Pijar Vatikan II: Megat-Megot Jesuit, Tangis Greysia, dan Inspirasi Tim Azzurri – Kisah Para Pemenang Kalahkan Diri (39C)

0
248 views
Greysia Polii dan Apriyani Rahayu menangi medali emas di Olimpiade Tokyo (Ist)

BULAN Juli 2021 boleh saja akan terus tercatat sebagai mensis horribilis. Untunglah perjalanan hidup isinya bukan hanya tangis dan air mata.

Pandemi tidak hanya membawa drama. Selalu ada sisi baik di balik setiap musibah.

Memang, dari catatan Worldometer 10 Agustus 2021 ini, total mereka yang terpapar Covid-19 di Indonesia jumlahnya 3.686.740.

Namun dari yang sakit itu, pada akhirnya sebagian besar sembuh.

Jumlah yang sembuh: 3.129.661.

Mereka yang sembuh dari Covid-19, jumlahnya puluhan kali lipat dibanding yang meninggal.

Selama pandemi, polusi Jakarta turun drastis. Pengeluaran rumahtangga jadi lebih irit. Makan di mal jauh berkurang. Bisnis online marak.

Orang-orang jadi kreatif. Ikan cupang sampai hamster bisa dijual jadi duit.

Selama pandemi, keluarga menjadi lebih punya waktu untuk bersama. Hal yang sebelumnya sulit terjadi. Hobi berkebun, memelihara tanaman, mencari udara segar, olah-aga, dan berjemur lebih intensif dilakukan.

Kita jadi lebih sehat.

Masa pandemi juga membuat isteri saya pinter masak.

Selama bulan Juli kemarin, kepedihan drama covid juga sejenak terlupakan karena ada gelaran Sepakbola Euro-2020 (2021), Copa America-2020 (2021) dan Olimpiade-2020 (2021) Tokyo.

Di bulan Juli mensis horriblis, di tengah kegalauan wabah yang menguras rasa, tiga event olahraga akbar itu sangat menghibur. Gelaran sepakbola Euro, Copa America, dan Olimpiade Tokyo, sungguh seru dan mengasyikkan.

Sepakbola dan olimpiade adalah olah raga paling populer sejagad raya. Dari jumlah penonton, tidak ada satu pun gelaran olahraga di muka bumi ini yang bisa menandingi sepakbola dan olimpiade.

Karenanya, sepakbola dan olimpiade  bisa menghibur pemirsa sedunia, yang di masa pandemi ini sungguh lagi sangat membutuhkan.

Prestasi di Olimpiade Tokyo

Sepakbola dan olimpiade selain menghibur, tentu juga menyimpan kisah-kisah heroik yang menguras air mata.

Siapa tidak menangis mendengarkan lagu Indonesia Raya berkumandang di Musashino Forest Sport Plaza Tokyo, mengiringi pengalungan medali emas ganda puteri badminton kita: Greysia Polii dan Apriyani Rahayu?

Siapa tidak terharu melihat Greysia tengkurap menangis sejadi-jadinya, setelah pengembalian bola dari pasangan China itu dipastikan out?

Siapa tidak tersentuh menyaksikan Roberto Mancini pelatih Itali, menangis sesenggukan di pelukan sahabat karibnya Gianluca Vialli, seusai Tim Azzurri Itali memenangkan adu penalti lawan Inggris dan menjadi juara Euro-2020?  

Di masa jayanya, Mancini dan Vialli adalah dua striker legendaris kesebelasan Sampdoria dan kesebelasan nasional Itali.

Siapa tidak bersimpati menyaksikan Messi nampak begitu bahagia memeluk Copa America, piala yang akhirnya ia raih bersama tim Argentina?

Sekian lama Messi, pemain terbaik dunia, tidak pernah memenangkan piala apa pun bersama Timnas Argentina. Copa America itu satu-satunya. Sebuah kerinduan besar yang tuntas dicapainya.

Sepakbola dan olimpiade tidak hanya dipenuhi kisah para juara yang memenangkan pertandingan. Mereka menjadi juara tentu karena mereka citius, altius, fortius dari yang lain.

Mereka lebih cepat, lebih tinggi dan lebih kuat dari yang lain. Mereka mendapatkan medali, tentu karena mereka adalah yang terbaik dalam mewujudkan semboyan olimpiade itu.

Mengalahkan diri sendiri

Mereka menjadi juara karena memenangkan pertandingan di lapangan. Namun jangan lupa, mereka juga juara karena berhasil mengalahkan lawan yang terberat, yaitu diri sendiri.

Mengalahkan diri sendiri,dialami benar oleh Sunisa Lee.

Suni, demikian ia lebih dikenal, adalah atlit senam puteri tim Amerika di Olimpiade Tokyo 2020. Suni meraih tiga medali pada Olimpiade Tokyo.

  • Medali emas ia peroleh pada cabang senam bergengsi nomor all round.
  • Medali perak ia dapat dari senam artistik beregu.
  • Perunggu dari cabang senam palang bertingkat.

