Pijar Vatikan II: Indahnya Pentas Didi Kempot Diiringi Orkes OMK (36D)

0
1,932 views
Didi Kempot by Ist

MENGAPA orang masih terus saja suka memberi label agama terhadap banyak hal dan banyak perkara, seperti WA teman saya tadi yang menyebut issue jenazah Didi Kempot dipindah dari peti satu  ke peti lainnya?

Romo JB Mangunwijaya dan Pak Said Aqiel Siraj, Ketua PBNU sekarang ini, pernah memberi jawaban yang menarik.

Pada seminar akbar umat Katolik di Istora Senayan, bulan September 1998, Romo Mangun mengatakan bahwa pandangan yang suka membagi apa pun dengan label agama, etnik, ras semacam itu adalah pandangan yang sudah kuno.

VOC yang menjajah negeri kita dulu, juga melakukan politik memecah belah menurut suku, agama, ras.

“Pembagian ini Katolik, ini Protestan, ini Islam, ini Hindu, ini Jawa, ini Tionghoa, ini Jerman, ini Inggris, itu kuno. Itu cara pandang  Abad Pertengahan. Pembagian yang benar sekarang ini adalah: mereka yang “pro Kerajaan Tuhan” dan “Anti Kerajaan Tuhan”. Demikian itu kisahnya,” kata Romo Mangun saat itu.

“Kalau kita masih bertahan pada cara pandang dan cara hidup kuno yang membagi menurut label SARA itu, ya kita pasti cuma akan terus bertengkar ngga ada habis-habisnya. Seperti yang diceritakan Kyai Said Aqiel tadi: Siapa anak Nabi Ibrahim? Yang Katolik bilang Ishak. Yang Islam bilang Ismail. Berdebat berabad-abad nggak ada yang mau ngalah. Satu bilang Ishak yang benar. Lainnya bilang Ismail yang benar, padahal ora wurung yo ra ana sing disembelèh (padahal akhirnya ngga ada yang disembelih),” ujar Romo Mangun.

Sebelum sessi Romo Mangun, Kyai Said Aqiel memang memberikan tauziahnya kepada umat Katolik yang memenuhi Istora Senayan dengan contoh perdebatan yang tak pernah henti tentang Ishak dan Ismail itu.

Pada seminar tersebut, nampak sekali Romo Mangun dan Pak Said Aqiel sama-sama ingin menekankan perlunya membedakan iman dan agama. Tema seminar itu adalah “Teguh Beriman di Tengah Badai”. 

Umat Katolik pada seminar itu ingin berdoa dan menyatakan solidaritasnya bagi para korban kerusuhan Mei 1998.

Umat Katolik pada seminar itu juga ingin menyerukan: stop pada kekerasan dan politisasi SARA.

Menurut Romo Mangun, Pak Said Aqil, Romo Mudji Sutrisno dan Sandyawan Sumardi, para pembicara pada seminar itu, Tragedi Mei 1998 terjadi karena bangsa ini belum sungguh beriman. Masih dalam level beragama saja.

Said Aqiel mengakui, mencari titik temu dalam bidang beriman, apalagi dalam bidang beragama itu sulit bahkan tidak mungkin. Yang mungkin ada adalah “ruang temu”.

Sementara itu, Romo Mangun cerita, pernah ada isu heboh sampai didatangi banyak sekali wartawan. Romo ditanya apa benar sudah ganti keyakinan agama. Istilah sekarang : apa benar, Romo Mangun sudah mualaf.

Romo Mangun balik bertanya kepada para wartawan itu: isunya dari siapa ?

Dijawab: Dari Kyai Hamam, pimpinan Pesantren Pabelan Muntilan.

“O.., kalau dari Kyai Hamam sahabat saya itu pasti benar sekali. Itu pujian yang luar biasa dari Kyai Hamam untuk saya.  Karena Islam itu kan definisinya penyerahan total, pasrah, ngalah, pasrah bongkokan kepada Tuhan Allah. Jadi meskipun saya masih punya kekurangan, namun dalam pasrah bongkokan pada Tuhan Allah saya memang sudah Islam!” kata Romo Mangun.

