Pijar Vatikan II, Refleksi 40 hari Pelantikan Kardinal Suharyo: Compassion Susi Susanti (33B)

0
651 views
Susi Susanti, legenda bulutangkis Indonesia peraih medali emas di Olimpiade Barcelona. (Ist)

40 hari sesudah Kardinal Suharyo dilantik, saya diajak isteri dan anak-anak saya nonton film Susi Susanti Love All di Bioskop XXI Mal Kelapa Gading dekat rumah. Terus terang, semula saya ogah-ogahan diajak nonton film nasional.

Maafkan, sejak dulu saya tidak pernah tertarik nonton film Indonesia. Satu-satunya film nasional zaman dulu yang masih saya ingat, hanyalah film November 1928 yang disutradarai Teguh Karya. Itu juga karena lokasi pembuatan film November 1928 tersebut ada di desa dan rumah nenek kami di Sawahan, Bantul.

Karena sore itu tidak ada film lain yang menarik, maka saya terpaksa ikut nonton film Susanti Love All. Yah, daripada “diomelin” isteri dan “diprotes” anak karena tidak menghargai “family time”, jadilah saya nonton film tentang Susi Susanti itu.

Seusai nonton film itu, apriori jelek saya pada film nasional hilang atau setidaknya berkurang.  Film itu membuka mata saya akan makna kata com-passion dan penghayatannya.

Film Susi Susanti Love All sejatinya bukanlah film “biography epic” (biopic) legenda hidup Srikandi Bulutangkis Indonesia. Setelah tuntas menontonnya, saya memaknainya lebih dari sekadar cerita kisah hidup dan perjuangan Susi.

Film ini punya pesan lebih besar dari itu. Bila film ini hanya berfokus pada kisah Susi Susanti, film seharusnya berakhir saat Susi meraih medali emas cabang bulutangkis tunggal putri di Olimpide Barcelona tahun 1992. Itu adalah puncak kariernya sebagai olahragawati.

Film ini juga bukan kisah drama percintaan. Karena bila iya, filmnya seharusnya berakhir ketika ia menikahi Alan Budikusuma. Mereka disebut pengantin olimpiade karena mengawinkan dua emas Olimpiade Barcelona.

Alan, suami Susi, juga meraih medali emas tunggal putra pada Olimpiade Barcelona itu.

Pesan film ini lebih besar dari sekadar kisah hidup orang Indonesia pertama yang meraih emas di ajang olahraga terakbar dunia bernama Olimpiade. Pun juga lebih penting dari kisah romantis dua anak manusia yang menemukan cinta lalu bersatu di pelaminan.

Film ini adalah film panjang pertama Sim F, yang lebih dikenal sebagai sutradara video klip dan iklan. Debut yang menjanjikan.

Pesan utama film ini adalah cinta tanah air tanpa reserve. Sutradara Sim F berhasil menghadirkan pesan nasionalisme dan patriotisme dengan cukup jelas. Pesan ini lebih menyita perhatian ketimbang kisah hidup Susi (dimainkan Laura Basuki).

Menurut kritikus film Ade Irwansyah, cerita perjalanan hidup Susi Susanti hanya dipinjam untuk menyampaikan pesan tentang nasionalisme, berikut problematikanya terutama pada keturunan Tionghoa. 

Memang, bila menonton film ini dengan harapan menonton sebuah biopik yang runut dan fokus pada jatuh bangun si tokoh utamanya, orang bakal kecewa.

Ada sejumlah distraksi di sana-sini yang bikin penonton “gagal fokus” dan merasa filmnya cerewet. Terlalu banyak yang ingin disampaikan.

Namun, bila mendudukkan film ini sejak awal sebagai civic education alias pelajaran ketatanegaraan, penonton akan mendapatkan pelajaran berharga.

Momen kunci film ini bukan dimulai saat Susi kecil mengalahkan juara bulu tangkis di acara Agustusan. Tapi di ruang rapat Try Sutrisno (dimainkan Farhan) petinggi ABRI (kini TNI) yang mengurusi bulutangkis.

Kita tahu, bagi sebuah rezim otoritarian, supremasi di bidang olahraga amatlah penting. Ia dipakai sebagai cara instan untuk membetot perhatian dunia dan negeri sendiri, membangkitkan rasa nasionalisme, serta menjauhkan rakyat dari keinginan memprotes rezim atas derita hidup (pelanggaran HAM dan kebebasan berpendapat cenderung tak dihargai).