Gadis 18 tahun dari Saint Paul Minnesota ini anak imigran Laos. Suni Lee tercatat sebagai orang Asia Amerika pertama yang pernah memenangkan medali emas olimpiade untuk Amerika negaranya.

Selama wabah Covid-19 merebak, orang Amerika yang berwajah Asia banyak mengalami kekerasan. Mereka diperlakukan buruk dan bahkan terang-terangan dilecehkan karena dituding sebagai pembawa sial, pembawa Covid-19 masuk Amerika.

Bagi warga Amerika keturunan Asia, khususnya di antara para Hmong (warga Amerika keturunan Laos, Kamboja, Burma dan ras Cina Selatan), kemenangan Suni Lee dimaknai sebagai kemenangan warga Asia Amerika melawan perilaku rasis.

Suni Lee hampir saja tak jadi berangkat ke Tokyo. Setahun yang lalu, menjelang digelarnya USA Gymnastics National Championships ia mendapat musibah. Sehari menjelang kejurnas Amerika yang juga menjadi seleksi pesenam yang akan dibawa ke Tokyo, ayah Suni jatuh dari tangga, ketika sedang membantu tetangganya.

John Lee, ayah Suni menjadi lumpuh karena kecelakaan itu. Suni sangat terpukul, sebab ayah tirinya ini adalah pelatihnya di masa kecil, konsultan, manajer sekaligus pendukungnya yang utama.

Tidak lama sesudah musibah itu, datang lagi musibah berikutnya. Paman dan tante Suni yang selama ini menjadi penyokong utama  keluarga besar Lee, meninggal karena Covid-19.

Dua musibah ini sangat memukul Sunisa. Ia menjadi galau. Penampilannya di Tokyo pasti terganggu. Rasanya tidak mungkin dijalani.

Olahraga senam menuntut kesiapan diri dan konsentrasi tinggi. Dari kursi rodanya, John Lee memeluk anaknya yang lagi stres berat.

Ia meminta supaya Suni tetap berangkat ke olimpiade, mengalahkan keraguannya. “I am tougher because of it,” ucap Suni sesudah meraih medali emas.

Jatuh bangun

Kisah serupa dialami oleh Gianmarco Tamberi, atlit loncat tinggi dari Italia.

Bersama atlit loncat tinggi Mutaz Essa Barshim dari Qatar, Tamberi mengukir sejarah olimpiade dengan tinta emas. Sampai babak final, hanya mereka berdua yang bisa meloncat pada ketinggian 2,37 meter. Keduanya juga tidak berhasil mencapai ketinggian 2,39 meter dari tiga kali percobaan.

Ketika wasit memanggil keduanya, Barshim bertanya: “Can we have two golds?”

Wasit mengangguk.

Tamberi kontan melompat kegirangan. Ia bergulingan di arena, tidak percaya ia mendapatkan medali emas yang diimpikan. Sambil bercucuran air mata, ia berlari menghambur ke Barshim. Sahabatnya itu dipeluknya erat-erat.

Menjadi sahabat baik di ajang kompetisi dan apalagi di luar kompetisi. (Ist)

Persahabatan di ajang kompetisi

Hari itu 1 Agustus 2021, dunia menyaksikan makna sejati sebuah pertandingan.

Persahabatan. Bukan hanya persaingan.

Persaudaraan. Bukan hanya kemenangan.

Hari itu mereka mengukir sejarah. Pertama kali dalam olimpiade, dua atlit dari negara berbeda sepakat untuk berbagi medali emas.

Indahnya, dua atlit yang bertanding dan bersaing itu sungguh sahabat. Bukan sekedar dua pesaing.

Gianmarco Tamberi orang Itali itu dan Mutaz Essa Barshim dari Qatar bukanlah sosok sembarangan dalam olah raga loncat tinggi.

Selama satu dekade ini, bersama peloncat Bohdan Viktorovych Bondarenko dari Ukraina, mereka praktis merajai hampir semua kejuaraan loncat tinggi dunia.

  • Tahun 2015, Tamberi memecahkan rekor locat tinggi Itali, dengan loncatan 2,34 meter pada kejuaraan atletik Eropa di Kohln dan 2,37 meter di Eberstadt.
  • Tahun 2016 ia menang di Banska Bystrica dengan loncatan 2,35 meter.
  • Pada kejuaraan loncat tinggi Moravia Tour, Tamberi mencatat loncatan 2.38 meter, cukup untuk mengalahkan pesaingnya Chris Baker dari Inggris dan Kyriakos Ioannou dari Cyprus.
  • Pada kejuaraan dunia atletik indoor di Portland, ia meraih emas dengan loncatan setinggi 2,36 meter.

Prestasi Barshim tidak kalah mentereng. Ia pemegang medali emas pada kejuaraan dunia atletik di London tahun 2017 dan di Doha tahun 2019.

