Pulang dan Hadapi, Selamatkan Perkawinan

0
329 views
Ilustrasi (Ist)

Renungan Harian
Sabtu, 17 April 2021
Bacaan I: Kis. 6: 1-7
Injil: Yoh. 6: 16-21e

SORE itu, saya menerima sepasang suami-isteri dengan dua anaknya yang sudah remaja. Mereka meminta berkat untuk keluarganya dan minta penjelasan bagaimana agar bapak (pihak suami) dapat kembali ke gereja. 

Kedatangan mereka yang paling penting sebenarnya untuk mengucapkan terima kasih karena dalam perjumpaan dengan saya dua tahun lalu membuat keluarga mereka utuh kembali.

Sesungguhnya saya sudah lupa dengan bapak itu dan peristiwanya.

Ketika bapak itu mulai bercerita soal perjumpaan dengan saya waktu itu, nah itu menjadikan saya ingat peristiwa yang terjadi.
 
Entah berapa tahun yang lalu (dua tahun lalu menurut bapak itu) seorang bapak datang menyampaikan persoalannya.

“Romo, rumah tangga kami di ambang kehancuran. Setiap hari keluarga kami selalu diwarnai dengan keributan; apa pun bisa menjadi sebab terjadinya keributan. Isteri saya seperti sudah tidak mau tahu lagi dengan urusan keluarga, dia selalu pergi dan pergi entah kemana dengan teman-temannya. Anak-anak ditinggalkan begitu saja; untung ada ibu mertua yang tinggal bersama kami sehingga bisa mengurus anak-anak.
 
Romo, sekarang ini saya kerja di sini. Sebenarnya saya minta agar saya ditugaskan di tempat ini untuk menghindari isteri saya. Saya merasa, kalau saya tetap berkumpul dengan isteri saya, maka saya seperti orang yang bunuh diri pelan-pelan.
 
Romo, sesungguhnya, perkawinan kami bukan perkawinan Katolik. Saya menikah di luar gereja. Mungkin karena itu Romo, perkawinan kami seperti dikutuk ,karena saya lari dari gereja.

Romo, kalau saya bercerai dengan isteri saya, apakah saya bisa kembali ke gereja dan nanti bisa menikah lagi di gereja?,” bapak itu menjelaskan maksud kedatangannya.
 
“Bapak, menurut saya, apa yang harus bapak lakukan sekarang ini adalah pulang, kembali dan hadapi persoalan rumahtangga Bapak.

Bapak telah memilih isteri sebagai teman hidup dan bapak sudah menjalani hidup sekian lama dengannya.

Maaf, Bapak mengatakan bahwa perkawinan seperti dikutuk karena menikah di luar gereja, tapi menurut saya tidak benar. Tuhan tidak pernah mengutuk.

Tuhan itu maha kasih. Jadi, sekali lagi mohon maaf, itu hanya alasan untuk melarikan diri.
 
Bapak segeralah pulang, belajar lagi mengerti dan belajar lagi bicara dengan isteri. Bapak harus berani untuk melihat diri sendiri.

Jangan-jangan yang menyebabkan isteri bapak selalu pergi dan tidak kerasan di rumah karena bapak.

Bapak, penderitaan, kesulitan harus dihadapi dan dipeluk, bukan dihindari. Kalau bapak mau memeluk semua itu, Tuhan pasti memberikan terang.

Dengan berani memeluk penderitaan, maka bapak membiarkan Tuhan untuk hadir dan terlibat dalam keluarga bapak,” saran saya kepada bapak itu.
 
Pada saat itu, saya tidak yakin apakah bapak itu menjalankan apa yang saya sarankan karena beliau sudah merencanakan untuk mau menikah lagi.

Maka saya bersyukur bertemu dengan keluarga itu.

Suami-istri itu -walau berbeda keyakinan iman- namun karena kesediaan untuk bersama-sama memeluk penderitaan maka mereka menemukan terang Tuhan dalam keluarga mereka yang terguncang.
 
Sebagaimana pengalaman para murid menjadi tidak takut lagi, saat menghadapi badai ketika mempersilahkan Yesus naik ke dalam perahu mereka.

“Mereka lalu mempersilahkan Yesus naik ke perahu, dan seketika itu juga perahu mereka sampai ke pantai yang mereka tuju.”
 
Bagaimana dengan aku?

Apakah dalam menghadapi badai hidup aku mempersilahkan Tuhan untuk masuk dalam perahu hidupku?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here