Kambing hitam dan sapi perah

Cabang olahraga yang paling mungkin dipakai rezim Orde Baru untuk tujuan itu adalah bulu tangkis. Sayangnya, atau nyatanya, banyak yang jago main bulu tangkis berasal dari etnis Tionghoa.

Kita juga tahu, di masa Orde Baru, etnis Tionghoa diperlakukan tak adil. Hak politik dan warga negara mereka dikebiri. Sebagai warga negara, mereka ditempatkan sebagai warga kelas dua yang diharuskan menunjukkan dokumen bernama SBKRI (Surat Bukti Kewarga-negaraan Republik Indonesia).

Di masa lalu itu pula, prasangka terhadap etnis Tionghoa dilestarikan. Karena hak politik dicabut, hanya di bidang ekonomi mereka diberi keleluasaan. Namun itu pun diberikan demi menjamin keberlangsungan koruptif rezim. Di sini kita paham sikap mendua Orde Baru pada etnis Tionghoa: tak sah mengakui kewarganegaraan mereka, namun memanfaatkan potensi ekonominya.

Perilaku diskriminatif

Sepanjang sejarah bangsa ini, kita telah menyaksikan berbagai peristiwa kerusuhan yang menempatkan keturunan Tionghoa sebagai target sasaran amuk massa. Itu berakar pada kebencian etnis yang mulanya ditanam pemerintah kolonial Belanda.

Penjajah itu memberlakukan kebijakan segregasi berdasar golongan etnis pada rakyat Nusantara. Yang dianggap warga kelas satu adalah warga Eropa kulit putih, yang kedua keturunan Tionghoa, dan ketiga warga pribumi. Lantaran yang Tionghoa lebih sering berurusan dengan pribumi, maka persinggungan antaretnis ini kerap melahirkan konflik.

Status quo sejak zaman kolonial itu dilanggengkan rezim Orde Baru. Apalagi, menyusul prahara politik 1965, etnis Tionghoa di Indonesia dicap bagian dari China komunis. Peristiwa itu memaksa ribuan keturunan Tionghoa eksodus ke China. Otomatis mereka kehilangan status kewarganegaraannya.

Dua di antara orang tersebut adalah Liang Chiu Sia (Jenny Zhang) dan Tong Sin Fu (Chew Kin Wah). Keduanya jadi harapan rezim Orde Baru memajukan bulu tangkis agar gengsi bangsa terangkat jelang ajang Sudirman Cup pertama di pertengahan 1980-an.

Liang Chiu Sia kemudian menjadi pelatih Susi. Bagi Chiu Sia, Susi adalah tiket emasnya untuk mendapatkan status kewarganegaraan. Rezim Orde Baru padanya menegaskan praktik yang diistilahkan dalam bahasa Latin sebagai “quid pro quo”, lakukan apa yang diminta, maka akan diberi imbalan yang diinginkan.

Hanya saja, imbalan itu tak kunjung diberikan. Termasuk kemudian juga pada Susi Susanti yang telah berprestasi menjuarai berbagai turnamen bulutangkis dunia. Di film, kita melihatnya ditelepon langsung Presiden Soeharto.

Sang presiden menaruhkan harapan padanya. Tapi di saat bersamaan ia dipersulit saat mengurus SBKRI. Kekesalan Susi memuncak ketika secara terbuka ia mempertanyakan status kewarganegaraannya.

Korban keberingasan massa

Tidak hanya itu, ketika kerusuhan 1998 melanda, keluarga Susi turut jadi korban. Rumahnya di Tasikmalaya dilempari bom molotov. Saat itu terngiang ucapan kakak Susi, prestasinya mengharumkan Indonesia di pentas bulutangkis tak bisa menjamin ia dan keluarga selamat dari kerusuhan rasial.

Film memperlihatkan, saat kerusuhan Mei 1998, tim bulu tangkis Indonesia, yang kebanyakan etnis Tionghoa, tengah bertanding di Hong Kong. Mereka didemo warga di sana atas perlakuan brutal warga Indonesia pada etnis Tionghoa saat terjadi kerusuhan.