Para wartawan jadi bingung. Lalu ada yang memberanikan diri bertanya: “Jadi sebenarnya agama Romo Mangun itu apa?”

Dijawab oleh Romo : “O.. agama saya Katolik, cuma iman saya Islam. Lho bisa kan, agamanya Katolik, tapi imannya Islam. Saya senang kok disebut orang Islam.”

 Saya bisa membayangkan wajah wartawan itu setelah mendengar jawaban demikian dari Romo Mangun.

Nasihat mendiang Gus Dur

Nasehat abadi Gus Dur

Tema iman dan agama, tema besar yang tidak akan ada habisnya kalau dibahas, menurut banyak pakar teologi, pada kenyataannya sebenarnya lebih banyak dibahas di kalangan para akademisi, di kalangan kampus, di jurnal-jurnal teologi keagamaan dan lembar-lembar buku perustakaan. Untuk umat kebanyakan, yang dilakoni dalam hidup adalah soal iman dan perbuatan, bagaimana agama saya ini “nyambung” dengan hidup saya sehari-hari.

Dalam hal ini, kita mesti tak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan, karena Ia pernah memberi kita seorang KH Abdurrahman Wahid.  

Mendiang Gus Dur ini bukan hanya tokoh agama, mantan Presiden RI, kyai jempolan, pemimpin kharismatis, tetapi bagi banyak orang sudah menjadi seorang wali, bahkan nabi.

Gus Dur berpesan, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”.

Kata-kata Gus Dur ini, yang sudah menjadi “sabda kenabian”. Pesan Gus Dur ini jadi menjelaskan dengan baik yang dikatakan Romo Mangun mengenai beragama dan beriman itu.

Pro Kerajaan Tuhan yang dimaksudkan Romo Mangun, diterjemahkan sebagai berbuat baik oleh Gus Dur.

Sesungguhnyalah, esensi orang beragama adalah untuk berbuat baik. Semua agama, apa pun itu pasti menganjurkan kebaikan, menyuruh tolong menolong, memerintahkan membantu yang lemah, dan menegakkan keadilan.

Ajaran agama apa pun pasti melarang kejahatan, melarang caci maki, melarang perbuatan zalim dan berbuat tidak adil. Agama apa pun dan di mana pun pada intinya menyuruh penganutnya berbuat adil, melakukan kebaikan, dan menjauhi keburukan.

Nasihat Gus Dur by Mathias Hariyadi

Dalam interpretasi Emha Ainun Nadjib:

Agama itu letaknya di dapur. Nggak perlu dipamerkan warungnya. Nggak masalah kamu masak di dapur pakai gas, kompor biasa atau apa pun. Yang penting yang kamu sajikan di ruang tamu adalah masakan yang menyenangkan semua orang.

Begitu juga dengan agama. Nggak masalah agama apa pun yang dianut yang penting output di masyarakat itu baik: jadi orang yang mengamankan, menenteramkan, menolong dan dibutuhkan.

Katekese hidup seorang Dionisius Prasetyo

Didi Kempot dalam hidupnya sudah melakukan hal yang baik, sangat baik bahkan. Jadi seperti sabda kenabian Gus Dur, ia lalu menjadi pemersatu “lintas suku, agama dan ras”.

Musiknya bicara kepada semua kalangan, kaya-miskin, tua-muda, Jawa-non Jawa, generasi tua sampai milenial semu menyanyi, berjoget dan menangis bersama Lord Didi.

