Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Perdamaian Dunia 1 Januari

0
457 views
Pertemuan Paus Fransiskus dan pemimpin Kelompok Syiah Irak Ayatollah Ali al-Sistani di Kota Suci Najaf, Irak. (Ist)

Dialog antar generasi, pendidikan, dan pekerjaan: Sarana untuk membangun perdamaian abadi

1. “Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai …” (Yes 52:7).

Kata-kata Nabi Yesaya ini bicara tentang penghiburan; kata-kata itu menyuarakan desahan lega orang-orang di pengasingan, yang lelah karena kekerasan dan penindasan, terkena penghinaan dan kematian.

Nabi Barukh bertanya-tanya: Apa sebabnya, hai Israel, apa sebabnya maka engkau berada di negeri musuhmu serta menjadi tua di negeri yang asing dan menajiskan dirimu dengan yang mati dan terbilang di antara mereka yang turun ke dunia orang mati?” (Barukh 3:10-11).

Bagi bangsa Israel, kedatangan utusan perdamaian berarti janji kelahiran kembali dari puing-puing sejarah, awal dari masa depan yang cerah.

Hari ini jalan perdamaian, yang disebut Santo Paulus VI dengan nama baru perkembangan seutuhnya (1) sayangnya tetap jauh dari kehidupan nyata banyak laki-laki dan perempuan, dan dengan demikian dari keluarga manusia kita, yang sekarang sepenuhnya saling berhubungan.

Meskipun banyak upaya yang ditujukan untuk dialog yang membangun antarnegara, suara perang dan konflik yang memekakkan telinga semakin meningkat.

Sementara masalah penyakit pandemi menyebar, efek dari perubahan iklim dan lingkungan degradasi semakin memburuk, tragedi kelaparan dan kehausan meningkat, dan model ekonomi yang didasarkan pada individualisme dan bukan pada solidaritas berbagi terus berlaku.

Seperti di zaman para nabi di zaman dahulu, demikian juga di zaman kita sekarang seruan orang miskin dan tangisan bumi (2) terus-menerus membuat diri mereka didengar, bahwa mereka sedang memohon keadilan dan perdamaian.

Di setiap zaman, perdamaian adalah anugerah  dari tempat tinggi dan buah dari komitmen bersama. Memang, kita dapat berbicara tentang sebuah “arsitektur” perdamaian, di mana berbagai lembaga masyarakat berkontribusi, dan sebuah “seni” perdamaian yang secara langsung melibatkan kita masing-masing (3).

Semua dapat bekerja sama untuk membangun dunia yang lebih damai, mulai dari hati masing-masing orang dan hubungan dalam keluarga, kemudian dalam masyarakat dan dengan lingkungan, dan sampai ke hubungan antar anggota masyarakat dan para bangsa.

Di sini saya ingin mengusulkan tiga jalan untuk membangun sebuah perdamaian yang awet.

Pertama, dialog antargenerasi sebagai dasar realisasi proyek bersama. Kedua, pendidikan sebagai faktor kebebasan, tanggungjawab dan pembangunan.

Akhirnya, tenaga kerja sebagai sarana untuk terwujudnya secara penuh martabat manusia. Ini adalah tiga unsur yang sangat diperlukan untuk “memungkinkan terciptanya perjanjian sosial” (4) yang tanpa itu setiap proyek perdamaian menjadi tidak berdasar.

Imam Besar Ali al-Sistani menerima kedatangan Paus Fransiskus dan rombongan di kediamannya yang sederhana di Najaf, Irak, Sabtu tanggal 6 Maret 2021. (The Guardian)

2. Dialog antar generasi untuk membangun perdamaian

Di dunia yang masih dicengkeram oleh pandemi yang telah menciptakan masalah yang tak terhitung banyaknya, “beberapa orang berusaha untuk lari dari kenyataan, berlindung di dunia kecil mereka sendiri; orang lain bereaksi terhadapnya dengan kekerasan yang merusak.