Kita tahu, saat kerusuhan toko-toko milik etnis Tionghoa dibakar massa. Sejumlah perempuan Tionghoa juga dikabarkan diperkosa. Wajar bila warga China dan Hong Kong protes atas kejadian tersebut.

Namun menempatkan protes pada pemain bulutangkis Indonesia terasa paradoksal.

Di Hong Kong pula kita menyaksikan krisis nasionalisme yang menghinggapi para atlit. Mereka mempertanyakan kembali status mereka sebagai orang Indonesia.

Saat itulah Susi bangkit, mengenakan jaket putih bertuliskan “INDONESIA”. Ia sudah menentukan pilihannya. “I am Indonesian,” katanya pada reporter CNN.I always be.”

Itulah puncak film ini buat saya.

Film “Susi Susanti Love All”.

Masih menurut kritikus film Ade Irwansyah, di balik film Susi Susanti Love All ada hal penting yang sering dilupakan orang, yaitu yang mendanai film dan sikap dasarnya.

Di belakang film Susi Susanti ini adalah Daniel Mananta. Di kredit film, ia disebut sebagai produser dan eksekutif produser. Artinya, ia salah satu otak film ini sekaligus yang mendanainya.

Kita tahu Daniel Mananta adalah bekas VJ MTV Indonesia, keturunan Tionghoa. Sejak awal dekade kedua abad ke-21, ia menjadi bagian dari semangat nasionalisme yang menghinggapi kalangan muda.

Gerakan nasionalisme baru ini tercermin lewat istilah “Indonesia keren”, Good News from Indonesia, dan beberapa lainnya. Daniel sendiri menyongsongnya dengan slogan “Damn I Love Indonesia”.

Slogan ini ia tarik jadi berbagai produk berupa kaos, topi, jaket dan berbagai produk lain. Daniel sampai membuka toko untuk menyebarkan virus nasionalismenya.

Format baru nasionalisme

Sependapat dengan banyak pengamat, jujur, saya bukan penggemar ‘nasionalisme’ ala Daniel Mananta dkk. Buat saya, ekspresi nasionalisme yang dikristalkan dengan istilah “Indonesia keren” punya problematikanya tersendiri.

Pertama, kalau Anda ingat muasal gerakan ini dahulu, adalah jawaban kita setelah mendapati inferioritas kita pada negeri jiran, terutama Malaysia. Kita merasa kalah, terutama dari segi ekonomi dan bagaimana negeri ini diurus. Waktu itu kita juga marah karena Malaysia kita anggap “mencuri” kesenian dan tradisi budaya yang kita anggap asli Indonesia. Gerakan “Indonesia keren” ini lantas lahir sebagai penghibur.

Kedua, sungguh mengharukan memang bahwa kebangkitan nasiolisme masa kini tak dikomandoi rezim (baca: negara), melainkan lahir dari bawah, dari kesadaran nasionalistik warga negara.

Hal ini seolah mengamini tesis utama Ben Anderson bahwa sebuah nation atau negara-bangsa adalah komunitas yang terbayangkan (imagined communities), orang yang tak saling mengenal dan terdiri atas latar belakang berbeda namun hidup dalam suatu daerah yang luas membayangkan diri sebagai sebuah  komunitas bersama.

Akan tetapi kecintaan berlebihan yang hanya tercermin lewat simbol-simbol nasionalisme ini (kaos, jaket, mug, dll), dikhawatirkan pada gilirannya akan melahirkan sifat fasistik dan chauvinistik rakyat.

Nah, dengan menggagas dan mendanai Susi Susanti Love All, Daniel membawa nasionalisme “Indonesia keren” ke tikungan lain.  Ia tak sekadar bicara nasionalisme yang simbolistik (film ini banyak mendramatisasi nasionalisme lewat pilihan kreasi visualnya), tapi juga menyampaikan paradoks ketika menyangkut etnis Tionghoa.

Sebagai keturunan Tionghoa, Daniel tentu merasakan diskriminasi rasial atas etnisnya. Tapi mau bagaimana lagi, ia kadung cinta pada negeri ini. Damn I love Indonesia, cetusnya.

