Pijar Vatikan II di Tahun Iman: Romo Kanjeng dan Teologi Celana (4)

0
2,273 views
Romo Kandjeng Mgr. Albertus Soegijapranata SJ.

ENTAH kapan waktunya, sekali waktu  itu saya mengunduh video tentang Konsili Vatikan II dari Youtube. Salah satu yang menarik adalah video bikinan televisi Italia Raitre. Video yang di Youtube dibagi dalam 8 episode itu dan diberi judul Grande Storia (Sejarah besar). 

Beberapa bagian dalam video ini, sudah menjadi “tayangan klasik” dan dicuplik dimana-mana kalau ada yang mau berkisah dalam video tentang Konsili agung itu. Rumah produksi Luce yang simbolnya burung garuda seperti lambang RCTI itu menggandeng Raitre memopulerkan kisah Konsili Vatikan II: Grande Storia ini. 

Mgr. Albertus Soegijapranata di Konsili Vatikan II

Dalam tayangan ini, saya melihat sekilas, sosok seperti Mgr.Soegijapranata.  Pada video itu, Romo Kanjeng Soegija nampak terekam secara tidak sengaja ketika beliau sedang berjalan di lapangan Santo Petrus, mau masuk ruang Konsili.

 Memang, Mgr.Soegija ikut menghadiri Muktamar Agung Konsili Vatikan II itu. 

Konon, waktu itu beliau datang ke Italia dengan naik kapal laut. Di tengah kesibukan mengikuti sidang-sidang Konsili, Mgr.Soegija wafat. Romo Kanjeng Soegija meninggal dunia di Steyl, Venlo, Negeri Belanda, pada tanggal 22 Juli 1963 dalam usia 66 tahun. 

Mgr.Soegija dari Roma menyempatkan diri datang ke Belanda, karena ingin berobat dan mengunjungi beberapa keluarga Katolik Belanda yang memiliki putera atau puteri sebagai misionaris di Indonesia. Zaman itu, bisa dikatakan setiap keluarga katolik Belanda, pasti mempunyai anak atau saudara yang menjadi misionaris, entah di Asia, di Afrika atau Amerika Latin. 

Romo Kanjeng Soegija ingin mengucapkan terima kasih kepada keluarga-keluarga katolik di Belanda itu, karena keluarga-keluarga itu memberikan putra-putrinya menjadi misionaris, sebagai imam, bruder atau suster di Indonesia.

Film “Soegija”

Tentang Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Uskup Agung pribumi pertama di Indonesia dan Pahlawan Nasional ini, kita beruntung bisa mengenalnya lebih baik dan lebih dalam, melalui film Soegija yang bisa dibilang sukses. Film Soegija yang inspiratif, kita sepakati telah cukup baik mengangkat hidup dan karya Mgr. Soegija yang hebat itu. Beliau benar-benar pahlawan. 

Warisan nasionalismenya  “100% Katolik 100% Indonesia” akan menjadi jargon abadi umat Katolik di bumi Indonesia. Romo Kanjeng Soegija akan terus dikenang sebagai salah satu “bapak bangsa” yang meletakkan dasar Negara Kersatuan Indonesia yang bebas dari sekat-sekat  agama, kebudayaan, kultur, warna kulit, etnis, dan bahasa. 

Ketika film Soegija ditayangkan, bapak saya yang sudah sakit-sakitan ingin menonton. Sudah seminggu penuh bapak mempersiapkan diri dengan makan dan istirahat cukup, agar bisa nonton film tentang idolanya itu. Apa mau dikata, ketika adik saya mau menjemput bapak di Muntilan untuk nonton di Yogya, bapak sakit lagi. 

Bapak kecewa sekali batal nonton film Soegija

Saya tahu banyak kenangan indah Bapak saya tentang Romo Kanjeng Soegija. Yang paling dia kagumi dari Romo Kanjeng adalah  “canthas”-nya. 

Canthas itu kurang lebih kombinasi gaya bicara dan penampilan yang diiringi keberanian, kebijakan dan mutu hidup. Sebagai aktivis gereja, beberapa kali bapak memang bertemu dan ngobrol dengan Mgr. Soegija, lebih-lebih kalau Romo Kanjeng sedang mengunjungi Paroki Muntilan. 

Kenangan akan Mgr. Soegijapranata

Sementara kalau bicara tentang Mgr.Soegija, ibu saya selalu mengulang-ulang cerita “meeting”-nya dengan Romo Kanjeng Soegija di Aula Paroki Muntilan. Sekitar tahun 1961 ada pertemuan Wanita Katolik di Muntilan dengan Uskup Semarang Soegija ini. 

