Pernah Miskin, Hidup Itu Ya Kerja dan Terus Kerja

0
362 views
Ilustrasi -Hasil capaian kerja. (Ist)

BAPERAN. BAcaan PERmenungan hariAN.

Selasa, 5 Oktober 2021.

Tema: Tidak Sepenuhnya.

Bacaan.
Yun. 3: 1-10.
Luk. 10: 38-42.

Salah satu yang tidak dapat disangkal dalam kehidupan kita adalah pengaruh hegemoni uang dalam kehidupan.

Apa pun tantangan akan dihadapi. Memang dibutuhkan uang untuk kehidupan keluarga. Kadang harus bekerja keras bahkan bekerja “rodi” untuk memenuhi konsumsi keluarga. Ungkapan cinta pada keluarga.

Seseorang secara spontan protes atas bacaan Injil hari ini. Ia syering pengalaman atas hidupnya.

“Mo, saya sedikit kurang sepaham atas injil hari ini.”

Oh. Ya enggak apa-apa. Injil kan mesti dipahami dalam keseluruhan perjalanan hidup manusia. Injil menerangi, menyadarkan agar kita hidup dalam keseimbangan. Bukankah hidup itu berkelanjutan menuju keabadian?

Begini Romo. Saya mencintai keluargaku. Saya tidak mau, pengalaman masa kecil saya yang terbatas dan miskin itu dialami oleh keluarga.

Saya tahu bagaimana susah dan terbatasnya hidup sebagai orang yang tidak memiliki apa-apa. Terbatas. Sementara saya menyaksikan tetangga saya hidup dalam berkelimpahan.

Memang mereka sosialnya ada. Sering memberi bantuan ke tetangganya. Toh, tetap di dalam hati kami semacam ke-iri-an. Kenapa mereka bisa memiliki dengan berlimpah sementara kami dengan bekerja mati-matian tetap saja begini. Tidak ada perubahan. Apalagi kemajuan.

Saya pernah lihat pemandangan keseharian macam itu dan menyakitkan. Suatu saat saya melihat tetangga saya itu membuang sesuatu di tong sampah. Anjing kampung makan sesuatu.

Saya lihat ada beberapa lauk dan makanan yang dibuang. Mungkin sudah busuk atau apa. Saya hanya berpikir pada saat itu, kenapa orang lain membuang makanan sementara banyak yang kelaparan.

Tingkat kesejahtetaan yang berbeda bahkan yang mencolok itulah yang membuat saya seperti Martha bekerja dan bekerja. Bekerja.

Suatu saat kami terpuruk. Kami mulai menjual barang yang ada. Mulai dari perhiasan istri yang kami dapat selama perkawinan. Sementara saya terus bekerja. Semua itu tidak menutupi kebutuhan. Kami menjual barang-barang yang ada, yang dulu kami beli karena mungkin kami menjadi korban iklan produk tertentu. Kami beli saja kendati tidak kami pakai. Kepuasan Mo, bila membeli dan memiliki sesuatu yang baru dan lagi ngetrend.

Itupun sudah kami lakukan. Hanya kulkas, TV dan kipas angin yang kami pertahankan.

Lalu dengan sisa uang yang ada saya ijin keluarga bekerja di di luar kota.

Di sana saya bekerja keras. Tanpa malu, saya bekerja sebagai supir perusahaan retail. Saya pergi ke banyak tempat mengantar barang-barang. Saya bekerja dengan baik dan akhirnya dipercaya.

Saat itu saya punya ide untuk meminjam modal. Saya membeli beberapa potong celana dan pakaian dengan harga yang miring. Kebetulan saudara dari majikan saya membuat home industri pakaian jadi.

Gaung pun bersambut. Setiap saya mengantar barang ke beberapa tempat saya pun menawarkan barang dagangan.

Saat itu saya tidak berpikir soal doa, apalagi ke Gereja. No lah. Tetapi kalau di suatu kota saya melewati Gereja saya hanya membuat tanda salib. Tidak ada pikiran untuk berdoa dan ikut Misa. Saya hanya bekerja dan bekerja. Maniak kerja. Bahkan hari minggu saya dengan motor berkeliling menitipkan barang-barang di pasar-pasar tradisional.

Tiada hari tanpa bekerja. Saya tetap mengirim uang ke keluarga. Bila ada rezeki saya saya belikan barang-barang kecil dari emas.

15 tahun saya menjadi supir saya majikan. Relasi kepercayaan terjalin. Saya dianggap seperti saudara majikan sendiri. Dan saya anggap mereka lebih dari sekedar itu. Apa pun yang mereka butuhkan saya usahakan. Bahkan saya bela. Saya pasang badan. Siapapun yang menganggu mereka saya hadapi secara preman, jika perlu.

Akhir-akhir ini mereka sering minta anter ke Gereja. Saya hanya menangis di mobil di parkiran sambil mendengarkan.

Tanpa sadar saya menepuk bahunya, “Itu sudah bagus. Selebihnya, biarkan Tuhan sendiri yang menyempurnakan.”

Kata Tuhan, “Hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” ay 42.

Tuhan, Engkau tahu, betapa aku mencintai keluargaku, hadiah dari-Mu. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here