Namun antara ketidakpedulian egois dan protes kekerasan selalu ada pilihan lain yang mungkin: yaitu dialog. Dialog antar generasi” (5).

Semua dialog yang jujur, selain pertukaran pandangan yang benar dan positif, menuntut kepercayaan dasar di antara para peserta.

Kita perlu belajar bagaimana mendapatkan kembali rasa saling percaya ini. Krisis kesehatan saat ini telah meningkatkan rasa keterasingan kita dan kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri.

Kesepian orangtua diimbangi oleh orang muda dengan rasa tidak berdaya dan kurangnya visi bersama tentang masa depan.

Krisis memang menyakitkan, tetapi juga membantu memunculkan yang terbaik yang ada pada manusia.

Memang, selama pandemi kami menemukan contoh kasih sayang, saling berbagi dan solidaritas yang murah hati di setiap bagian dunia.

Dialog memerlukan kesediaan mendengarkan satu sama lain, berbagi pandangan yang berbeda, mencapai kesepakatan dan berjalan bersama.

Mempromosikan dialog seperti itu antar generasi melibatkan pemecahan tanah konflik dan ketidakpedulian yang keras dan tandus untuk menabur benih perdamaian yang awet  dan bersama.

Meskipun perkembangan teknologi dan ekonomi cenderung menciptakan kesenjangan antar generasi, krisis kita saat ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan kemitraan antargenerasi.

Orang muda membutuhkan kebijaksanaan dan pengalaman orangtua, sedangkan mereka yang lebih tua membutuhkan dukungan, kasih sayang, kreativitas dan kedinamisan orang muda.

Tantangan sosial yang besar dan proses perdamaian tentu membutuhkan dialog antara penjaga ingatan –orangtua– dan mereka yang menggerakkan sejarah untuk maju – kaum muda.

Delegasi Indonesia bertandang mengunjungi kantor lembaga Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (PCID)

Masing-masing harus bersedia memberi ruang bagi orang lain dan tidak memaksakan untuk memonopoli seluruh adegan dengan mengejar kepentingan langsung mereka sendiri, seolah-olah tidak ada masa lalu dan masa depan.

Krisis global yang kita alami memperjelas bahwa perjumpaan dan dialog antargenerasi harus menjadi kekuatan pendorong di balik politik yang sehat, yang tidak puas mengelola masa kini “dengan solusi sepotong-sepotong atau perbaikan secara tergesa-gesa” (6), tetapi memandang dirinya sebagai bentuk cinta yang luar biasa untuk orang lain (7) dalam mencari proyek bersama dan berkelanjutan untuk masa depan.

Jika, di tengah kesulitan, kita bisa mempraktekkan dialog antargenerasi semacam ini, “kita bisa berakar kuat” di masa sekarang, dan dari sini, mengunjungi kembali masa lalu dan melihat ke masa depan.

Menengok kembali masa lalu untuk belajar dari sejarah dan menyembuhkan luka lama yang terkadang masih menyusahkan kita.

Untuk melihat ke masa depan untuk memelihara antusiasme kita, menyebabkan munculnya mimpi, membangkitkan ramalan dan memungkinkan harapan untuk berkembang. Bersama-sama, kita bisa saling belajar” (8).

Karena tanpa akar, bagaimana pohon bisa tumbuh dan berbuah?

Kita hanya perlu memikirkan perawatan untuk rumah kita bersama. Lingkungan, pada kenyataannya, “dipinjamkan kepada setiap generasi, yang kemudian harus diteruskan ke generasi berikutnya”. (9).

Kita harus menghargai dan mendorong semua orang muda yang bekerja untuk dunia yang lebih adil, dunia yang secara cermat  menjaga ciptaan yang dipercayakan kepada pengelolaan kita.

