Protes Pemakaman Mgr. Julianus Sunarka SJ: Mengapa di Girisonta, bukan di Kaliori?

4
2,299 views
Pater Jenderal SJ Arturo Sosa Abascal SJ bersama Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, Uskup Agung KAS Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Mgr. Julianus Sunarka SJ, Provinsial SJ Romo Petrus Sunu Hardiyanta SJ. (Markus Sumartana)

SEBUT saja namanya X. Seorang bapak dari Gombong ini dua kali mengirim notifikasi kepada Sesawi.Net sepanjang dua hari terakhir ini.

Ia “protes.” Mengapa jenazah Mgr. Julianus Sunarka SJ –karena pernah menjadi Uskup Keuskupan Purwokerto– tidak dimakamkan di Kaliori, Banyumas. Tapi malah di Kerkop Girisonta.

Tentu, “protes” ini bukan sembarang protes. Melainkan lebih menunjukkan rasa cinta tulus kepada almarhum Mgr. Julianus Sunarka SJ.

Dicintai umat Keuskupan Purwokerto

Sudah menjadi pengetahuan banyak orang seantero wilayah pastoral Keuskupan Purwokerto, almarhum Mgr. Julianus Sunarka SJ ini sungguh dicintai oleh semua kalangan umat di keuskupan ini. Tua-muda, ibu-ibu dan bapak-bapak; juga kaum remaja.

Para imam diosesan pun sangat mencintai Mgr. Julianus Sunarka SJ. Itu karena nasib dan “karier” mereka sungguh diperhatikan. Antara lain dengan keinginan beliau agar semua pastor diosesan Keuskupan Purwokerto harus lulus Strata-2.

Konon, “terobosan baru” ini kemudian ditiru oleh banyak keuskupan lainnya. Semua pastor harus lulus S-2.

Ungkapan sayang dan hormat

Nah, kembali pada soal protes tadi. Bapak X ini dengan nada serius memprotes keputusan pemakaman jenazah Mgr. Sunarka di Girisonta. Bukan di Kaliori. “Padahal, jenazah Uskup Keuskupan Purwokerto sebelumnya yakni Mgr. Paschalis Soedita Hardjasoemarta MSC saja juga dimakamkan di Kaliori,” begitu tulis bapak ini.

Selain alasan rasa hormat dan sayang kepada almarhum Mgr. Sunarka, protes itu dialamatkan karena umat Katolik Purwokerto mesti menempuh perjalanan sangat jauh kalau harus nyekar ke Girisonta.

Belum lagi kalau harus melewati Yogyakarta dari arah barat dan kemudian menyusuri jalan negara dari selatan menuju ke utara melewati Mlati, Muntilan, Magelang, Ambarawa, Bawen dan barulah akan sampai di Girisonta.

Ada akses lain yang lebih singkat dari Purwokerto menuju Girisonta. Namun harus ahli nyopir dan berangkat pagi atau siang untuk menghindari kabut. Yakni melalui Sumawana dan Bandungan baru kemudian “turun” ke Ambarawa atau Karangjati.

Kepada Sesawi.Net, seorang imam dari Keuskupan Purwokerto dengan jelas mengatakan bahwa “protes” itu sebenarnya mewakili seluruh alam kebatinan segenap umat Katolik segala lapisan umur dan sosial. Secara umum, seluruh umat Katolik di Keuskupan Purwokerto memang menyatakan “tidak terima”, mengapa jenazah Mgr. Julianus Sunarka SJ mesti “dijauhkan” dari mereka untuk bisa nyekar ziarah di pusaranya.

Ini bukan soal jauh saja, melainkan karena ungkapan rasa sayang dan hormat kepada Simbah Mgr. Sunarka SJ yang sebagai imam dan Uskup di Keuskupan Purwokerto selama 16 tahun telah berbuat banyak untuk Keuskupan, para imam diosesan, dan segenap umat Katolik.

Rasa nyesek di dada ini semakin besar di segenap Umat Katolik Keuskupan Purwokerto, ketika di masa pandemi Covid-19 ini, jumlah pelayat dibatasi hanya 20 orang saja.

Sejauh Sesawi.Net mendengar, Keuskupan Purwokerto kemarin hanya mengirim lima orang perwakilan untuk datang melayat dan mengikuti misa requiem di Gereja Santo Stanislaus Kotska Paroki Girisonta. Salah satunya adalah Uskup Mgr. Christophorus Tri Harsono.

Tradisi Jesuit

Mari kita bicara tentang –katakanlah– “tradisi” dalam Ordo Serikat Jesus.

Kolese St. Stanislaus di Girisonta ini memiliki beberapa “unit” komunitas atau pelayanan. Yakni, Novisiat SJ, Wisma Emaus untuk para Jesuit sepuh dan pensiun, Rumah Retret Girisonta atau Pusat Spiritualitas Girisonta.

Setiap Jesuit yang sudah purna karya –entah karena usia atau sakit berlanjut yang tak kunjung sembuh– pasti akan “pulang ke tempat di mana dulu lahir sebagai Jesuit” dan itu tempatnya ada di Girisonta. Tepatnya di Wisma Emaus.