Barshim meraih medali perunggu para Olimpiade London 2012 dan medali perak Para oOlimpiade Rio de Janeiro 2016.

Pada final kejuaraan atletik Diamond League di Brussel tahun 2014, ia bahkan mencatat loncatan 2,43 meter.

Ini loncatan tertinggi kedua sepanjang masa. Rekor dunia loncat tinggi dunia masih dipegang oleh Javier Sotomayor dari Kuba.

Pada tahun 1993, Sotomayor mengukir prestasi loncatan 2,45 meter. Sampai hari ini, “rekor abadi” Sotomayor ini belum pernah terpecahkan. Hanya Barshimlah yang mendekatinya dengan selisih cuma 2 cm di bawahnya.

Sampai hari ini Barshim pulalah yang resmi tercatat memegang gelar peloncat tinggi nomor satu dunia.

Sesudah memenangkan medali emas loncat tinggi olimpiade Tokyo, sambil memeluk Barshim sahabatnya, kepada para jurnalis yang mengerumuninya, Tamberi mengatakan:

Per me è un grandissimo amico e con lui ho condiviso tutta la mia carriera, fin dai Mondiali giovanili del 2010, compreso l’infortunio. Sono stato anche al suo matrimonio, insieme a Chiara. Con molti altri non l’avrei fatto, perché sono un agonista nato, e nessuno dei due aveva paura di perdere. Ma ero lì con un amico, e decidere di non proseguire con lo spareggio è stato solo un gesto di amore reciproco

(Untuk saya, dia ini (Barshim) adalah sahabat yang sebenarnya. Dengan dia, saya telah berbagi banyak hal.  Dia bersama saya sepanjang karir saya sejak kejuaraan dunia yunior pada tahun 2010, termasuk berbagi cidera.

Saya juga datang pada pernikahannya. Saya datang bersama Chiara tunangan saya. Dengan yang lain, mungkin saya tidak mau berbagi medali itu.

Saya ini terlahir sebagai pesaing. Saya tidak takut kalah. Tetapi tadi yang ada di arena itu adalah dua sahabat. Tidak melanjutkan pertandingan dan menerima kesepakatan berbagi medali adalah bentuk kasih persaudaraan kami).”

Tidak berlebihan Gianmarco Tamberi menganggap Barshim sebagai sahabat. Warna kulit, beda negara dan beda bahasa tidak menghalangi persaudaraan itu. Selama bertahun-tahun mereka dipersatukan oleh pertandingan yang sama, menang-kalah bersama, tangis-tawa bersama.

Persahabatan itu juga mereka bawa di luar lapangan pertandingan.

Dari Itali, Tamberi terbang ke Qatar menghadiri perkawinan Bashim sahabatnya. Cidera dan sakit pun mereka rasakan bersama. Ketika mereka berdua “tumbang” karena cidera, dua sahabat itu terus bertelepon dan saling menguatkan.

Menjelang oOimpiade London tahun 2012, Bashim menderita “syaraf kejepit” pada tulang belakang L5 Lumbar Vertebrae.

Bashim menjalani perawatan cidera tulang belakang itu di Doha dan Warsawa.

Tamberi sempat cidera.

Tamberi juga sempat cidera.

Cideranya bahkan lebih parah dari Barshim. Menjelang oOimpiade Rio 2016, pergelangan kakinya patah. Gimbo, demikian Gianmarco Tamberi akrab dipanggil, mengalami patah pergelangan kaki ketika mengikuti kejuaraan atletik di Montecarlo.

Kala itu, ia menjadi yang pertama dengan loncatan 2,39 meter. Loncatan terbaiknya selama ini. Ketika mencoba loncatan 2,41, musibah itu terjadi.

Ia langsung dilarikan ke Rumah Sakit. Meja operasi dan ruang fisioterapi kemudian menjadi kawan akrabnya selama dua tahun lebih.

Di Tokyo, seusai mendapatkan medali emas, penonton ikut larut dalam haru menyaksikan Gimbo menangis sesenggukan sambil memegang gips yang pernah membalutnya ketika cidera.

Gips putih bertulis “Road to Tokyo 2021” itu adalah simbol perjuangannya. Gips yang ia kenakan sejak mendapat cidera di Montecarlo menjelang Olimpiade Rio itu adalah saksi tekadnya berjuang.

Karenanya, setiap mau bertanding di Tokyo, Gimbo membawa “jimat” gips putih itu di tas pakaiannya. Gips putih itu simbol kegigihannya menebus kegagalan datang ke Olimpiade Rio 2016. “Tokyo era il mio chiodo fisso. Le lacrime, il dolore… Ma ne è valsa la pena: che felicità.

(Tokyo adalah obsesi saya. Saya curahkan air mata dan kepedihan ini. Semuanya tidak sia-sia. Saya sangat bahagia).”

Demikian komentar Tamberi di Terminal 3 Bandara Fiumicino Roma, sekembali dari Tokyo.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here