Mereka menjalani ini dengan kegelisahan, antusiasme, dan yang terpenting dengan  rasa tanggung jawab sebelum perubahan arah yang mendesak diharuskan oleh tantangan-tantangan yang muncul dari krisis etika dan lingkungan social saat ini. (11)

Di sisi lain, peluang untuk membangun jalan perdamaian bersama tidak bisa mengabaikan pendidikan dan tenaga kerja, yang merupakan pengaturan dan konteks istimewa untuk dialog antargenerasi.

Pendidikan menyediakan tata bahasa untuk dialog antargenerasi, dan dalam pengalaman pekerja laki-laki dan perempuan dari generasi yang berbeda menemukan diri mereka mampu bekerja sama dan berbagi keahlian, pengalaman dan keterampilan untuk kepentingan bersama.

3. Pengajaran dan pendidikan sebagai penggerak perdamaian

Dalam beberapa tahun terakhir, di seluruh kawasan dunia telah secara nyata terjadi pengurangan pendanaan untuk pendidikan dan pelatihan; pendanaan  lebih dilihat sebagai pengeluaran daripada investasi.

Padahal, pendanaan itu adalah sarana utama untuk mempromosikan pembangunan manusia seutuhnya; pendanaan membuat individu lebih bebas dan bertanggungjawab, dan mereka itu penting untuk mempertahankan dan memajukan perdamaian.

Singkatnya, pengajaran dan pendidikan adalah fondasi masyarakat sipil yang bersatu  yang mampu membangkitkan harapan, kemakmuran dan kemajuan.

Di sisi lain, belanja militer elah meningkat melampaui tingkat pada akhir Perang Dingin dan semua itu  tampaknya pasti akan tumbuh secara keterlaluan. (12)

Ilustrasi: Sebuah program pembinaan iman di Paroki Nanga Mahap di Kalbar—hal yang biasa digaungkan oleh Komisi Kepausan Indonesia KKI melalui Direktur Diosis (Dirdios) dan para penggiat lokalnya. (Sr. Ludovika OSA)
Ilustrasi: Kegiatan belajar-mengajar di SMA Santo Petrus Ketapang, Kalbar. (Dok SMA St. Petrus Ketapang)

Maka, sudah saatnya pemerintah mengembangkan kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk membalikkan proporsi antara dana publik yang dihabiskan untuk pendidikan dan persenjataan.

Pengejaran proses sejati perlucutan senjata internasional hanya dapat terbukti bermanfaat bagi pembangunan masyarakat dan bangsa, membebaskan sumber daya keuangan yang lebih baik digunakan untuk perawatan kesehatan, sekolah, infrastruktur, perawatan tanah dan sebagainya.

Saya berharap bahwa investasi dalam pendidikan juga akan disertai dengan upaya yang lebih besar untuk mempromosikan budaya peduli (13) yang, dalam menghadapi perpecahan sosial dan institusi yang tidak tanggap, dapat menjadi bahasa sehari-hari yang bekerja untuk mendobrak hambatan dan membangun jembatan.

“Sebuah negara berkembang ketika dialog konstruktif terjadi antara banyak komponen budayanya yang kaya: budaya populer, budaya universitas, budaya pemuda, budaya seni, budaya teknologi, budaya ekonomi, budaya keluarga, dan budaya media”. (14)

Maka, penting untuk membentuk paradigma budaya baru melalui “pakta global tentang pendidikan untuk dan dengan generasi mendatang, yang mengikat keluarga, komunitas, sekolah, universitas, lembaga-lembaga, agama, pemerintah, dan seluruh keluarga manusia untuk lelaki dan perempuan dewasa”. (15)

Sebuah perpaduan yang dapat mempromosikan pendidikan dalam ekologi yang utuh, menurut model budaya perdamaian, pembangunan dan keberlanjutan yang berpusat pada persaudaraan dan perjanjian antara manusia dan lingkungan. (16).

