Para Bapa Konsili ingin mengajak kita untuk peka menangkap, memahami, tekun menjawab, “tanda-tanda zaman” itu dalam hidup kita senyatanya setiap hari, dimana kita tinggal, dimana kita masih berjuang bersama rekan-rekan kita. Para pengikut Kristus tidak menolak dan mengelak akan adanya kiamat di masa depan (entah kapan). Cuma, cara menyikapinya yang mesti berbeda; mesti memakai cara Kristus memandang.
50 tahun lalu, ketika Konsili Vatikan II dimulai, istilah internet, e-mail, BBM, nge-hack atau meretas, narkoba, KKN dan semacamnya belum ada. Para Bapak Konsili, 50 tahun lalu lebih terbiasa hidup dengan kenyataan yang judul aktualnya waktu itu bernama: bahaya komunisme, perang nuklir, penindasan, ketidakadilan, kesenjangan kaya miskin, pertentangan dunia “pertama” dan dunia “ketiga” dsb.
Seingat saya, istilah KKN yang artinya korupsi, kolusi dan nepotisme itu baru populer pada tahun 1998 menjelang lengsernya Pak Harto. Zaman kuliah di Yogya dulu, saya mengerti KKN itu sebagai Kuliah Kerja Nyata. Sekarang ini, istilah “tanda-tanda zaman” (TTZ) sudah nyaris tak terdengar. Hanya Majalah Basis yang masih memakai istilah TTZ, mewarisi rubrik Romo Dick Hartoko yang monumental itu. Di mimbar kotbah, hampir tidak ada Romo yang berkotbah tentang topik ini.
Apakah dengan hilangnya istilah tanda-tanda zaman (TTZ) , tergeser oleh istilah-istilah dan kenyataan dunia post modern seperti internet, KKN dan semacamnya itu berarti TTZ sekarang tidak berarti lagi ? Saya rasa jawabnya : tidak!
Secara kasat mata, zaman ini masih menunjukkan “tanda-tanda”-nya bahwa masalah besar itu masih ada. Yang namanya kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, kekerasan, perang, tetap hadir selama kita hidup di dunia ini. Masalah-masalah besar itu masih “berbicara” jelas kepada kita, masih menunjukkan tanda-tandanya! Kita semua terkadang menjadi muak dan geram pada begitu banyak masalah yang ada di sekitar kita.
Media cetak dan elektronik tidak henti-hentinya menayangkan tindak korupsi, kesewang-wenangan, salah urus, ketidakadilan pengadilan, pembunuhan, perkosaan (bahkan pada anak-anak), yang terjerat narkoba dan litani-litani kisah mengenaskan yang lainnya. Bahkan saking banyaknya masalah yang kita alami dalam hidup ini, tiba-tiba kita menjadi kebal, bebal, nglokro, acuh tak acuh dan putus asa, dengan keadaan dan kenyataan yang seolah tak bisa kita atasi.
Kembali pada cerita turis yang suka “saldi” di atas, saya ingat peristiwa kecil ironisnya ajakan “pendalaman iman” dengan kenyataan yang diharapkan peserta. Bersama Romo Purnama MSF, yang sekarang menjadi Romo Provinsial MSF, saya pernah mengantar serombongan peziarah dari Indonesia. Di Colloseum, yang letaknya tidak jauh dari asrama kami, Romo Pur dengan begitu semangat menerangkan hebatnya kemartiran orang-orang Kristen pertama.
Colloseum inilah saksi kehebatan iman para martir pengikut Kristus itu. Mereka mau mati demi imannya kendati tubuhnya disobek-sobek harimau buas dan menjadi tertawaan Kaisar Nero dan para penonton. Kalau saya amati, teman saya Romo Pur ini selalu melibatkan seluruh emosinya kalau berkisah tentang Colloseum yang menjadi simbol kota Roma ini. Kalau para peziarah sudah mulai bengong dan terpesona, biasanya teman saya itu lalu menutup: apa ada yang masih ingin ditanyakan?