Salah satu sahabat Facebook saya, puteri tokoh Katolik terkenal, menulis begini pada laman FB-nya: “Makasih ya Mas Didi, sudah menterjemahkan banyak rasa dalam dada”  

Ada lagi aktivis OMK yang menulis:

Sugeng tindak Mas Didi Kempot. Terima kasih sudah menggerakkan begitu banyak orang untuk “njogèti kepedihan” dan membuat kami bersaudara walaupun tak saling kenal.Terima kasih sudah mengayomi begitu banyak orang muda. Terima kasih sudah menggerakkan orang untuk saling membantu. Terima kasih untuk lagu-lagu njenengan yang abadi. Tetap nyanyi dan njogèt tipis-tipis di atas sana ya mas.”

Hari itu 505, ada puluhan ribu ungkapan terima kasih semacam itu, mendominasi jagad maya dan medsos tanah air. Semuanya karena Dionisius Prasetyo yang hebat itu.

Didi Kempot menerima tanda kasih dari keluarga Soehardjo Soebardi (Humas BNN)

Output kehidupan yang disebut Cak Nur, telah terungkap dengan begitu dashyat pada sosok seorang Didi Kempot.

  • Tulisan Romo G. Sindhunata di Kompas 6 Mei: “In Memoriam ”The Lord of Ambyar”.
  • Tulisan Romo M.Joko Lelono di Detik 5 Mei: “Merayakan Hidup Didi Kempot”.
  • Tulisan Trias Kuncahyono: “Ambyur Bèn Ora Ambyar” yang sangat dalam dan mengena, pada hemat saya sudah sangat mewakili perasaan sebagian besar umat Katolik Tanahair, yang bangga walaupun sedih atas kepergian saudara kita Dionisius Prasetyo.
  • “Saya adalah seorang yang bersyukur boleh belajar dan merayakan kehidupan seorang Didi Kempot,” kata Romo Joko Lelono.

Tidak ada yang menyangkal, sang mega bintang Dionisius Prasetyo sudah menembus batas-batas suku, agama, ras, golongan, generasi bahkan batas negara. Didi Kempot sudah terlanjur menjadi milik semua kalangan.

Anggota Sobat Ambyar yang ber-KTP Katolik sudah tak terhitung lagi. Dominicus Supratikto, teman seangkatan kami di Seminari Mertoyudan, pernah menjadi Dubes RI di Suriname. Baru dua tahun ini ia selesai bertugas di sana.

Tikto cerita, Didi Kempot sudah 11 kali manggung di Suriname. Para penggemarnya, pasti berjubel memenuhi GOR termegah di Suriname, bila Didi Kempot pentas di sana.

Presiden Bouterse dan Ibu Negara Ingrid Bouterse selalu hadir kalau Didi Kempot manggung di Paramaribo. Presiden Bourtese dan Ibu Negara ikut menyanyi dan berjoget, menikmati pertunjukan DK Sang Maestro campursari.

Sebagai musisi produktif, Didi Kempot juga mencipta lagu-lagu bernuansa Suriname seperti lagu Layang Kangen, Jogèt Sikep, Kangen Nickerie dan Kowé Isih Nèng Kéné.

Lagu-lagu itu, ia ciptakan dan ia persembahkan untuk mengenang almarhum Tomy Radjie, sahabat dekat Didi Kempot yang mempopulerkan namanya dan membawanya berkali-kali manggung di Suriname. 

Tomy Radjie adalah pemilik Radio dan TV Garuda, media berbahasa Jawa paling populer di Suriname.

Kolaborasinya dengan Orkes OMK Kidung Etnosia

Semenjak Didi Kempot “pergi”, saya jadi lebih rajin nonton rekaman pentas-pentasnya. Ada dua  pentas yang saya catat sangat enak, pas dan meriah untuk ditonton. Yaitu pentas bersama Sobat Ambyar di NET.TV dan pentas Evolution SMA Negeri 1 Wonosari.

Mengapa? Karena pada dua pentas itu, ada iringan orkes lengkap dengan aransemen musik yang bagus dan dibawakan dengan bagus pula. Lantunan lagu-lagu Didi Kempot jadi sangat hidup dan kaya. Begitu orkes memainkan intro, penonton kontan terkesima dan berjoget sepanjang pertunjukan.