Dengan berinvestasi dalam pendidikan dan pelatihan generasi muda, kita dapat membantu mereka – melalui program pembinaan yang terfokus – untuk mengambil tempat yang layak dalam pasar tenaga kerja. (17)

4. Menciptakan dan memastikan tenaga kerja yang  membangun perdamaian

Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat diperlukan dalam membangun dan menjaga perdamaian.

Itu adalah ekspresi diri kita sendiri dan sumbangan kita, tetapi juga komitmen, investasi diri, dan kerja sama kita  dengan orang lain, karena kita selalu bekerja dengan atau untuk seseorang.

Dipandang dari perspektif sosial yang jelas ini, tempat kerja memungkinkan kita untuk belajar agar sumbangan kita terarah pada dunia kita; dunia yang lebih layak huni dan indah.

Pandemi Covid-19 telah berdampak negatif pada pasar tenaga kerja, yang sebelumnya sudah menghadapi banyak tantangan.

Ilustrasi – Penguburuan jenazah sakit Covid-19 oleh aktivis kerasulan awam dari Paroki Herkulanus Depok oleh pasutri Thomas Suhardjono dan Monika. (Dok. Thomas & Monika)

Jutaan kegiatan ekonomi dan produksi  telah gagal; pekerja jangka pendek semakin rentan; banyak dari mereka yang menyediakan layanan penting memiliki profil publik dan politik yang lebih rendah; dan dalam banyak kasus, pengajaran jarak jauh menyebabkan defisit dalam pembelajaran dan keterlambatan dalam menyelesaikan program studi.

Selain itu, kaum muda yang memasuki pasar kerja dan orang dewasa yang baru saja menganggur saat ini menghadapi prospek yang suram.

Secara khusus, dampak krisis terhadap perekonomian informal, yang seringkali melibatkan pekerja migran betul-betul menghancurkan. Banyak dari yang terakhir ini bahkan tidak diakui oleh undang-undang nasional; seolah-olah mereka tidak ada.

Mereka dan keluarganya hidup dalam kondisi yang sangat genting, dimangsa berbagai bentuk perbudakan dan tidak ada sistem kesejahteraan untuk melindungi mereka.

Saat ini hanya sepertiga penduduk dunia usia kerja yang menikmati sistem perlindungan sosial, atau hanya mendapat manfaat darinya secara terbatas.

Kekerasan dan kejahatan terorganisir semakin meningkat di banyak negara, mengganggu kebebasan dan martabat rakyat, meracuni ekonomi dan menghambat pembangunan kebaikan bersama.

Satu-satunya jawaban untuk ini adalah perluasan kesempatan kerja yang bermartabat.

Buruh, pada kenyataannya, adalah fondasi untuk membangun keadilan dan solidaritas di setiap komunitas.

Untuk alasan ini, tujuan kita seharusnya bukan “agar kemajuan teknologi semakin menggantikan pekerjaan manusia, karena ini akan merugikan umat manusia. Bekerja adalah kebutuhan, bagian dari makna hidup di bumi ini, jalan menuju pertumbuhan, perkembangan manusia dan pemenuhan pribadi” (18).

Kita perlu menggabungkan ide dan upaya kita untuk menciptakan solusi dan kondisi yang dapat memberikan kesempatan kepada semua orang dalam usia kerja, melalui pekerjaan mereka, untuk berkontribusi pada kehidupan keluarga mereka dan masyarakat secara keseluruhan.

Hal ini lebih mendesak dari sebelumnya untuk di seluruh dunia kita mempromosikan kondisi kerja yang layak dan bermartabat, yang berorientasi pada kebaikan bersama dan untuk menjaga ciptaan.

Kebebasan untuk adanya prakarsa kewirausahaan perlu dipastikan dan didukung; pada saat yang sama, harus dilakukan upaya untuk mendorong rasa tanggung awab sosial yang diperbarui, sehingga keuntungan tidak menjadi satu-satunya kriteria pemandu.

