Pijar Vatikan II, Refleksi 40 hari Pelantikan Kardinal Suharyo: Compassion Kardinal Vanhoye SJ (33C)

0
383 views
Ignatius Kardinal Suharyo dilantik di Basilika St. Petrus Vatikan 5 Oktober 2019 by Ist

MENJELANG dimulainya Sidang KWI di Bandung awal bulan ini, sekitar sebulan sesudah Kardinal Suharyo dilantik, seorang teman mengirim tautan berita menarik di WA Group kami.

Teman ini mengirim tautan berita dari koran online Inggris The Telegraph. Judulnya Osama bin Laden dead: Christians should pray for his soul, Cardinal claim.

Nick Squires, penulisnya, mengirim artikel ini pada 4 Mei 2011, 8 tahun yang lalu.

Nampaknya The Telegraph mengutip laporan dari harian Roma Il Messaggero  tidak lama setelah Osama bin Laden tewas tertembak, dalam operasi penggerebegan Geronimo oleh pasukan Operasi Gabungan Amerika pada 2 Mei 2011 di tempat persembunyian bin Laden di Abbottabad Pakistan. 

Presiden Obama sendiri mengumumkan tewasnya Osama bin Laden, yang dianggap dalang tragedi 11September dan musuh Amerika nomor satu itu.

Siapa “Kardinal” yang disebut dalam artikel The Telegraph dan Il Messaggero itu?

Dia adalah Kardinal Vanhoye SJ dari Perancis, Kardinal paling sepuh dalam Collegio Para Kardinal sekarang ini. Seorang Kardinal mengajak semua umat Katolik mendoakan teroris besar macam Osama bin Laden untuk didoakan.

ini pasti bukan ajakan main-main.

Mencintai siapa pun

Menurut Il Messaggero, sesudah Osama bin Laden tewas, Kardinal Vanhoye SJ mengatakan:

It’s what Jesus teaches Christians. “Jesus obliges us to forgive our enemies. The ‘Our Father’ that we recite every day says that. “Does it not say ‘Forgive us our trespasses, as we forgive those who trespass against us’? It’s not possible to accept this prayer while holding on to rancour and cultivating hatred against our enemies”.

Lebih lanjut, kata Kardinal Vanhoye SJ : “We are all sinners and we all need Christ’s forgiveness”

Kardinal Vanhoye mengingatkan bahwa mencintai musuh itu menurut Yesus, “hukumnya” wajib.

Kita pun diminta Yesus untuk mengampuni siapa pun yang bersalah, dalam doa Bapa Kami yang diajar-kanNya.

Teman kami ini, mengirim tautan berita 8 tahun silam, mungkin karena ia ingin tahu, apakah Kardinal Vanhoye juga punya komentar yang sama setelah pada 28 Oktober 2019 yang lalu, pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi tewas di tangan Pasukan Gabungan Amerika, senasib dengan Osama bin Laden.

Rupanya kali ini, tidak ada yang memberitakan komentar Kardinal Vanhoye tentang berdoa bagi Baghdadi.

Mengapa komentar Kardinal Vanhoye jadi begitu heboh dan bahkan kontroversial?

Kardinal Vanhoye SJ. (ist)

Dalam konteks compassion yang menjadi tema utama Konsistorium 5 Oktober yang lalu, kiranya jawabnya adalah: “mendoakan musuh itu bagian dari compassion”.

Kalau yang mengatakan “mari berdoa bagi Osama bin Laden” adalah seorang Bruder Jesuit sederhana yang sudah sepuh dan menjadi pendoa di Wisma Emmaus, mungkin tidak akan pernah menjadi berita di koran macam The Telegraph.

Kalau ajakan kita mesti “mendoakan untuk Osama bin Laden” yang dikenal sebagai teroris besar muncul dari petinggi gereja yang hebat macam Kardinal Vanhoye, tentu berbeda.

Kardinal Albert Vanhoye, SJ salah satu ahli Kitab Suci terbesar yang pernah dimiliki Gereja. Imam Jesuit ini terkenal sebagai teolog dan exegit andal.

Tulisan tulisannya sudah tak terbilang banyaknya. Paus Benedictus XVI termasuk salah satu “pengagum” tulisan-tulisan Vanhoye yang mendalam dan bermutu. Ia pula yang mengangkat Vanhoye menjadi Kardinal pada tahun 2006.

Sejak tahun 1963, Vanhoye mengajar di Institut Kepausan Biblicum. Tahun 1969 sampai 1975, ia menjadi Dekan Biblicum. Tahun 1984 sampai 1990, ia menjabat sebagai Rektor Insitut Biblicum, Institut Kitab Suci yang paling bergengsi di Roma.

