Percik Katekese: 10 Cirikhas Spiritualitas Imam Diosesan

0
1,928 views
Ilustrasi: Karikatur dari Romo Bayu Edvra Pr.

SPIRITUALITAS itu sangat penting dalam hidup panggilan imamat. Tanpa spiritualitas,  tidak ada hidup imamat.

Dalam sebuah konferensi yang mengupas Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis di Universitas Kepausan Gregoriana, Roma, 19 Oktober 2017, Prof. Mark Rotsaert SJ, Direktur Pertama Pusat Spiritualitas Ignasian di Universitas Gregoriana, mengungkapkan bahwa “senza spiritualità non c’è vita sacerdotale”.

Panggilan dan pelayanan seorang imam didasari oleh spiritualitas yang dihidupi dan diyakininya.

Spiritualitas berakar pada sikap dasar seseorang terhadap kehidupan –hidup seutuhnya– bukan melulu sisi kultisnya . Spiritualitas ini mencakup semua perilaku yang mengalir dari sikap dasar itu.

Demikian spiritualitas imam diosesan mengarahkan seluruh hidup seorang imam yang dihayati atau dijalani dalam kenyataan hidupnya yang amat konkret di tengah umat.

Sikap dasar dan tingkah laku yang mengalir dari padanya, juga dibentuk dan diwarnai oleh kesadaran dan iman akan Yang Transenden – yang mengatasi dirinya dan dunia yang tampak, yang memberikan makna, arti dan arah hidup seseorang.

Kalau kesadaran akan Yang Transenden ini meresapi seluruh hidup seseorang, mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya, lalu orang itu disebut “rohani”.

Dalam arti ini, spiritualitas dapat dikatakan sebagai jalan atau cara seseorang menghayati hidupnya sebagai hidup yang terhubung dengan Yang Transenden.

Buku “Uskup tanpa Imam Diosesan seperti Macan Ompong” (Ist)

Identitas imam diosesan

Corak spiritualitas imam diosesan juga berakar dan dibentuk oleh identitasnya. Identitas imam diosesan adalah bahwa ia dipilih sebagai perantara (jembatan) dalam hubungan antara Allah dengan manusia . Ia berdiri di persilangan antara yang manusiawi dan yang ilahi.

Kehadirannya pada titik ini menentukan spiritualitasnya. Identitas sebagai pengantara diwarnai oleh dua peranannya yang utama, yaitu sebagai pelayan Sabda dan Sakramen (fungsi liturgis) dan sebagai “Dokter Jiwa-jiwa” (fungsi menyembuhkan dan rekonsiliasi) yang dijalankan dalam berbagai cara.

Dalam audiensi di Aula Paulus VI Vatikan pada hari Jumat, 16 Maret 2018, Paus Fransiskus menguraikan dengan bagus terkait dengan spiritualitas imam diosesan. Pada waktu itu, ada seorang diakon dari Amerika Serikat yang bertanya kepada Bapa Suci tentang spiritualitas imam diosesan yang tidak mengacu pada ajaran satu pendiri.

Dalam penjelasannya, Paus Fransiskus menyebut satu kata: “diocesanità”, sense terhadap keuskupan.

Di keuskupan, ada Bapak Uskup, ada saudara atau rekan imam, dan ada umat beriman. Ini berarti bahwa imam diosesan harus menjaga hubungan dengan Uskupnya, bahkan jika Uskup termasuk tipe yang sulit, dengan imamnya, dan dengan umat beriman.

Menurut Paus Fransiskus sangat penting bertanya pada diri sendiri, “Bagaimana relasi saya dengan Uskup saya? Bagaimana bisa memiliki sense terhadap keuskupan, kalau Uskup mengarahkan ke sana, tetapi saya berjalan ke arah sebaliknya? Apakah saya masih menghadiri pertemuan imam? Apakah saya mudah ditemui oleh umat? Jika Anda bekerja di tiga bidang ini, Anda akan menjadi orang kudus”.

Imam diosesan tidak berada di bawah naungan sebuah tarekat atau kongregasi religius tertentu. Biasanya setiap tarekat atau kongregasi memiliki pendiri, yaitu santo atau santa. Misalnya, pendiri Serikat Yesus adalah Santo Ignatius Loyola, pendiri Serikat Salesian Don Bosko adalah Santo Yohanes Bosko, dsb.

Apakah imam diosesan juga mempunyai pendiri? Yang menjadi pendiri atau fondator imam diosesan adalah Yesus Kristus sendiri. Idola imam diosesan tidak lain juga Yesus Kristus.

Paus Benediktus XVI mengungkapkan bahwa idola imam diosesan bukanlah “orang biasa, tetapi Yesus Kristus sendiri. Apa yang kita percaya memang penting, tetapi lebih penting adalah Seseorang, yaitu Kristus, yang kita percaya” .

Khas spiritualitas imam diosesan

Spiritualitas imam diosesan tak bisa dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus, Sang Gembala Baik, Sang Imam Agung.

Dengan kata lain, spiritualitas imam diosesan adalah mengarahkan hidup, mengikuti, meneladan, menyatukan diri dan menjadi serupa dengan Kristus (Christocentric) dalam kesatuan-ketaatan dengan Uskup demi pengembangan Gereja lokal.

Imam diosesan taat-patuh pada Uskup, dan pada pribadi Uskup itu ia menghormati kewibawaan Kristus Gembala Tertinggi (PO, no. 7).

Melalui ketaatannya itu, imam diosesan secara positif menanggapi ajakan Kristus untuk nasihat Injili ketaatan, dan ikut serta dalam sikap penebusan yanga ada pada Kristus yang secara radikal taat pada kehendak Bapa sampai akhir hayat.

Menyadari bahwa para imam diosesan adalah imam milik Keuskupan, mereka mengabdikan seluruh hidupnya untuk pertumbuhan Gereja lokal sesuai dengan semangat dasar (arah dasar) Keuskupan dalam melayani umat dan masyarakat sekitar, seperti arah dasar Keuskupan Agung Semarang, arah dasar Keuskupan Agung Jakarta, arah dasar Keuskupan Ketapang, arah dasar Keuskupan Bandung, arah dasar Keuskupan Surabaya, arah dasar Keuskupan Purwokerto, dsb.

10 cirikhas spiritualias imam diosesan

Terkait dengan spiritualitas imam diosesan dan dalam rekoleksi para imam diosesan Semarang di Bandungan, Mgr. Ignatius Suharyo menyampaikan 10 ciri spiritualitas imam diosesan yang dilandaskan pada identitas imam sebagai pengantara dalam hubungan antara Allah dengan manusia.

Berikut ini ke-10 ciri spiritualitas imam diosesan tersebut:

  1. Keterlibatan yang penuh perhatian.
  2. Relasi yang bermakna.
  3. Aktif kontemplatif.
  4. Perayaan sakramen yang bermakna.
  5. Devosi kepada Sabda Allah.
  6. Iman yang meneguhkan.
  7. Devosi kepada Bunda Maria.
  8. Kompetensi profesional
  9. Memperhatikan diri sendiri.
  10. Bersyukur dan murah hati.
  • Sumber: Y. Gunawan Pr, Uskup Tanpa Imam Diosesan seperti Macan Ompong, Kanisius 2019, hlm. 9-12.
  • Karikatur : Rm. P. Bayu Edvra, Pr

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here