan kondisi serta berbasis data.
Justina Rostiawati, Ketua Presidium DPP Wanita Katolik RI mengutarakan, pada periode ini dituntut untuk melihat kondisi krisis moral bangsa yaitu melalui pendidikan karakter mulai dari usia dini.
Program-program nasional yang telah dikembangkan di antaranya, gerakan lingkungan hidup tahun 2008.
Tradisi membawa botol minum sendiri dalam acara-acara guna mengurangi sampah plastik serta melakukan kreatifitas daur ulang.
DPD se Indonesia juga mengembangkan gerakan ketahanan dan kedaulatan pangan, mulai tahun 2010 yakni menanam sayur dan mengelola pangan bagi keluarga dan komunitas.
Dilanjut dengan gerakan membangun Kampung Bhinneka.
Tahun 2016 DPD Jakarta memelopori untuk membuat lomba, menanggapi situasi hangatnya isu radikalisme dan terorisme.
Tujuannya adalah membangun Kampung Bhinneka, mengolah lahan kosong, di lingkungan komunitas bersama dengan komunitas dan institusi lintas suku, ras dan agama.
Aktivitas lain adalah Lintas Mentari yang diluncurkan pada awal tahun 2019, melibatkan berbagai organisasi lintas.
Kegiatan ini sebagai simbol dalam membangun moralitas agama serta membuka ruang dialog lintas iman.
Gerakan terkini Dari Ibu untuk Indonesia Tahun 2020, keterlibatan WKRI hingga ke akar rumput dalam menanggani pandemi Covid-19.
Terkait dengan isu pernikahan sesama jenis yang semakin marak, Romo Siswantoko menegaskan, perlu kembali pada konsep Gereja Katolik tentang perkawinan yaitu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Sampai hari ini, Gereja tidak akan memberi izin untuk pernikahan sejenis, karena itu mengingkari jatidiri perkawinan secara Katolik.
Justina menambahkan, Paus sudah dengan tegas menyebutkan bahwa manusianya tetap manusia, jadi kita tidak bisa menyingkirkan mereka yang mempunyai preferensi lain.
Kita perlu tetap menghargainya sebagai seorang manusia, tidak mem-bully, juga jangan menstigma.
“Mari kita menghargai mereka sebagai manusia yang punya preferensi yang lain,” sahut Justina.