Perjalanan di Wamena, Papua: Pagi Hari di Hepuba (3)

1
627 views
Penulis bersama dua anak Papua yang bermimpi meraih cita-cita mulia di masa depan. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr)

SAYA bangun pagi langsung ke sungai kecil untuk mandi di air Lembah Balim. Sebenarnya ada kamar mandi. Tapi lebih asyik mandi di sungai kecil di samping pastoran.

Mandi di Sungai Balim tidak berani karena airnya deras dan dalam. Lalu, saya sarapan dengan mengambil buah pisang dari kebun.

Saya coba jalan kaki ke luar kompleks gereja Hepuba ke arah Wamena. Ke arah sebaliknya adalah ke arah Kurima.

Jalanan sepi. Udara bersih. Terdengar air mengalir. Air yang sangat bersih yang saya pakai utk mandi juga. Kalau orang setempat langsung saja meminum air yg memang bersih dari mata air pegunungan.

Mata air itu dibuat bendungan dan dialirkan ke rumah rumah termasuk ke pastoran Hepuba.

Jalanan yang sepi di pagi hari di Hepuba, Wamena, Papua. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja)
Dua anak kecil Papua di pinggiran jalan Hepuba, Wamena, Papua yang menginspirasi penulis akan sebuah harapan besar bahwa anak-anak Papua berhak mendapatkan peluang untuk meraih masa depan mereka yang lebih baik. Juga mutu kehidupan masyarakat Papua yang lebih baik. (Romo Ferry SW)

Dua anak di pinggir jalan

Di pinggir jalan ada warung kecil dan ada dua anak kecil berjualan sirih pinang. Tiga butir buah pinang dgn sirihnya dijual 10 ribu.

Yang berjualan itu namanya Marta Asso (11). Marta kelas 5 SD YPPK St Michael Hepuba dengan 15 teman sekelas. Ia senang pelajaran matematika dan bahasa Indonesia. Marta punya 5 kakak. Ayahnya Michael Asso. Ibunya Toreka Wetipo.

Mereka bekerja di kebun. Sirih pinang adalah jualan Ibu Toreka yang dititipkan ke Marta. Dari 10 paket sudah laku tiga paket; artinya merka sudah dapat Rp 30 ribu.

Marta Asso ditemani Marta Wetipo (8) kelas 3 SD YPPK St Michael Hepuba dengan 19 teman sekelas. Ia senang pelajaran IPA.

Marta punya seorang kakak. Ayahnya Petrus Wetipo. Ibunya Sepi Asso.

Mimpi dua anak kecil Papua di Hepuba, Wamena, di masa depan. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr)

Marta Asso beragama Katolik. Sedangkan Marta Wetipo dari Gereja Kristen Kingmi. Namun kedua ayah mereka, katanya punya isteri lain dan anak anak lain. Kedua isteri tinggal di rumah yang berbeda. Tapi semuanya masih ke gereja.

Ketika ada mobil lewat, Marta Asso bilang yang duduk di depan mobil itu adik dari ibu yang lain. Mereka nampak akrab dan baik baik saja berteman dan bersaudara.

Katanya meski banyak poligami sebenarnya di dalam hati para wanita Papua juga keberatan. Yang bekerja di kebun juga lebih banyak yang wanita dibandingkan para pria.

Pernah ada antropolog yang diundang ke Papua dan pernah juga penelitian di Afrika mengusulkan agar bila poligami diterima masyarakat adat, maka Gereja juga sebaiknya menerima.

Tentu saja hal ini belum disetujui Vatikan. Maka cukup banyak orang di Papua yang mengaku Katolik dan ikut ke gereja tapi belum atau tidak dibaptis, karena terhalang soal poligami tersebut.

Marta Asso dibaptis kelas 3 SD dan komuni pertama kelas 5 SD. Marta rajin ke gereja setiap Minggu. Begitu juga orang tua dan saudara saudaranya.

Uang sekolah di SD YPPK St. Michael Hepuba itu Rp 10 ribu per bulan atau Rp 120 ribu setahun. Bapak kepseknya Enius Lokobal.

Uang sekolah di sekolah YPPK lainnya seragam sesuai zona. Zona 1 yang di kota Wamena 25 ribu per bulan. Zona 2 itu 10 ribu per bulan.

Mereka senang bermain kelereng, bola kaki, bola voli, main karet, main sembunyi sembunyi, main bola jadi. Main bola jadi itu dengan bola yang kecil dan dilempar. Bila kena bola, maka mereka berusaha melempar bola mengenai teman teman lain.

Permainan selesai kalau semua sudah kena bola.

