Pijar Vatikan II – In Memoriam Romo Antonius Soetanto SJ: Katekese Menyanyi dan Katekese Antar Jemput Romo Tanto (41B)

0
261 views
RIP Romo Antonius Soetanto SJ (Ist)

ALMARHUM Romo Antonius “Tanto” Soetanto SJ lahir di Semarang dari orang tua Bapak Petrus Joseph Soenardi Poerwasoedarmo dan Ibu Engelbertha Soelaidah Poerwasoedarma. Walau lahir di Semarang, di mana-mana beliau selalu mengaku sebagai orang Muntilan.

“Saya cuma numpang lahir saja di Semarang” kata Romo Tanto  kepada kami para Muntilaners dalam pelbagai kesempatan.

Romo Tanto memang menghabiskan masa kecilnya di Muntilan. Ia sekolah di SD Susteran Fransiskanes “Mater Dei” dari tahun 1945 sampai tahun 1952.

Waktu itu, Mater Dei menerima murid yang tidak hanya perempuan saja. Teman sebangku Romo Tanto adalah Bu Tanti, puteri Pak Soekidjo – tokoh Katolik Muntilan yang tinggal di Huize Theresia Jl. Kartini.

“Waktu sama-sama sekolah di SD Mater Dei, saya dan Mas Romo Tanto ditempatkan sebangku. Bangku kami jadi terkenal sebagai bangkunya Tanto-Tanti,” kenang Bu Tanti tentang sahabat kecilnya almarhum Mas Romo Tanto.

Saya sama sekali tidak mengenal Romo Tanto, ketika beliau dan keluarganya masih di Muntilan. Bapak dan ibu saya sajalah yang masih bisa berkenalan dan berteman baik dengan keluarga besar Romo Tanto.

Ketika saya lulus SD, keluarga Romo Tanto sudah tidak lagi tinggal di Kebonsari dan Jagalan. Rumah Pak Poerwa di Kebonsari sudah ditempati keluarga lain, yaitu pasangan guru SMP Kanisius Muntilan: Pak T. Sartiman dan Ibu C. Soendari.

Ketika saya masuk Seminari Menengah Mertoyudan, Romo Tanto sedang “melanglang buana” menekuni pendidikan dan formasinya sebagai Jesuit.

Saya justru bertemu intensif dengan Romo Tanto ketika di Jakarta. Kami sama-sama mendapat tugas sebagai pastor pembantu. Kami sama-sama menjalani penugasan pertama di paroki di daerah Jakarta Utara.

Paroki Tanjung Priok adalah penugasan paroki pertama untuk Romo Tanto. Paroki Cilincing adalah penugasan paroki pertama saya.

Kami sama-sama mendapat keistimewaan bertugas di paroki yang oleh kebanyakan orang dicap sebagai paroki paling miskin dan tinggal di pastoran yang paling tidak layak huni.

Bau got tercium dari mana-mana. Air bersih mesti kami beli dari tukang air dorongan. Nyamuknya ganas-ganas dan bukan main banyaknya.

Kedua paroki itu tentu saja kalah nyaman dibanding dengan Paroki Muntilan – kebanggaan Romo Tanto dan kebanggaan kami.

Justru karena sama-sama “bernasib” menjadi pastor pembantu alias pembantu pastor di daerah yang “istimewa” demikian, saya jadi merasa sangat dekat dengan Romo Tanto.

Kedekatan dengan Romo Tanto, ketika kami sama-sama bekerja di Jakarta Utara itu saya rasakan sebagai berkah tersendiri dalam hidup saya.

Ketika tahun 1984 Mgr.Leo Soekoto SJ menugaskan saya bekerja di Paroki Salib Suci Cilincing itu, Romo Tanto sudah beberapa tahun menjadi Pastor Rekan di Paroki Tanjung Priok. Sebagai tetangga paroki, kami jadi sering ketemu.

Sebulan sekali, tiap Rabu ketiga, kami rutin ketemu bergiliran.

Setiap ketemu, Romo FX Wartadi CM, Pastor Kepala Paroki saya di Cilincing biasanya langsung ngobrol serius dengan Romo Albrecht Karim Arbi SJ, Pastor Lepala Paroki Tanjung Priok.

Sudah bisa dipastikan, topik utama pembicaraan Romo Albrecht SJ dan Romo Wartadi CM cuma satu: bagaimana bisa membantu umat yang hidupnya susah, uangnya sedikit, lingkungannya keras, rezekinya seret.

Kalau ada Romo Vestus, imam Maryknoll dari Amerika, maka obrolan menjadi lebih seru. Romo Vestus, imam “bule” Amerika yang bahasa Indonesianya masih sepatah-sepatah itu, tinggal di Jl. Walang, tidak jauh dari pastoran kami di Jl. Tugu.

Rumah Maryknoll di kawasan Plumpang itu ditempati Romo Vestus untuk melayani para pelaut.