Bahkan di Wisma Emaus ini pun, tidak semua “penghuninya” sudah sepuh dan senior. Bahkan ada imam yang boleh dibilang masih sangat “muda”, karena dia “lulusan” Novisiat SJ Girisonta tahun 1980 dan mengucapkan kaul pertamanya sebagai Jesuit tahun 1982.

Tapi karena sakit berlanjut dan sudah tidak mampu lagi berkarya, maka dia “pulang kembali ke tempat di mana dulu sebagai Jesuit dia terlahir”.

Itulah sebabnya, ketika Mgr. Julianus Sunarka SJ mengajukan pensiun sebagai Uskup karena kondisi kesehatannya sangat menurun, beliau “kembali ke tempat di mana dulu terlahir sebagai Jesuit”.

Semua Jesuit Indonesia “lahir” dari Girisonta dan akan kembali ke Girisonta. Dan pakem tradisi ini akan selalu terjadi, kalau nantinya mereka ini sudah sepuh, tak mampu berkarya lagi, dan juga meninggal dunia. Karena itu, semua Jesuit yang meninggal dunia akan dimakamkan di Kerkop Girisonta.

Kerkop Girisonta juga menjadi tempat istirahat abadi bagi Mgr. Leo Soekoto SJ (Uskup Keuskupan Agung Jakarta).

Memang ada sedikit “kekecualian”. Jenazah Romo Albrecht Karim Arbie SJ dan Romo Dewanto hingga kini masih berada di Timor Leste. Mereka mati ditembak dalam kisruh politik pasca jajak pendapat di Provinsi Timtim –kini Timor Leste– di tahun 1999. Karena kondisi politik yang tidak kondusif pada waktu itu, keputusan harus diambil: jenazah kedua imam Jesuit Provinsi Indonesia ini secepatnya dimakamkan di Timor Leste.

Almarhum Romo Dewanto SJ adalah Jesuit Indonesia kelahiran Magelang. Sedangkan, Romo Albrecht SJ adalah imam Jesuit sudah WNI namun berdarah Jerman. Di Jakarta, almarhum Romo Albrecht lama menangani Lembaga Daya Darma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta dan Gereja St. Annna Duren Sawit, Jaktim. Dia dikenal ahli credit union atau koperasi.

Hingga kini belum ada kabar, apakah sekali waktu kedua jenazah Jesuit Indonesia itu akan dibawa pulang ke Girisonta atau tidak. Tentu prosedurnya akan panjang karena sekarang ini melewati protokoler diplomatik antarnegara dan antarpemerintahan.

Kerkop Muntilan

Dulu sekali, sejumlah imam dan bruder Jesuit dimakamkan di Kerkop Muntilan –tempat Romo Sandjaja dimakamkan. Taruhlah itu Romo Joseph Stuffer SJ yang meninggal dunia tertabrak motor di depan Gereja Maria Fatima di Magelang tahun 1980-an. Demikian pula Romo Pabst SJ juga beristirahat dalam damai di Kerkop Muntilan.

Romo Pabst SJ pernah berkarya sebagai pastor paroki di Tanjung Priok dan kemudian menjadi minister di Seminari Mertoyudan di tahun 1980-an. Ia meninggal karena serangan jantung, beberapa jam sebelum harus berangkat ke luar pulau Jawa untuk sebuah acara bimbingan retret para suster.

Jadi, kesimpulannya adalah memang semua Jesuit Indonesia –kalau meninggal– pasti akan selalu dibawa ke Girisonta dan dimakamkan di tempat di mana dulu mereka “terlahir” sebagai Jesuit.

4 COMMENTS

  1. Terima kasih Pak Hariyadi untuk penjelasan dari pertanyaan saya terdahulu, saya yakin tidak sedikit umat katolik & bahkan umat agama lain di Keuskupan Pwt yg kecewa mengapa jasad Uskup Sunarka dimakamkan jauh dari tanah perjuangannya: Banyumas Raya. Sangat disayangakn, karena sebuah tradisi menjauhkan kami dari panutan kami, sehingga kami hanya bisa mengenang & mencoba meneruskan semangat beliau lewat foto saja.

    Salam dari saya warga di Paroki St. Mikael Gombong.