Sehari hari makan keladi, ubi, nasi, singkong, sayur labu siam, dan sayur daun ubi. Mereka lebih senang makan keladi yang dibakar batu. Kadang makan ikan atau ayam. Daging babi, kalau ada pesta atau upacara.

Mereka belum pernah naik pesawat atau pergi jauh. Paling pernah pergi ke Wamena atau rekreasi ke Tanah Merah.

Rosa Asso, Petronella Alua dan Jefri Asso, Immaculata Asso. (Romo Ferry SW)

Pagi itu tidak banyak yang lewat. Ada mama mama yang mau ke kebun. Ada beberapa mobil membawa hasil bumi menuju pasar Wamena. Ada juga motor motor yang lewat.

Pagi itu saya sebenarnya ingin mampir melihat suasana sekolah diantar Fr. Alan yang juga guru agama. Namun Rabu sebelum Paskah, sekolah sudah diliburkan dan baru akan masuk selasa sesudah Paskah.

Pentingnya pendidikan karakter

Mgr. Yan Matopai Uskup Jayapura minta saya untuk memberikan pendidikan karakter kepada para guru di Jayapura dan Wamena di lingkungan YPPK Keuskupan Jayapura.

Saya tidak tahu persis apa yang dibutuhkan para guru khususnya di Papua.

Memang saya lulus S3 Pendidikan Nilai dari Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung dengan disertasi model pendidikan nilai berbasis lingkungan hidup. Disertasi itu dari keterlibatan selama lebih dari 10 tahun dengan Spirit Camp yang didirikan Shierly Megawati.

Akhirnya dilahirkan konsep Eco Learning Camp sebagai model pendidikan nilai berbasis lingkungan hidup.

Bunga indah mewangi di tepian jalan Hepuba, Wamena, Papua. (Romo Ferry SW)

Karena saya tidak paham soal pendidikan di Papua, maka saya coba bertanya kepada beberapa sahabat. Pak Fidelis Waruwu yang pernah diundang memberikan training Living Values untuk para guru di Jayapura memberi kesan positif tentang guru-guru yang bersemangat dan ingin belajar.

Teman lain mengingatkan bahwa di beberapa sekolah para guru sering absen. Ada juga yang mengatakan para guru absen, karena gaji mereka kecil atau sering terlambat dibayarkan.

Sekolah Katolik juga tidak mungkin memberi gaji yang lumayan, karena uang sekolah yang dibayar murid-murid sangat sedikit.

Kisah dua Marta

Menurut Marta Asso dan Marta Wetipo, di sekolah mereka guru guru rajin mengajar dan mengajar dengan menarik dan menyenangkan. Guru jarang absen.

Kedua Marta prestasinya bagus. Kadang guru marah, kalau murid murid agak ribut dan main main. Kedua Marta ingin sekolah terus sampai kuliah. Marta Asso ingin jadi suster biarawati. Sedangkan Marta Wetipo ingin jadi guru.

Masa depan anak-anak Papua

Masa depan Papua agaknya ikut ditentukan oleh kualitas pendidikan di keluarga dan di sekolah. Sangat penting bagaimana orang tua mampu mendidik anak anak mereka serta mampu memberi contoh dan teladan dalam nilai nilai kehidupan.

Itulah pendidikan yang pertama dan utama. Pendidikan sekolah seharusnya melengkapi pendidikan di keluarga.

Kita butuh guru-guru yang mempunyai panggilan sebagai guru, rajin dan pandai mengajar, dan sungguh menjadi pendidik bagi murid murid mereka.

Kita juga butuh sistem sekolah dan yayasan pendidikan yang terus mencari inovasi dan mengembangkan sistem pendidikan yang semakin bermutu dan relevan.

Di Papua misalnya sangat penting diajarkan kemandirian dan semangat berjuang.

Ada banyak potensi di alam dan masyarakat Papua yang membutuhkan orang orang yang mampu, tulus, bahagia, dan berdedikasi untuk kemajuan Papua.

Masih banyak anak-anak seperti Marta dan Marta lainnya yang berhak untuk memperoleh kehidupan dan masa depan yang lebih baik. (Berlanjut)

Baca juga: Lebih Jauh Kenal Paroki Hepuba, Dekenat Papua Pegunungan di Lembah Balim Wamena (2)

1 COMMENT

  1. _Dari keuskupan Jayapura maupun pusat harus perhatian penuh, sekolah_sekolah Katolik yang ada di pengunungan .
    _Banyak hal yang perlu diperhatikan menyangkut sekolah yg dibangun misionaris/printis
    _Guru katolik juga sangat kurang di Pedesaan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here