Saya ingat, saya dan Romo Tanto pernah diajak Romo Vestus misa Natal di rumah Maryknoll itu. Tentu sekalian jaga-jaga kalau ada pelaut yang mau mengaku dosa.

Malam itu mestinya misa dimulai pukul 10 malam. Akhirnya misa baru mulai lewat tengah malam, bahkan menjelang pukul 01 dinihari.

Dengan santainya, Romo Vestus bilang: “Teman-teman kita pelaut rupanya sedang bergembira di Kramat Tunggak. Jadi kita tunggu saja. Mari kita pun bergembira menunggu mereka dengan minum bir”.

Di rumah Maryknoll itulah untuk pertama kali dalam hidup, saya minum bir. Untuk teman-teman yang belum tahu, zaman itu Kramat Tunggak adalah komplek WTS atau PSK yang besar sekali di Jakarta Utara.

Konon, Kramat Tunggak mungkin termasuk kawasan “remang-remang” yang terbesar di Asia Tenggara. Gereja Salib Suci Pastoran Cilincing hanya beberapa meter letaknya dari tembok Kramat Tunggak.

Kalau para pastor kepala bicara tentang hal-hal “berat”, saya dan Romo Tanto biasanya hanya menjadi pendengar yang baik.

Saya kagum, dua imam yang beda ordo dan konggregasi ini kalau sudah bicara mengenai kegiatan membantu umat, sungguh bisa habis-habisan.

Romo Albrecht seorang Jesuit. Romo Wartadi, imam Konggregasi CM.

Di Paroki Tanjung Priok, Romo Albrecht adalah “bapak” Koperasi Kredit Union.

Di Paroki Cilincing, Romo Wartadi CM adalah animator kegiatan Lumba-Lumba, Magdalena Grup, dan Atma Brata.

  • Lumba-Lumba mengurus pendidikan, kesehatan dan peningkatan gizi di pemukiman nelayan.
  • Magdalena Group mendampingi “teman-teman” PSK agar tidak berlama-lama di situ.
  • Atma Brata kerjasama dengan Foster Parents Plan membantu beasiswa sekolah anak-anak miskin.

Karena kebijakan dan kegiatan membantu orang miskin sudah dipikirkan pastor kepala, apakah Romo Tanto lalu diam saja?

Tentu tidak.

Romo Tanto punya style tersendiri dalam menjalankan tugas penggembalaannya.

Nek onten pendalaman iman umat, rekoleksi muda-mudi, katekis, kula asring-asring nyuwun tulung njenengan nggih. Urusan cangkem ngoten niku kula ora pati énjoh” (Kalau ada pendalaman iman umat, rekoleksi muda-mudi, katekis, saya akan sering minta tolong anda ya. Urusan mulut seperti itu saya kurang bisa),” katanya pada suatu hari kepada saya.

Karena permintaan Romo Tanto itu, maka katekis, muda-mudi dan misdinar paroki Paroki Tanjung Priok dan Paroki Cilincing jadi sering mengadakan kegiatan bersama.

Kami jadi sering saling mengunjungi. Romo Tanto juga tiba-tiba sering datang ke pastoran kami. Sebelum masuk pastoran, Romo Tanto kadang ngobrol dengan Pak Heatubun penjaga gereja.

Pak Heatubun adalah orang Ambon yang setia ini menjadi penjaga gereja dan pastoran sejak Gereja Salib Suci berdiri.

Kata teman-teman mudika, semua “makluk halus” penunggu gereja takut sama Pak Heatubun.

Gereja Salib Suci memang didirikan di atas lahan bekas kuburan Portugis. Banyak beredar cerita “penampakan” yang bikin bulu kuduk berdiri sekitar pastoran dan komplek gereja kami Cilincing.

Anak dan keponakan Pak Heatubun rupanya murid Romo Tanto di grup koor anak-anak Ascensio. Memang paroki kami dan paroki Romo Tanto dipenuhi begitu banyak anak-anak dan remaja yang sungguh berbakat dalam menyanyi.

Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak keturunan saudara-saudari kita dari NTT dan Ambon. Banyak di antara mereka sekolah di Strada Warakas Tanjung Priok dan Strada Dewa Ruci paroki kami Cilincing.

Romo Tanto, jadi sering mampir ke paroki kami sehabis antar jemput anak-anak itu.

“Katekese Menyanyi” dan “Katekese Antar Jemput” anak-anak ini sungguh katekese khas Romo Tanto yang luar biasa.

Ketika dengan rendah hati ia mengakui diri sebagai imam yang tidak pandai “berkata-kata” dan “menggunakan mulut”, Romo Tanto memberi teladan penggembalaan dan contoh pewartaan yang efektif, yaitu menggembala dengan menyanyi dan membangun persahabatan dengan anak-anak. (Berlanjut)

.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here