GEREJA Katolik Santa Maria Ratu di Blok Q yang lazim disebut Gereja Santa menjadi tempat bagi khalayak ramai memberi penghormatan terakhir kepada almarhum Prof. Anton M. Moeliono secara katolik. Tak seperti lazim kebanyakan orang meninggal yang mengusul label misa requiem (duka), untuk almarhum Prof. Moeliono sengaja memilih nama lain: misa kebangkitan.
Tiga imam konselebran memimpin ekaristi di Gereja Blok Q, Rabu (27/7) 2011, dimana peti jenazah Prof. Moeliono disemayamkan persis di muka altar. Berdiri di balik meja altar adalah konselebran utama Romo Adi Prasojo, Romo Marten Jenarut, dan Romo Yoseph Perdhu.
Selain keluarga besar almarhum yang duduk di barisan bangku terdepan, ada beberapa tokoh mantan pejabat negara ikut hadir memberi penghormatan terakhir bagi Prof. Moeliono. Tampak berbaur Prof. BS Mulyana – mantan Menteri Muda/Wakil Kepala Bappenas era Kabinet Pembangunan V, tokoh CSIS Hari Tjan Silalahi, pengamat politik J. Kristiadi, Ketua APTIK (Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik) Ir. Djoko Pranoto, Sekjen KWI Romo Edy Purwanto, mantan Pemred Majalah Hidup Romo Fl. Subroto Wijoyo SJ.
Hadirnya sejumlah mantan pejabat tinggi dan para romo menandakan almarhum Prof. Anton M. Moeliono sudah mewujudkan imannya secara benar selama hidup dan masa pengabdiannya kepada bangsa dan negara, baik sebagai warna negara yang budiman sekaligus sebagai anggota Gereja yang berlaku benar dan adil.
Yerusalem Baru
Dalam homilinya, Romo Marten Jenarut menghubungkan Bacaan Pertama (Wahyu 21: 1-5A, 6B-7) tentang “Yerusalem Baru” dengan Bacaan Injil (Yoh 14: 1-7): “Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup”. Kerajaan Surga disimbolkan sebagai Yerusalem Baru pada Kitab Wahyu dan itu harus diraih melalui “jalan penderitaan” sebagaimana dialami Yesus sendiri sebagaimana dikisahkan dalam Injil.
Pertanyaan yang terbetik adalah “Apa yang bisa dilakukan manusia untuk mendapatkan keselamatan dan keberpihakan dari Yesus?”. Jawabannya adalah percaya dan iman.
Ada tiga unsur di situ. Satu, saya perlu tahu tentang Yesus; dua, saya yakin akan yang saya imani; dan tiga, saya membuktikan kepercayaan dan iman saya dengan berkomitmen kepada-Nya. “Almarhum Pak Anton Moeliono telah menunjukkan komitmen keilmuannya, sebagai bukti imannya. Maka kita percaya beliau berhak atas Yerusalem Baru juga,” kata Romo Marten.
Apa kata mereka?
Lalu apa komentar publik tentang sosok Prof. Anton M. Moeliono yang dikenal santun, sederhana, rendah hati namun visioner ini?
Romo Florentinus Subroto Widjojo SJ yang pernah membesarkan Majalah Hidup dan mantan chaplain untuk religious ministry di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta punya kisah cerita sendiri. Menurut romo yesuit kelahiran Yogyakarta ini, perkenalannya dengan almarhum Prof. Anton terjadi puluhan tahun silam, ketika dia masih menyandang status romo muda alias frater. Pertemuan berlanjut dan makin intensif terjadi setelah menerimah tahbisan imamat dan kemudian ditugaskan menjadi pastor mahasiswa di Universitas Atma Jaya Jakarta.
“Kesan mendalam yang tertanam tentang alharmum Prof. Anton Moeliono adalah sosok pribadi Indonesia yang sangat nasionalis. Senang menggunakan Bahasa Indonesia. Bolehlah dibilang –menurut istilah Mgr. Soegijapranata SJ—almarhum adalah garam asin di dunia dan menghayati spiritualitas katolik di tanah air Indonesia: 100% katolik, 100% Indonesia,” tutur Romo Broto.
Salah seorang adik almarhum yang kini berprofesi sebagai dokter di RS Borromeus Bandung punya kesan menarik. Mewakili pihak keluarga, dokter senior ini berkisah, sungguh beruntung semua anggota keluarga dianugerahi Tuhan tingkat intelegensi yang lumayan tinggi. “Tanpa terkecuali, juga almarhum Pak Anton M. Moeliono,” ungkapnya di mimbar altar Gereja Paroki Blok Q.
Yang selalu diajarkan adalah memelihara komitmen dengan kedisiplinan tinggi. “Juga peduli dengan orang lain,” sambung dokter ini seraya menambahkan nukilan kenangan ini disampaikan oleh Paul, sang adik almarhum yang kini menetap di Belanda.
“Maka ketika Prof Anton M. Moeliono gerah (sakit), yang menjadi beban pikiran almarhum adalah para mahasiswa kandidat doktor yang tengah beliau bimbing,” terangnya.
Yang lucu, tambah pak dokter ini, sewaktu mereka masih kecil, “Kami yang laki-laki sudah main-main mengadakan misa. Dan almarhum selalu memerankan diri sebagai romo dan mendapuk adik-adiknya menjadi misdinar.”
Sosok baik untuk dikenang
Kalau berbagai kalangan menyediakan diri hadir “menemani” almarhum Prof Anton M. Moeliono dalam perjalanan abadi menuju hadirat Tuhan melalui ekaristi, sudah barang tentu sosok Prof. Moeliono adalah pribadi yang layak dikenang. Selain berkiprah ikut membangun berdirinya Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Prof. Anton M. Moeliono juga ikut membidani lahirnya Yayasan Bhumiksara.
Dari tangan almarhum Romo Prof. Dr. AM Kuijlaars Kadarman SJ dan sejumlah rekanya –termasuk almarhum Drs. Frans Seda dan almarhum Prof. Anton M. Moelinono— maka lahirlah Yayasan Bhumiksara. Maka tak heran, mantan Rektor Unika Atma Jaya Jakarta sekaligus para pengurus Yayasan Bhumiksara yakni Prof Dr. Bernadette Setiadi, Prof. Dr. Thomas Suyatno, dan manta Rektor Unika Atma Jaya Ibu Dra. Mariana Setiadarma juga tampak di antara kerumunan para pelayat yang menyemut memadati sudut-sudut Gereja Santa di Blok Q, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Tak ketinggalan juga RektorUnika Atma JayaJakarta saat ini, Prof. FG Winarno, juga turut hadir bersama jajaran pengurus akademiknya.
Corpus Domini nostri Jesu Christi custodiat animam suam in itam aeternam. Amen
(Semoga tubuh Tuhan kami Yesus Kristus mengantar jiwa ini kedalam kedamaian abadi. Amin)
Royani Lim, alumnus program sarjana studi ekonomi di University of Melbourne (2007) dan kini bekerja di sebuah lembaga nirlaba di Jakarta.