Mengingat hal ini, ada kebutuhan untuk mempromosikan, menyambut, dan mendukung inisiatif yang, di semua tingkatan, mendesak perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia pekerja, meningkatkan kesadaran tidak hanya pada bagian dari institusi, tetapi juga di antara konsumen, masyarakat sipil dan entitas wirausaha.

Sebagai yang terakhir menjadi semakin sadar akan peran mereka dalam masyarakat, semakin mereka akan menjadi tempat dimana harkat dan martabat manusia dihormati. Dengan cara ini, mereka akan berkontribusi untuk membangun perdamaian.

Di sini, politik dipanggil untuk berperan aktif dengan mempromosikan keseimbangan yang adil antara kebebasan ekonomi dan  keadilan sosial.

Semua yang bekerja di bidang ini, mulai dari pekerja dan pengusaha Katolik, dapat menemukan pedoman yang meyakinkan di dalam ajaran sosial Gereja.

Saudara dan saudari yang terkasih, pada saat kita berupaya menggabungkan upaya kita untuk keluar dari pandemi, saya memperbarui terimakasih saya.

Ilustrasi: Pergi dalam keadaan hidup, pulang dalam kondisi sudah menjadi jenazah. Inilah kegiatan Sr. Laurentina SDP di Kupang, NTT: mengurus jenazah pekerja mirgran Indonesia hingga sampai di tangan keluarga di tempat tinggal asalnya. (Ist)
  • Kepada semua orang yang terus bekerja dengan kemurahan hati dan tanggungjawab di bidang pendidikan,keselamatan dan perlindungan hak, dalam menyediakan layanan medis perawatan, dalam memfasilitasi pertemuan antara anggota keluarga dan orang sakit, dan dalam memberi dukungan ekonomi kepada yang membutuhkan dan mereka yang kehilangan pekerjaan.

Saya terus mengingat para korban dan keluarga mereka di dalam doa saya:

  • Kepada para pemimpin pemerintahan dan semua yang bertanggungjawab atas tanggungjawab politik dan sosial;
  • Kepada para imam dan pekerja pastoral;
  • Kepada semua lelaki dan perempuan yang berkehendak baik;

Saya mengajukan seruan ini: marilah kita berjalan bersama dengan keberanian dan kreativitas di jalan dialog antargenerasi, pendidikan, dan pekerjaan.

Semoga semakin banyak lelaki dan perempuan yang setiap hari berjuang, dengan kerendahan hati yang tenang dan keberanian, untuk menjadi seniman perdamaian.

Dan semoga mereka selalu diilhami dan dilimpahi  engan berkah dari Allah sumber perdamaian.

Dari Vatikan, 8 Desember 2021

FRANSISKUS

PS:

  1. Ensiklik Populorum Progressio (26 Maret 1967), 76 dan berikutnya.
  2. Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), 49.
  3. Ensiklik Fratelli Tutti (3 Okctober 2020), 231.
  4. Ibid., 218.
  5. Ibid., 199.
  6. Ibid., 179.
  7. Cf. ibid., 180.
  8. Seruan Apostolik pasca sinode Christus Vivit (25 Marcet 2019), 199.
  9. Ensiklik Laudato Si’, 159.
  10. Cf. ibid., 163; 202.
  11. Cf. ibid., 139.
  12. Cf. Pesan kepada peserta Forum Perdamaian Paris keempat, 11-13 November 2021.
  13. Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), 231; Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia: Sebuah Budaya Kepedulian sebagai Sebuah Lorong menuju Perdamaian (8 Desember 2020).
  14. Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), 199.
  15. Cf. Pesan video untuk Akibat Global pada Pendidikan: Bersama-sama Memandang Keluar (15 Oktober 2020).
  16. Cf. Pesan Video untuk Pertemuan Virtual Tingkat Tinggi (13 Desember 2020).
  17. Cf. Johannes Paulus II, Ensiklik Laborem Exercens (14 September 1981).
  18. Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), 128.

© Dicasteri Komunikasi – Libreria Editrice Vaticana.

Diterjemahkan oleh Romo Ismartono SJ.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here