Banyak yang menangis, ketika lagu Cidro, Layang Kangen dan Suket Teki didendangkan. Diiringi orkes yang begitu padu, pesona Didi Kempot jadi terbawakan dengan utuh.

Hati para sobat ambyar, jadi serasa diharu biru oleh suara Bapak Loro Ati Nasional.

Sepanjang pertunjukan atas undangan SMA Negeri 1 Wonosari itu, Didi Kempot tak henti-hentinya memuji penampilan Orkes Kidung Etnosia. Komposisi musik yang sangat luar biasa. Tepuk tangan untuk anak-anak muda yang hebat ini,” katanya memuji orkes yang mengiringinya.

Kidung Etnosia OMK Wonosari by Tirto

Banyak yang tidak tahu, bahwa Orkes Kidung Etnosia yang akhir-akhir ini dijadikan Didik Kempot langganan pengiringnya, sebenarnya adalah “Orkes Orang Muda Katolik”.

Semua pemainnya beragama Katolik. Mereka adalah anak-anak muda Katolik dari Desa Pulutan, Kecamatan Wonosari. Pendiri dan pimpinan Kidung Etnosia adalah Agustinus Bambang Prasetya, seorang musisi asli dari Wonosari Gunungkidul.

Bambang, musikus muda Katolik yang sangat berbakat ini, sekitar tahun 2010 mengajak teman-temannya dari Desa Pulutan untuk bermusik. Metode yang ia pakai adalah belajar bersama.

“Sebab, di grup musik ini, yang lulusan sekolah musik cuma dua orang. Lainnya rata-rata anak-anak SMA dan tidak mengenyam sekolah music,” ujarnya.

Kata Bambang selanjutnya: “Semula kami bermusik untuk mengiringi tugas-tugas liturgi dan tugas koor di gereja. Seiring perkembangan inkulturasi liturgi Gereja Keuskupan Agung Semarang, terutama musiknya yang sangat dekat dengan pelbagai tradisi etnik Indonesia seperti perkusi, gamelan, keroncong dsb, kami lalu mengembangkan ciri khas kami, yaitu musik etnik. Grup musik ini pun lalu kamai namai Kidung Etnosia, yang artinya Lantunan Etnis Indonesia.”

Dalam perjalanannya selama 10 tahun, Kidung Etnosia tidak hanya menyanyikan musik gereja. Tidak juga hanya menyanyikan lagu-lagu cinta mengiringi upacara penerimaan sakramen perkawinan di gereja. Mereka kemudian mulai memainkan genre lainnya.

Didi Kempot by Malang Voice

Berbagai genre musik seperti pop, keroncong, campursari, dangdut, congdut, sukses dimainkan dengan sangat baik oleh Kidung Etnosia. Namanya jadi semakin terkenal. Penggemarnya pun semakin luas, tidak lagi terbatas di kalangan umat Katolik di Desa Pulutan dan Wonosari.

Tahun 2017, Didi Kempot yang mendengar kehebatan Orkes Kidung Etnosia ini, mengajak berkolaborasi dalam acara Evolution SMA 1 Wonosari.

Sejak itu, Kidung Etnosia menjadi langganan pengiring tetap pada pentas-pentas Lord Didi. Kehadiran Kidung Etnosia, semakin menjadikan panggung-panggung Didi Kempot semakin semarak dan lebih menarik.

Selain Didi Kempot, yang juga berperanan besar melambungkan nama Kidung Etnosia, adalah Pak Sunaryanto. Ia seorang anggota TNI berpangkat Mayor.

Pak Sunaryanto inilah yang sekarang ini menjadi pengasuh, sekaligus pemilik studio tempat mereka berlatih. Jadi ketika bertemu Kidung Etnosia, Lord Didi sebenarnya  bertemu dengan “jemaatnya yang pertama”.

