Peringatan Hari Air, Saatnya Beralih ke Solusi Berbasis Alam

0
356 views
Peringatan Hari Air, Saatnya Beralih ke Solusi Berbasis Alam. (Royani Lim)

INI bertepatan dengan acara peringatan Hari Air Sedunia 2018 yang diselenggarakan UNESCO bersama Indonesia Global Compact Network (IGCN) dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (UAJ) di Kampus Semanggi UAJ pada 4 April 2018. Pada waktu itu baru saja diluncurkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pembangunan air dunia 2018 (UN-WWDR 2018).

Pemilihan judul acara – The Answer is in Nature – agaknya sengaja diselaraskan dengan judul laporan UN-WWDR 2018 yaitu Nature-based Solutions for Water (NBS).

Nature-based Solutions (NBS)

Apa yang dimaksudkan dengan terminologi NBS?

Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), NBS atau solusi berbasis alam merupakan aksi untuk melindungi, mengelola, dan memulihkan alam atau memodifikasi ekosistem, agar perubahan sosial terjadi secara efektif dan adaptif serta memberikan manusia dan bumi manfaat yang berkesinambungan.

NBS dimaksudkan untuk mendukung pencapaian pembangunan dan didesain  untuk menyelesaikan tantangan-tantangan utama sosial seperti keamanan pangan, perubahan iklim, keamanan air bersih, kesehatan, risiko bencana, serta pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat.

NBS menggunakan atau meniru proses alam untuk meningkatkan ketersediaan air misalnya dengan mempertahankan kelembaban tanah, meningkatkan kualitas air dengan misalnya menyediakan daerah resapan air, dan mengurangi risiko bencana yang berhubungan dengan air dan perubahan iklim seperti membuat tanaman di atap gedung.

Di Forum Air Dunia ke-8 di Brazil (19/8/2018), PBB telah mengeluarkan laporan pembangunan air dunia (WWDR 2018). Laporan 2018 ini diberi judul Nature-based Solutions for Water atau solusi berbasis alam.

Laporan itu menunjukkan bagaimana NBS menawarkan alat untuk beranjak dari bisnis-seperti-biasa sekaligus juga memperhitungkan faktor tantangan terkait air di dunia dalam operasional organisasi apa pun. NBS juga diyakini akan memberikan manfaat yang sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan.

Ketersediaan air.

Menurut laporan WWDR 2018, saat ini manajemen air yang ada lebih menitikberatkan pada paradigma konvensinal yaitu pembangunan infrastruktur – yang sering diistilahkan dengan infrastruktur abu-abu (grey infrastructure).

Seharusnya NBS yang di dalamnya mencakup infrastuktur hijau (green infrastructure) bisa menggantikan atau melengkapi infrastuktur abu-abu tersebut. Kombinasi terbaik investasi keduanya perlu diupayakan agar tercapai sistem yang efisiensi dengan biaya minimalis tetapi berdaya guna tinggi.

Laporan lengkap WWDR 2018 bisa didownload di website UNESCO pada tautan berikut: http://www.unesco.org/new/en/natural-sciences/environment/water/wwap/wwdr/2018-nature-based-solutions/

Dalam forum peringatan air yang dihadiri berbagai perusahaan swasta, organisasi nirlaba, dan akademisi ini, NBS dipaparkan oleh Prof. Shahbaz Khan, Direktur dan Perwakilan Kantor UNESCO Jakarta yang kebetulan merupakan guru besar masalah air dan sumber alam di Australia.

Kolam dan sumber mata air alami di Cigugur, Kuningan, Jabar. (Mathias Hariyadi)

Panel diskusi masalah air

Acara inti dalam kegiatan ini berupa panel diskusi yang menampilkan berbagai pakar air dan lingkungan hidup seperti dari LIPI, BAPPENAS, Water Mandate Working Group, dan APCE (Asia Pacific Cetre for Ecohydrology).

Mantan Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah Ir. Erna Witoelar yang sekarang aktif di banyak lembaga masyarakat yang fokus pada isu lingkungan hidup turut menjadi panelis diskusi singkat ini.

