Pijar Vatikan: Arswendo, Pewarta Iman yang Tak Pernah Lelah, Puisi Sosok Pastor Dambaan Umat (31F)

0
792 views
Foto kenangan lama dengan almarhum Arswendo. (Dok. A. Kunarwoko)

DI manapun, Arswendo tidak pernah lelah mewarta. Karena dia koki yang baik dalam meracik kehidupan ini, maka bukan hanya tulisan-tulisannya yang berbicara.

Ceramah-ceramah yang ia berikan di pelbagai kesempatan dan pelbagai golongan juga sangat menarik. Biasanya penulis yang baik belum tentu menjadi pembicara yang baik. Juga sebaliknya.

Tetapi Arswendo berbeda. 

Ia penulis sekaligus pembicara yang baik. Apakah dia juga “orang kantor” yang baik. Saya tidak tahu. Biasanya wartawan itu berjiwa seniman. Dan jarang direktur perusahaan atau karyawan kantor itu seniman.

Sesudah ke luar dari lapas Cipinang, Mbak Agnes, isteri Mas Wendo, dan sahabatnya Bu Michael, sempat mengajak saya menengok kantor Mas Wendo yang baru di kawasan Gatot Subroto.

Di atap kantor megah itu saya lihat ada logo SCTV-nya. Mas Wendo cerita, dia dinasehati Pak Jacob untuk bekerja di tempat dan bersama orang yang lebih bisa melindunginya, dibanding Kompas Grup yang menurut Pak Jakob ternyata kurang bisa melindungi Mas Wendo ketika ada Kasus Monitor.

Jadilah dia berkantor di gedung dan perusahaan Pak Sudwikatmono. Waktu itu Mas Wendo cerita sedang mempersiapkan tabloid Dangdut. Saya lihat di kantornya yang megah dan luas, terpajang mobil mewah tunggangannya.

Kendati saya terus terang senang dengan karir Mas Wendo yang tetap menanjak walau habis ke luar dari penjara, namun Arswendo tahu, saya selalu dalam posisi lebih menghargai kualitas pribadi dan kualitas iman, daripada pernik-pernik aksesories yang menyertainya.

Walau berkantor di gedung mewah, saya tetap menyaksikan seorang Arswendo yang tidak pernah terkungkung. Ia tetap bisa “out of the box”. Ketika ia diminta mudika Bintaro memberi ceramah tentang “Kiat sukses mencari pekerjaan” misalnya, ia menerimanya dengan antusias. Ia tidak minta honor bicara sama sekali.

Mas Wendo mengajak saya ikut bicara pada seminar itu. Siang itu aula Paroki Bintaro yang baru di Pondok Aren penuh sesak. Saya lihat setidaknya ada sekitar 500 orang muda memadati ceramahnya Arswendo.

Mas Eduard Depari dari RCTI, yang kebetulan juga menjadi umat Paroki Bintaro, menjadi pembicara juga. Kapan itu Mas Wendo cerita, diminta Romo Paroki Sragen menjadi pengkotbah di semua misa di Paroki itu.

“Tahu saya mau kotbah, itu gereja selalu penuh,” katanya bangga. “Jangan-jangan orang lebih mendengarkan kotbah Arswendo daripada kotbah Romonya.”

Saya bilang: “Tentu saja, Umat sekarang kan makin nyelebritis, termasuk suka ngefans dengan para selebritis kayak sampeyan.”

Karena orang sudah mengenal Arswendo sebagai selebriti, maka setiap kami mengadakan acara yang pembicaranya Arswendo, tiket biasanya cepat terjual habis. Justru karena Arswendo pernah ‘retret’ di LP Cipinang, ia semakin diminta berkotbah di mana-mana. Kalau yang mengundang kalangan gereja, ya yang terjadi biasanya “kesaksian hidup”.

Puisi dambaan sosok imam

Pada tanggal 20 Juni 2010, Arswendo juga diundang “berkotbah” di gereja Santo Fransikus Assisi Tebet. Mas Wendo mempersiapkan sebuah puisi pada kesempatan misa dan rekoleksi umat itu. Peserta yang begitu banyak, berebut ingin menyimpan dan menyebarkan puisi tentang Romo yang sangat mengena itu.

Sampai hari ini, puisi Mas Wendo tentang Romo yang ia dambakan itu, menjadi sangat fenomenal dan juga sangat populer bahkan di kalangan para imam dan para Uskup juga.

Begini puisi Arswendo yang ia bacakan di Gereja Assisi Tebet itu :

Aku Mendamba Romo Yang…

Aku mendamba Romo yang penuh kasih, bukan yang pilih kasih.

Aku mendamba Romo yang bajunya kadang kekecilan, kadang kegedean

Itu berarti pemberian umat sebagai tanda cinta, tanda hormat.

Aku mendamba Romo, yang galak tapi sumanak.

Kaku pada dogma, tapi lucu kala canda ;

yang lebih sering memegang rosario, dibandingkan BB warna hijau.

Aku mendamba Romo yang lebih banyak mendengar, dibandingkan berujar.

Aku mendamba Romo yang menampung air mataku, tanpa ikut menangisi,

yang mengubah putus asa menjadi harapan

yang mengajarkan ritual sekaligus spiritual.

Duuuuh, damba dan inginku banyak, banyak sekali !

Tapi aku percaya tetap terpenuhi, karena Romoku mau dan mampu selalu memberi.

Inilah damba dan doaku, Romoku !

Eee, Masih ada satu lagi,

sekali mengenakan jubah, jangan berubah.

Jangan pernah mengubah, walau godaan mewabah.

Bahkan sampai ada laut terbelah, kenakan terus jubahmu.

Itulah khotbah yang hidup, agar aku bisa menjamah

seperti perempuan Samaria pada Yesus Allah Tuhanku.

Aku mendamba Romo yang menatapku kalem,

bersuara adem : “Berkah Dalem.”

Singkatnya, ada kurun waktu saya menyaksikan seorang Arswendo menjadi Paulus Arswendo, yang tidak mengenal lelah mewartakan Tuhan dan kebaikanNya.

Arswendo kini sudah menjadi kotbah yang hidup, “injil” yang hidup, seperti Romo yang ia dambakan. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here