Dan hasilnya: anak-anak muda Katolik dari Desa Pulutan itu, berhasil membuat Didi Kempot menjadi “pewarta” lagu-lagu campur sari yang begitu dahsyat.

Kalau melihat goyang joget pada Sobat Ambyar di alun-alun Wonosari itu, “pewartaan” Didi Kempot bersama Kidung Etnosia, membuat kotbah seorang Kardinalpun  terasa kalah pamor dibanding “kotbah” seorang Didi Kempot.

Didi Kempot

Amal baik terakhir Dionisius Prasetyo

Pada 18 April lalu, Didi Kempot bersama sejumlah komunitas dan badan amal menggelar konser untuk menggalang donasi. Dana yang terkumpul akan dipakai untuk membantu penanganan pandemik Covid-19, termasuk bagi orang-orang terdampak.

Sehari setelah konser yang ditayangkan Kompas TV itu, Didi Kempot mengunggah video di akun Instagram @didikempot-official.

Video yang diunggah pada 19 April itu, berisi ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung konser virtualnya, tak terkecuali kepada para Sobat Ambyar, penggemarnya.

Tidak ada yang menyangka, video itu ternyata menjadi video terakhirnya. Pada video itu, Didi Kempot bilang :

  • Alhamdulilah dari hasil konser amal kemarin, tidak terduga, ternyata melebihi apa yang saya bayangkan. Saya hanya seorang seniman dan semampu saya membantu dengan tenaga dan talenta yang diberikan Allah kepada, saya persembahkan untuk konser amal seperti kemarin.
  • Sekali lagi buat segenap masyarakat Indonesia baik di dalam dan luar negeri, saya berterimakasih dan matur suwun sekali. Dan salut untuk kinerja Sobat Ambyar yang sangat solid, Kempoters, Sadboys, dan Sadgirls semuanya sangat membanggakan.
  • Itulah sumbangsih dari saya, Didi Kempot sebagai seniman tradisional. Semoga apa yang telah kita perbuat sangat bermanfaat bagi penanggulangan virus corona. Matur sembah nuwun, salam Didi Kempot, Sobat Ambyar, Kempoters, Sad Boys, dan Sad Girls, matur nuwun !

Sampai akhir hidupnya, Didi Kempot tetap menjadi sosok yang rendah hati. Pada video terakhir yang diupload di Instagramnya itu, Didi Kempot mengakui bahwa semua yang ia lakukan ini adalah talenta dan pemberian Allah.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia menyerukan asma Allah : Allahu Akbar tiga kali. Begitu kesaksian yang diunggah di Instagram oleh Yan Vellia isterinya.   

Dalam “obituary untuk Lord Ambyar”, Romo Sindhunata mengingatkan kita kepergian mendadak The Lord of Ambyar di tengah pandemi Covid 19 ini kiranya meninggalkan banyak pesan.

Dan, untuk itu Didi Kempot sendiri sudah memberikan teladan. Ia mengadakan konser di rumah saja, dan berhasil menggalang dana Rp 7,6 miliar untuk disumbangkan kepada mereka yang dirundung malang.

Ini membuktikan bahwa sebuah perjalanan yang ambyar tidak harus pula berakhir dengan ambyar.

 Sebelum menghadapi ambyarnya yang final, Didi Kempot menunjukkan bahwa hidup ini ternyata indah dan mempunyai arti karena ia telah mempersilakan sesamanya yang menderita untuk ”ngalemo, ngalem ing dadaku, tambanono rasa kangen nèng atiku, bermanja, bermanjalah di dadaku, sembuhkanlah rasa rindu di hatiku”.

Sugeng tindak Mas Dionisius Prasetyo. Sembah nuwun sanget awit paring “campursari gesang” penjenengan ingkang semanten agengipun! Gusti temtu paring sesulih gesang langgeng.

Dalam terimakasih, kekaguman dan doa yang tak putus :

A.Kunarwoko – Jakarta 13 Mei 2020

Pada Pesta Penampakan Bunda Maria Fatima

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here