Pasutri legenda bulutangkis Indonesia peraih medali emas di Olimpiade Barcelona di Spanyol. (Ist)

Sebagai pernyataan sikap produsernya tersebut, Susi Susanti Love All bisa kita maknai lebih dalam. Filmnya bisa kita baca sebagai  persembahan dari etnis Tionghoa buat bumi pertiwi.

Persembahan itu disertai pesan yang bunyinya kira-kira begini : walau negara dan bangsa ini telah memarginalkan kami (baca: etnis Tionghoa) sedemikian rupa, kami tetap mencintai negeri ini.

Tangis Susi saat menghormat bendera,  juga jadi salah satu tangisan terpenting dalam sejarah Indonesia, kata Zen RS dalam “Kita Berutang pada Bulu Tangkis”. “Dalam sekali tetes, air mata itu melumerkan kebencian, mencairkan purbasangka, dan menawarkan stereotipe,” tulisnya.

Sesudah nonton film Susi Susanti Love All itu, dalam konteks “compassion”, saya lalu pulang dengan menundukkan kepala seraya memuji Susi: “dia wanita hebat, pahlawan bulutangkis yang membanggakan kita semua, legenda abadi yang akan tercatat dalam tinta emas perjalanan sejarah bangsa Indonesia sebagai “orang Indonesia pertama yang meraih medali emas Olimpiade”.

Betapa besar dan harum namanya. International Badminton Federation (sekarang Badminton World Federation) pada bulan Mei 2004 memberikan penghargaan Hall of Fame kepada Susi Susanti.

Pemain Indonesia lainnya yang memperoleh penghargaan Hall of Fame adalah Rudy Hartono Kurniawan, Dick Sudirman, Christian Hadinata, dan Liem Swie King.

Susi Susanti memberi kebanggaan pada bangsa dan negeri ini, karena ia pribadi dan pebulutangkis yang memiliki hati, punya “passion” dan “compassion”. Semula, ia mungkin hanya “anak baik” dalam keluarga yang ingin membuktikan cita-cita besar ayah dan ibunya menjadi pebulutangkis jagoan dan  meraih medali pada turnamen-turnamen bergengsi.

Lama-lama, dari film yang dibiayai Daniel Mananta ini, kita menyaksikan Susi menjadi besar karena ia memiliki compassion sebagai anak bangsa yang lahir di Indonesia dan bangga menyebut dirinya orang Indonesia.

Kita tahu, Susi Susanti membayar mahal untuk semua itu, karena ia orang Tionghwa, yang di perjalanan bangsa ini, nyatanya pernah sungguh-sungguh dinomorduakan, sering diperlakukan tidak adil, cuma “dimanfaatkan”, dihambat, dikambin hitamkan dan sering dikorbankan.

Kondisi sekarang

Untung saja mengenai “nasionalisme” ini, ada indikasi yang melegakan.

Pada kurun waktu sebulan, sesudah Kardinal Suharyo dilantik, yakni pada tanggal 3 November 2019, harian Kompas menurunkan survei yang dibuat oleh LSI.  Judul survei LSI itu “Dibanding Identitas Keagamaan dan Kesukuan, Nasionalisme Rakyat Indonesia Lebih Tinggi”.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan, mayoritas masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nasionalisme. Sebab, dibanding mereka yang mengutamakan identitas diri berdasar suku atau agama, lebih banyak masyarakat yang memposisikan diri mereka sebagai seorang warga negara Indonesia.

Temuan ini diperoleh dari hasil survei LSI pada 8 sampai 17 September 2019. Survei itu melibatkan 1.550 responden yang dipilih secara acak, dengan margin of error 2,5 persen. “Identitas nasional atau nasionalisme warga Indonesia jauh lebih kuat dibandingkan identitas keagamaan dan kesukuan,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan.

  • Berdasar temuan survei, 66,4 persen warga lebih senang menyebut diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
  • Sementara itu, 19,1 persen warga lebih senang menamakan dirinya sebagai kelompok penganut agama tertentu.
  • Sisanya, 11,9 persen warga lebih senang diidentifikasi berdasar suku mereka.

Djayadi mengatakan, angka nasionalisme tahun 2019 paling tinggi dibandingkan dua tahun sebelumnya. Sebab, berdasar survei, pada tahun 2018 hanya 61,4 persen warga yang lebih senang menyebut dirinya sebagai warga negara Indonesia ketimbang menyebut dirinya berdasar suku dan agama.