    • Benar sekali Bapak. Mgr juga mengontak kami menjelaskan situasi kebatinan tersebut. Sayan juga kita masih dalam suasana pandemi sehingga jumlah pelayat pn dibatasi sampai hanya 20 orang saja. terima kasih pak

  2. Saya juga umat St. Paulus Wonosobo, wilayah Keuskupan Purwokerto. Sekedar menanggapi artikel mengenai pro kontra tempat pemakaman Romo Narko. Bahwasan nya Romo Narko sendiri pernah mengutarakan kepada saya pribadi mengenai Tempat Pemakaman nya kelak ketika beliau sudah di panggil Tuhan dalam keabadian, waktu itu tgl 25 Februari 2018, saya beserta keluarga mengunjungi Romo Narko di Wisma Emaus Girisonta. Waktu itu kebetulan saya berdua berjalan bersama Romo Narko di area Kerkop Bunda Maria Ratu Damai. Beliau mengatakan dalam bahasa jawa nya yg khas, “Sesuk aku nek mati, neng kene ki kuburanku.” saya sendiri juga agak kaget mendengar ujaran beliau waktu itu, ada perasaan tidak terima juga, sama seperti yg dialami Bapak dari St. Mikael Gombong tersebut. Saya tanggapi kata² beliau, ” Lho Mo, kok gak di Kaliori, sama kayak Romo Harjosumarto dulu (Uskup Purwokerto sebelum Romo Narko), dan jawaban Romo Narko waktu itu adalah “Ora ah, aku ndisik lair ning kene, yen matiku yo ugo dikubur ning kene. Aku yo melu mbangun kuburan iki, mulo dadi apik to? ” entah pengertian mbangun seperti apa yg dimaksud Romo Narko waktu itu, mungkin mbangun dalam arti ide pemikiran mengenai konsep pembangunan/renovasi Komplex Makam Romo² Jesuit tersebut menurut saya, ( memang kondisi Kerkop tersebut terlihat bersih, rapi, sejuk, tertata rapi di tiap² batu nisan nya, di bagian selatan makam terpampang lukisan timbul yg sangat indah, bergambar Bunda Maria, Malaikat Tuhan dsb) dan jawaban Romo yg pertama tadi sudah jelas melukiskan mengenai salah satu tradisi Imam Jesuit yg sudah dijelaskan Pak Hariyadi. Dan beberapa pesan yg saya ingat betul, yg Romo Narko sampaikan kepada kami waktu itu, 1.”Mbok aku ki sok ditilekki, halah paling jarak Wsb-Smg ki yo ora adoh to?”. 2.”Mbok Romo² mu sing wes teng kleler, penyakiten, ora iso opo² ki yo mbok sok ditilek’i, ora mung nek sehat tok, Romo ne disanjung² koyo Artis, kolo²….ora mung ziarah ning Gua² Maria tok”. Ketika saya menulis 2 pesan Romo Narko ini, saya mrebes mili, sosok beliau dengan tutur katanya yg ceplas-ceplos, thok lean, persis ketika beliau menyampaikan homilinya di altar, pesan itu begitu nyubles hati saya, memang saat itu Romo Narko juga mengajak kami berkeliling Wisma Emaus, dan di dalam Wisma Emaus tersebut ada beberapa Romo yg memang sudah sepuh, sudah masuk masa purna tugas, ada juga Romo² Muda yg terpaksa sudah masuk di Wisma Emaus krn kondisi sakit, respons Romo² yg sedang sakit ini terlihat bahagia ketika kami berkunjung serta mendoakan mereka. Dan semoga pesan ini juga sampai kepada umat² lainnya, tidak hanya Keuskupan Purwokerto saja yg notabene pernah menjadi Gembalaan nya Romo Narko selama 16 thn, tetapi juga bagi Umat² Katolik lainnya. Kalau pas perjalanan ke arah Semarang atau sebalik nya, kita melewati Girisonta, ada baiknya kita sempatkan mampir sejenak ke Girisonta, walopun hanya untuk sekedar nyekar ke makam Romo Narko. Dan juga kalau pas kita ada rejeki, ada kesehatan yg cukup mari kita sempat kan juga untuk menjenguk, menengok atau mengunjungi Romo² kita yg mohon maaf dalam tanda petik sudah masuk kotak/sudah jarang kelihatan bertugas, baik itu sudah pensiun atau sedang sakit. Pasti mereka akan sangat senang dg kedatangan kita, gak menyangka bahwa mereka masih diperhatikan umatnya.
    Saya rasa sekian tanggapan dari saya Umat di Paroki St. Paulus Wonosobo.
    Selamat Jalan Romo Narko, Selamat Berbahagia bersama Bapa dan Semua Orang Kudus Di Surga, tetaplah menjadi Pendoa bagi kami umatmu yg masih dalam Peziarahan kami ini, amin.

  3. Ada satu makam Imam Jesuit Belanda di pemakaman Belanda Peneleh Surabaya, yaitu makam Pastor Martinus Van Den Elzen, SJ. Beliau termasuk romo pelopor perkembangan gereja Katolik di Surabaya dan Jatim. Tp sepertinya makamnya terkesan kesepian, di bekas pemakaman yg sekarang jd situs sejarah pemkot Surabaya. Yang jadi pertanyaan, para Jesuit tahu tidak soal makam ini? Mengapa dibiarkan sendiri di sana, tidak adakah usaha dipindahkan? Sedangkan Romo2 CM awal sebagai penerus karya Jesuit saja sdh dipindah dr pemakaman Kembang Kuning ke pemakaman para Romo CM di Puhsarang Kediri, mengapa makam Romo yang ini seperti tidak ada yg mengurus.. Kasihan sekali, semoga sudah bahagia di surga Rm Martinus SJ. Amin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here