Lulusan Biblicum, di kalangan para ahli Kitab Suci, sering dianggap lebih unggul dibanding lulusan Universitas lain. Vanhoye juga diminta menjadi konsultan tetap di beberapa Departemen Kuria Vatikan seperti departemen Ajaran Iman, departemen Ekumene dsb.

Jadi kalau orang sebesar Kardinal Vanhoye saja menyerukan “mendoakan musuh dan mengampuni yang bersalah kepada kita” sebagai keutamaan murid-murid Kristus, tentu ini seruan yang tidak main-main.

Ini seruan biblis, seruan utama dari inti ajaran iman kita yaitu “kasih kepada Tuhan dengan segenap hati, segenap akal budi dan segenap kekuatan ; serta kasih kepada sesama seperti diri sendiri”. 

Dalam bahasa Kardinal Suharyo: pesan belarasa

Karena katekese yang tak kenal Lelah, maka umat KAJ kini sudah tak asing lagi dengan kata belarasa. Ada kurun waktu, di setiap misa kudus kita menyanyikan lagu Mars Berbela Rasa. Setiap paroki mendapat pengarahan dan pendalaman intensif “Arah Dasar” (Ardas) Paroki yang mengambil bagian dari Ardas KAJ: “Makin Beriman, Makin Bersaudara, Makin Berbelarasa”.

Suatu pernyataan yang isinya saling terkait dan makin menunjukkan intensitas kedalamannya. Bahkan kata yang paling ujung yakni “belarasa” merupakan ukuran apakah kita benar-benar layak disebut sebagai “orang Kristiani”.

Dalam katekese Bapak Kardinal Suharyo, belarasa itu memuliakan martabat manusia. Orang yang memiliki belarasa adalah orang yang sedemikian ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh sesamanya yang menderita, sehingga orang itu merasa harus berbuat sesuatu, tidak bisa tinggal diam – untuk mengatasi penderitaan sesamanya itu.

Dalam Bahasa Ibrani dan Aram, kata yang biasanya diterjemahkan sebagai belarasa (compassion dalam Bahasa Inggris) adalah bentuk jamak dari satu kata benda “rahum” (Kel 34:6) atau “le Rahim” (2 Taw 30:9) yang dalam bentuk tunggalnya berarti “Rahim”.

Dalam Perjanjian Lama, kata “Rahim” ini sering diterjemahkan sebagai “murah hati”, untuk menggambarkan sifat Allah yang maha “pengasih dan penyayang”.

Compassion

Jadi Alkitab sering berbicara tentang Allah yang berbelarasa itu dengan kata murah hati. Demikianlah kita memahami pernyataan Yesus “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Allah murah hati” menjadi “Hendaklah kamu berbelarasa, sama seperti Allah berbelarasa.”

Ketika pada pelantikannya Paus berkotbah tentang compassion, Kardinal Suharyo sebagai ahli Kitab Suci seperti Kardinal Vanhoye sudah berteologi dan berkatekese tentang compassion itu.

Menurut Kardinal Suharyo, compassion atau belarasa dapat dimengerti sebagai “tindakan mengasihi” sebagaimana seorang ibu yang memiliki “rahim” mengasihi anak-anaknya.

Demikianlah Allah mengasihi kita semua anak-anakNya. Mengingat manusia adalah citra Allah, maka kalau kita berbela rasa berarti kita mengasihi sesama kita. Kalau yang kita kasihi itu adalah sesama kita yang terpuruk keadaannya, berarti dengan berbela rasa kita memuliakan kembali martabatnya sebagai manusia citra Allah.

Secara khusus, Gereja mengajak kita semua untuk menyatakan semangat belarasa itu terhadap mereka yang KCLMT yakni Kecil, Cacat, Lemah, Miskin, dan Tersingkir.

Mgr. Ignatius Suharyo, ketika menjelaskan isi Ardas KAJ, menegaskan berkali-kali bahwa salah satu indikator iman yang makin mendalam, adalah makin mengalami kasih Allah.

Iman mendalam itu dengan sendirinya akan mendorong orang beriman itu untuk membangun komunitas dan makin bersaudara. Ujung-ujungnya, buah dari persaudaraan itu ditandai dengan adanya tindakan bela-rasa.

Pernyataan terkenal Bapak Kardinal Suharyo adalah: “Hidup bersama yang tidak membuahkan belarasa, tidak bisa disebut persaudaraan, melainkan sekedar kelompok atau bahkan komplotan.”

Selamat berkarya Bapak Kardinal Suharyo, di antara umatmu yang selalu bersyukur memiliki gembala yang tak pernah lelah menebar “virus” belarasa.

Doa kami dari seorang umat yang bangga memiliki Kardinal hebat:

A. Kunarwoko – Jakarta, 26 November 2019

Pada Peringatan 25 tahun pelantikan Bapak Julius Kardinal Darmaatmadja SJ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here