UN Report.

Peneliti dari LIPI yang juga merupakan Ketua Indonesian International Hydrological Programme (IHP) Prof. Zainal Arifin memaparkan tentang isu dan tantangan berkaitan dengan air di Indonesia. Walaupun Indonesia memiliki 21% freshwater (air dari sumber alam yang bukan berada di laut) di Asia Pasifik, tetapi Indonesia menghadapi banyak masalah air juga.

Isu-isu utama terkait air di Indonesia meliputi kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi yang baik, banyak daerah yang memiliki risiko banjir, pencemaran limbah industri,  baik domestik maupun industri, serta musim kemarau yang mendatangkan kekeringan dan musim penghujan yang membawa banjir akibat penataan alam yang kurang baik.

Acara peringatan Hari Air Sedunia di Unika Atma Jaya, Jakarta, awal April 2018. (Royani Lim)

Erna Witoelar sebagai mantan Duta Besar Khusus PBB SDGs (Sustainability Development Goals) untuk Asia Pasifik, mengaitkan isu air dengan SDG 6 yaitu tersedianya sanitasi dan air bersih.

SDG 6 ini sendiri akan berdampak langsung pada masalah kemiskinan (SDG 1), kelaparan (SDG 2), kesehatan (SDG 3), dan kesetaraan jender (SDG 5). Sedangkan dampak tidak langsungnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, mengurangi persamaan, kota berkelanjutan, perubahan iklim, dan kehidupan di air maupun di darat.

Topik tentang SDGs bisa dilihat antara lain di link: https://sustainabledevelopment.un.org/sdgs

Sedangkan Abdul Malik Sadat Idris, pejabat BAPPENAS, menguraikan data potret masalah air di Indonesia.

Data BAPPENAS menunjukkan 35% kota-kota di Jawa dalam kondisi menghadapi kelangkaan air. Kondisi ini terutama disebabkan terjadinya erosi lapisan tanah penahan air atau diistilahkan sedimentasi. Tiap tahun terjadi sedimentasi sebesar 70 juta meter persegi di Pulau Jawa.

15 danau di Indonesia sekarang masuk dalam kategori kerusakan kritis.

Termasuk di dalamnya adalah Danau Toba (Sumatera Utara), Danau Maninjau dan Danau Singkarak (Sumatera Barat), Danau Kerinci (Jambi), Rawa Danau (Banten), Danau Rawapening (Jawa Tengah), Danau Batur (Bali), Danau Tempe dan Danau Matano (Sulawesi Selatan), Danau Poso (Sulawesi Tengah), Danau Tondano (Sulawesi Utara), Danau Limboto (Gorontalo), Danau Sentarum (Kalimantan Barat), Danau Cascade Mahakam-Semayang, Melintang, Jempang (Kalimantan Timur), dan Danau Sentani (Papua).

Setiap danau memiliki karakeristik yang berbeda-beda sehingga perlu penanganan yang spesifik untuk setiap tipe danau.

Air alami di area air terjun di daerah perbukitan Cigugur, Kuningan, Jabar. (Mathias Hariyadi)

Ignasius Sutapa dari APCE membeberkan peran ekohidrologi dalam ekosistem yang sehat di Indonesia. Ekohidrologi merupakan ilmu integratif dengan paradigma baru yang berupaya mencari solusi permasalahan seputar air, manusia, dan lingkungan sekitarnya.

Konsep dasar ekohidrologi adalah pendekatan pengelolaan sumber daya air dan biodiversitas dalam satu kesatuan. Ekohidrologi, bisa menjadi sebuah penawaran solusi dalam masalah air.

Pembicara terakhir, Librian Angraeni yang merupakan Ketua Indonesia Water Mandate Working Group IGCN memaparkan kiprah kelompok swasta tersebut. Salah satu program yang dilakukan IWMWG adalah konservasi Pulau Pari.

