Pertemuan Tokoh dan Lembaga Katolik, Mencari Peluang Sinergi Membangun Kapasitas Masyarakat

0
714 views
Pertemuan antar figur dan lembaga katolik untuk menyatukan langkah dan kerja bareng sinergik untuk pengembangan kapasitas masyarakat. (Royani Lim/Yayasan Bhumiksara)

SINERGI kekuatan lembaga dan aktivis Katolik sudah sering dan lama pula didengung-dengungkan. Tetapi hasilnya belum nyata terlihat di masyarakat. Antusiasme tersebut tetap ada, terlihat dari berkumpulnya 57 figur katolik di aula Gedung K2 Kampus Semanggi Unika Atma Jaya pada Selasa 18 April 2017 siang.

Mereka ini merupakan para pengurus lembaga katolik dari berbagai bidang. Ada perwakilan komisi di KWI seperti Komisi PSE dan Komisi Kepemudaan, sejumlah lembaga Perguruan Tinggi Katolik anggota APTIK (Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia) seperti Unika Widya Mandala Surabaya dan UNPAR Bandung, sejumlah lembaga nirlaba katolik yang bergerak di bidang pemberdayaan semangat kepemimpinan seperti Yayasan Bhumiksara, sejumlah ormas Katolik seperti WKRI, Pemuda Katolik, PMKRI, juga sejumlah lembaga paguyuban katolik  antara lain  PUKAT (Profesional dan Usahawan Katolik) KAJ, Komunitas Universal,  Gaudium et Spes Community.

Pengusaha papan atas sekaligus bos PT Indofood Sukses Makmur Franciskus “Franky” Welirang ada di antara para hadirin.

Beberapa imam dan suster juga hadir di forum ini. Taruhlah itu  Romo Andang Listya Binawan SJ dan Romo Wirjono SJ yang hadir dalam kapasitasnya sebagai Ketua APTIK.

Bertindak sebagai tuan rumah adalah Pusat Pengembangan Masyarakat (PPM) Unika Atma Jaya dan Bina Swadaya.

Mencari model pengembangan kapasitas masyarakat

Bambang Ismawan sebagai salah satu perintis dan pimpinan teratas Bina Swadaya menjadi narasumber dengan topik presentasi mensinergikan partisipasi umat Katolik dalam pembangunan Indonesia. Ia memulai pemaparan dengan kisah pendirian Bina Swadaya yang tepat berusia 50 tahun ini.

Bina Swadaya diinisiasi oleh Romo Dijkstra SJ, Bambang Ismawan,  dan beberapa tokoh lain yang peduli tentang pemberdayaan masyarakat oleh masyarakat. Saat ini,  nama Bina Swadaya identik dengan keberhasilan bisnis berwawasan sosial yang menjangkau berbagai bidang seperti pertanian, keuangan mikro, dan advokasi pembangunan pinggiran.

Bambang Ismawan yang lahir pada 17 Maret 1948 tampak tetap energik di usia mendekati 80 tahun. Dengan pembawaan khasnya yang tenang, ia mengkritisi rendahnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pertanian; angka kemiskinan tinggi di desa dimana terdapat lebih dari 17 ribu desa tertinggal di Indonesia.

Menurutnya, solusi untuk itu adalah sebagai berikut:

  • Memberdayakan ekonomi rakyat
  • Memperkuat infrastruktur kebudayaan masyarakat
  • Memberdayakan keuangan daerah
  • Memperkuat aksesibilitas desa
  • Membangun modal manusia
  • Membuka isolasi, menguatkan kerukunan dan adaptasi-mitigasi bencana.

Land reform mutlak diperlukan untuk mendorong pembangunan di pedesaan. Tidak ada negara yang bisa maju tanpa land reform,” tegas Bambang sambil mengutip sejumlah negara yang berhasil karena kebijakan land reform yang tepat.