Pada kesempatan tanya jawab, ibu saya bertanya kepada Mgr.Soegija “Romo Kanjeng, kados pundi kita sami sageda mangertosi para sedherek ingkang mboten katolik, ingkang asring nggunem bab agami utawi tata-cara pasamuan suci kita?” 

(Bapak Uskup, bagaimana kita bisa memahami saudara-saudara kita yang tidak Katolik, yang sering berkomentar kurang baik tentang agama atau gereja kita?”. 

Mgr.Soegija bertanya: “Upamane?”

Seorang ibu lain nyelethuk: “Punika lho, upaminipun: wong Katulik mangan celeng, suk nek mati ditutul terus diulik-ulik wong nyembah Gustine sing dipenthang. Gusti kok mati. Matine ngenes meneh!”  

(Itu lho misalnya : orang Katolik makan babi rusa ; kalau mati di neraka nanti dicocol-cocol dan dibolak-balik (kayak sate) karena menyembah Tuhan yang disalib. Tuhan kok mati. Matinya mengenaskan lagi! 

Terhadap pertanyaan itu, ibu saya cerita kalau Romo Kanjeng menjawab begini: 

Bu Kandar, anakmu pira? Anggep wae ana sing wis nang SMA. Ana sing nang SMP. Ana sing isih nang SD. Nek penjenengan arep nggawe kathok nggo anak-anakmu mau, apo yo ambane bahan kathoke anakmu sing SMA yo padha karo anakmu sing isih neng SD? Rak ora ta?! Semono uga wong-wong sing ora katulik kuwi! Anggep wae kathok lan sekolahe durung padha karo awake dhewe!” 

(Bu Kandar (nama ibu kandung saya), anakmu berapa? Anggap saja ada yang sudah di SMA, ada yang di SMP, ada yang masih SD. Kalau kamu mau bikin celana untuk anak-anak kamu, apa kain untuk anak kamu yang SMA sama lebarnya dengan celana untuk anak kamu yang masih SD? Kan tidak? Demikian juga orang-orang yang tidak Katolik itu, Anggap saja celana dan sekolahnya belum sama dengan kita!). 

Mendengar tanggapan Mgr.Soegija ini, ibu saya bergumam: “Romo Kanjeng ini memang lucu. Tanya beneran tentang Gereja, e dijawab “kathok” (celana)! 

Tentu saja, ibu saya agak salah. 

Teologi ‘kathok’

Jawaban “kathok” itu bukan jawaban sembarangan dan main-main. Teologi celana yang dipakai Romo Kanjeng Soegija dalam menjawab pertanyaan ibu saya itu, adalah teologi yang sangat serius. 

Dialog ibu-ibu WK di paroki saya itu dengan Romo Kanjeng Soegijo adalah salah satu diskusi topik ngetop sepanjang sejarah Gereja kita: “extra ecclesiam nulla salus”! 

Saya menduga, ibu saya menanyakan hal itu kepada Uskupnya, karena umat Katolik Muntilan waktu itu menyaksikan munculnya gerakan komunis dan kebatinan di kota kami yang sangat kuat. Banyak orang tetangga kami dan tetangga kampung, mulai tertarik dengan gerakan mesianis Jawa Romo Pransuh, yang pusatnya di kampung sebelah. 

Walau pesantren NU sangat kuat mengakar di kecamatan kami, tetapi beberapa orang lain  yang tinggal di dekat Gereja waktu itu cukup agresif dan suka mengajak debat. 

Mengenang Romo Kanjeng Soegija dan teologi “kathok” alias teologi celananya, mengajak kita untuk merenung: apakah kita juga memiliki “kecerdasan iman” seperti dimiliki Mgr.Soegija?

Dengan gaya tutur dan cara pikirnya yang khas, Mgr. Soegija menjawab dengan baik pertanyaan besar: “extra ecclesiam nulla salus” dengan teologi celana. 

Katekese yang cerdas! 

Dengan kualitas pribadi dan kualitas iman seperti yang dimiliki Mgr.Soegija, pantas saja Konsili Vatikan II menghasilkan dokumen dan buah-buah Roh yang hebat. Waktu saya membantu Romo Gregorius Budi Subanar SJ, membaca dan menyusun format tesis doktoratnya di Universitas Gregoriana tentang Mgr. Soegija, saya lupa bertanya dan mengingat apa ada catatan intervensi Mgr.Soegija pada sidang-sidang Konsili Vatikan II itu. 

Pasti ada!

Cuma tentang apa, kapan dan bagaimana, saya perlu mencari rujukan lagi. Yang pasti, pada Tahun Iman ini, kita diajak untuk cerdas menghadirkan Kristus dalam hidup dan pewartaan kita. 

Saya rasa itu salah satu pesan utama Konsili Vatikan II.

Artikel terkait:  

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here