Projek ini dimulai dengan penyadaran masyarakat akan isu lingkungan, lalu aksi bersama masyarakat dan juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah tentang masalah terkait. Diharapkan tahap berikutnya bisa diarahkan ke ekoturisme yang akan berkontribusi pada penyelamatan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Durasi waktu diskusi panel ini sayangnya lebih singkat dibanding acara seremonial yang mendahuluinya. Sehingga paparan dari lima panelis berbobot ini tidak bisa ditanggapi tuntas oleh forum dalam sesi tanya jawab.

Kiprah IGCN dalam masalah air

IGCN  bertujuan meningkatkan peran swasta dalam menjalankan prinsip-prinsip PBB. Karena itu, IGCN lalu memasukkan isu air sebagai salah satu fokus utamanya.

Alasannya adalah karena air sangat vital; air terkait dengan hak asasi manusia, kesehatan, ekonomi, dan kehidupan manusia, demikian diungkapkan oleh YW Junardy, Presiden IGCN.

Salah satu upaya IGCN adalah pembentukkan Indonesia Water Mandate Working Group yaitu kerjasama antara lembaga pemerintah dan swasta terutama perusahaan-perusahaan bisnis dalam menjawab masalah air.

Seperti diungkapkan Asmin Fransiska, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya pada waktu memberikan sambutan di awal acara selaku tuan rumah, semua upaya ini baru berhasil guna kalau dilakukan secara sinergi antar lembaga-lembaga pemerintah dan swasta; termasuk akademisi dan lembaga bisnis serta non-bisnis. Kolaborasi merupakan faktor krusial untuk keberhasilan gerakan menyelamatkan dan memulihkan alam beserta isinya ini.

Belajar dari kearifan lokal

Hal lain yang menarik dikemukakan oleh Anita Nirody, UN Resident Coordinator, bahwa dalam melakukan NBS kita perlu belajar kearifan lokal masyarakat setempat. Budaya turun-temurun yang dimiliki para penduduk tersebut biasanya beradaptasi dan bersahabat dengan alam – bukan mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam seperti yang terjadi saat orang-orang serakah yang atas nama industrialisasi dan modernitas merampas dan membinasakan alam.

Anita Niroby menegaskan kembali pesan Asmin Fransiska, solusi untuk mengatasi kerusakan yang terjadi dibutuhkan kerja sama pemerintah dan swasta dengan membuat tindakan inovatif dalam melindungi, mengelola, serta memulihkan alam ini.

Indahnya pemandangan air terjun di Pulau Lombok, NTB. (Mathias Hariyadi)

“Laudato Si”

Masalah air tidak semata hanya soal air bersih atau pun banjir. Dampak paling parah kerusakan yang terjadi yang dirasakan oleh wanita dan anak-anak juga tidak akan teratasi tuntas jika hanya menyentuh isu air. Kesaling-terikatan masalah-masalah lingkungan sudah saatnya ditangani secara holistik dan global.

Ensiklik “Laudato Si” Paus Fransiskus yang dikeluarkan pada 24 Mei 2015 tampaknya sesuai untuk diterapkan secara lebih sungguh hati oleh seluruh dunia.

Ensiklik ini menawarkan pandangan menyeluruh tentang masalah-masalah yang dihadapi dunia saat ini. Saling keterkaitan satu sama lain membuat cara untuk menguraikannya tidak bisa hanya dari satu aspek saja – seluruh isu perlu dilihat dan diperhitungkan.

Ensiklik ini memiliki subjudul on the care for our common home (Dalam kepedulian untuk rumah kita bersama).

Dalam ensiklik ini Paus mengritik konsumptifisme dan pembangunan yang tak terkendali, menyesalkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pemanasan global, serta mengajak semua orang di seluruh dunia untuk mengambil aksi global yang terpadu dan segera.Maka kembali pada ajakan kolaborasi dan sinergi yang kerap didengungkan, perlu dijadikan gerakan riil – bukan sekedar diskusi dan wacana belaka atau pun seremonial tanpa aksi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here