Dimana peran sentral perguruan tinggi

Bambang secara khusus menyoroti peran sentral perguruan tinggi yang bisa menghubungkan tiga aktor dalam gerakan keberdayaan masyarakat yaitu lembaga pengembangan masyarakat, komunitas basis, dan lembaga pelayanan sumberdaya. Perguruan tinggi punya modal utama yaitu Tri Dharma perguruan tinggi (pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat).

Paparan bersama untuk mensinergikan kekuatan lembaga-lembaga katolik demi mencari peluang untuk pengembangan kapasitas masyarakat. (Royani Lim/Yayasan Bhumiksara)

“Perguruan tinggi bisa berperan sinergis dalam mengembangan jejaring kolaboratif, menyelenggarakan program pengembangan kapabilitas, mendorong terciptanya peraturan dan kebijakan yang kondusif serta mensinergikan pemerintah, bisnis, dan filantropi,” ungkap tokoh wirausahawan sosial kelahiran Babat, Lamongan, Jawa Timur ini.

Lalu tentang tujuan mengundang para tokoh, aktivis, dan perwakilan lembaga Katolik, di ujung paparan ia mengusulkan beberapa tindak lanjut sistematis dalam membangun sinergitas umat, yaitu:

  1. Pemetaan aksi yang telah dilakukan dan apa yang perlu dilakukan berbagai pemangku kepentingan.
  2. Mengidentifikasi pemangku kepentingan utama.
  3. Mengembangkan jaringan kerjasama.
  4. Mengorganisasi program aksi bersama.
  5. Melibatkan gerakan kaum muda.
  6. Menghubungkan dengan Corporate Social Responsibility (CSR) sektor swasta.

Bambang menggunakan istilah ‘panggilan bakti’ bagi para awam untuk turut berperan, tidak hanya membebankan segala hal kepada jajaran para imam  alias clerus yang bisa berarah menjadi plesetan ‘keliru urus’.

Para undangan tampak menyimak dengan serius dan memberikan tanggapan beragam atas paparan dan ajakan yang dilontarkan Bambang Ismawan. Beberapa menyampaikan kisah upaya yang telah dilakukan lembaga mereka, ada pula yang berteori tanpa solusi. Terhadap munculnya pemikiran di awang-awang, Pengusaha Hidajat Tjokrodjojo  yang hadir mewakili PUKAT KAJ menukas perlunya berpikir out of the box layaknya pengusaha.

Bambang Ismawan menekankan pertemuan perdana ini diharapkan menjadi forum pengenalan dan ajakan kerja sama antar lembaga dan pribadi Katolik. Melihat jumlah peserta yang hadir jauh melampaui target panitia, ia optimis upaya ini perlu dilanjutkan.

Mencari peluang emas untuk mensinergikan kekuatan bersama untuk pembangunan kapasitas masyarakat. (Royani Lim/Yayasan Bhumiksara)

Sinergi bersama

Rektor Unika Atma Jaya Prasetyantoko secara lugas mengusulkan agar sinergi berangkat dari interest masing-masing lembaga yang ada. “Upaya konkrit bisa jalan kalau interest sesuai dengan lembaga bersangkutan,” ujar Rektor muda yang mulai menjabat per 1 Desember 2015 ini.

Pandangan Ico, panggilan akrab Prasetyantoko, tersebut diamini oleh Romo Wirjono SJ, Ketua APTIK.

Romo yang biasa dipanggil Romo Wir itu mengemukakan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh APTIK dalam pengembangan pembangunan pinggiran seperti Peduli Mentawai, program social community development dan kewirausahaan di perkuliahan.

Pertemuan tersebut diselesaikan dengan komitmen rencana pertemuan-pertemuan berikutnya di tempat yang diharapkan berpindah-pindah ke lembaga lain.

Paul Soetopo –penggagas berdirinya Gaudium et Spes Community– yang ‘ditodong’ untuk penyediaan tempat pertemuan, langsung memberi komitmennya menjadi tuan rumah berikutnya. Waktu akan menunjukkan apakah pertemuan-pertemuan nanti sekedar menelurkan wacana-wacana bagus atau bisa berwujud aksi nyata yang berdayaguna.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here