Siang itu, saya lihat ada seorang ibu yang memakai payung (karena kepanasan) yang menunjukkan jari dan bertanya: “Romo, kalau mau beli tas di mana ya ?” Wajah Romo Pur langsung berubah. Rombongan langsung diajak naik bis meneruskan acara ziarah dengan acara belanja-belanja.
Nasib Konsili Vatikan II, jangan-jangan sama seperti ironi rombongan ziarah di Colloseum itu. Maunya mengajak umat semakin memahami hebatnya iman kita, semakin mencintai Tuhan dan GerejaNya, tetapi nyatanya yang kita butuhkan adalah “tas”, barang dan minat sehari-hari kita. Dalam peziarahan hidup ini kita, kita tidak mudah menangkap TTZ dengan kacamata gereja. TTZ yang ada adalah yang sudah dimodifikasi dengan cara pandang dan kenyataan kita. Maka tidak mengherankan, kalau jawaban yang muncul menjadi tidak memuaskan.
Gema dramatis
Gaudium et Spes no.4 mengatakan bahwa sifat TTZ itu sering “dramatis”. Tragedi Trisakti dan Semanggi pada tahun 1998 bisa disebut tanda-tanda zaman yang “dramatis” bagi reformasi dan perubahan begitu besar di negeri kita. Melubernya warga yang membentengi gedung KPK, ketika para penyidiknya “terancam” merupakan kejadian yang dramatis sekaligus simbolis, karena mengungkapkan kerinduan rakyat akan terwujudnya tata-tata kelola pemerintahan yang bersih dan adil.
Seorang pemuda Tunisia yang putus asa karena kesulitan ekonomi, membakar dirinya di sebuah lapangan umum sebagai aksi protes kepada pemerintah yang dituduhnya tuli dan buta atas penderitaan rakyat. Satu kejadian kecil ini memiliki sifat dramatis dan simbolis dan menggerakkan gelombang demokratisasi di negara-negara Arab.
Setelah 50 tahun, apakah gema TTZ yang “dramatis” masih bisa kita tangkap maknanya ? Atau lebih penting lagi: bisakah kita laksanakan untuk diri kita, keluarga kita dan lingkungan di sekitar kita? Saya terkesan dengan seorang teman yang dalam diskusi di milis SMA kami menulis begini: “Setiap pribadi bangsa negeri ini adalah “presiden”, leader dan manajer bagi diri sendiri dan lingkungan terdekatnya.
Presiden RI bertugas menjamin kedaulatan masing-masing “presiden” itu. Yang belum tumbuh ditumbuhkan, yang belum kuat dikuatkan, yang sudah kuat ditingkatkan. Presiden RI menciptakan lingkungan, struktur, suprastruktur dan infrastruktur kondusif untuk terwujudnya jiwa-jiwa kepemimpinan dan kecakapan manajerial bagi “presiden-presiden” itu. Presiden RI bertugas mengawal dan menjadi saksi kiprahnya “presiden-presiden sejati itu.”
Ini cocok dengan pendapat alm. Romo Mangunwijaya Pr: “Kita memang keturunan genetis bangsa besar, tetapi tidak mewarisi ideologi mereka.” Jika mau menyulap kubangan kerbau menjadi Tamansari, jangan menghindarinya, jangan mencacinya, ceburkan dirimu dalam kubangan itu dan lakukan sesuatu hingga suatu ketika telah menjadi taman indah tanpa membunuh kerbaunya.”
Piwulang ini yang saya ajarkan pada anak-anakku sebagai pegangan hidup berbangsa, bernegara dan mencitai tanah air!”
Saya rasa, teman kami ini sudah menangkap dan memahami “tanda-tanda zaman” yang dimaksudkan Konsili Vatikan II.
Photo credit: Ilustrasi (Ist)
Artikel terkait:
Tanda 2 zaman (edan)di Indonesia:
Gereja dan mesjid penuh sesak ; “Tuhan,Tuhan” riuh berkumandang , namun manusia sibuk dengan kehendaknya sendiri , acuh dengan kehendak Tuhan . Di Eropa ,masuk Reformasi ke II, Gerejanya Kuno dan Megah namun sepi , hanya ramai dengan wisatawan Indonesia.