Di tahun itu, mereka yang mengidentifikasi diri berdasar suku sebesar 13,4 persen, sedangkan berdasar agama sebesar 22,7 persen. Sementara itu, pada 2017, sebanyak 58,5 persen lebih senang mendudukan dirinya sebagai warga negara Indonesia ketimbang identitas suku maupun agama.

Mereka yang lebih senang disebut berdasar suku sebesar 12,5 persen, sedangkan berdasar agama sebesar 25,8 persen. “Selama tiga tahun terakir, telah terjadi tren penguatan identitas kebangsaan yang dibarengi dengan pelemahan identitas keagamaan dan kesukuan,” ujar Djayadi.

Demikianlah kiprah perjuangan compassion Susi Susanti.

Mungkin banyak yang sudah tahu bahwa Susi Susanti itu Katolik. Juga Daniel Mananta, Olga Lydia, Sandra Dewi, dan beberapa nama lain. Selain Katolik mereka itu juga keturunan Tionghwa.

 Tetapi mungkin sedikit yang tahu bahwa Susi Susanti dibaptis di Gereja Tasikmalaya dengan nama Lucia Francisca. Mungkin pula hanya para penonton Katolik yang memperhatikan Susi pada filmnya, bahwa ia selalu membawa rosario dan berdoa pada Bunda Maria sebelum bertanding.

Namun pasti semua ingat, menyaksikan di layar TV, mengenangnya dengan penuh haru, ketika Lucia Francisca Susi Susanti, membuat tanda salib begitu ia menang di final bulutangkis puteri Olimpiade Barcelona 1992.

Susi Susanti, yang saat itu berusia 22 tahun, berhasil mengalahkan pemain Korea Selatan, Bang Soo-Hyun dengan skor 5-11, 11-5, dan 11-3. Emas pertama olimpiade dalam sejarah bangsa Indonesia.

Indonesia Raya berkumandang pertama kali dalam seja-rahnya. Tanda salib dibuat, air mata haru meleleh.

Di bioskop XXI Kelapa Gading sore itu, sebagian cukup besar penonton ikut meneteskan air mata ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan.

Seolah kejadian 27 tahun lalu itu baru saja terjadi kemarin.

Bangga banget

Teman saya Romo Alphonsus Setya Gunawan Pr termasuk orang yang sangat bangga pada Susi Susanti dan Alan Budikusuma. Romo Gun memberkati perkawinan Susi Susanti di Gereja Santo Yakobus Kelapa Gading pada 9 Februari 1997.

 Romo Gun juga menjadi tamu VVIP bersama para pejabat negeri ini, ketika sorenya diadakan resepsi di Ballroom Hotel Gran Melia Kuningan. 4.000-an tamu hadir pada resepsi pernikahan Susi Susanti dan Alan Budikusuma.

Foto dirinya memakai kasula, bersama Susi dan Alan, terus terpajang di meja kerjanya.

Kemanapun Romo Gun pindah, foto itu selalu menemaninya. Padahal foto Romo Gun dengan Paus Yohanes Paulus II saja tidak selalu di pajang di kamarnya.

Memang benar, kata Paus Fransiskus dalam homilinya pada Konsistorium pelantikan Kardinal Suharyo:

Compassion is a keyword in the Gospel.  It is written in Christ’s heart; it is forever written in the heart of God. The more we read, the more we contemplate, the more we come to realize that the Lord’s compassion is not an occasional, sporadic emotion, but is steadfast and indeed seems to be the attitude of his heart, in which God’s mercy is made incarnate”.

Susi Susanti memiliki “hati”, punya passion dan compassion yang luar biasa pada bulu tangkis, pada hidupnya, pada penghayatan imannya sebagai orang Katolik.

Kendati ia dibaptis Katolik dengan nama Lucia Fransiska, membawa rosario ke mana-mana, dan… membuat tanda salib sehabis memenangkan medali emas bulutangkis Olimpiade Barcelona 1992, akhirnya yang ia “proklamasikan” adalah: “I am Indonesian ! I always be.”

Karenanya, Susi pantas kita syukuri sebagai teladan compassion yang diamanatkan Tuhan, dikotbahkan Paus Fransiskus dan dihidupi pula oleh Kardinal Suharyo dengan sungguh-sungguh. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here