Renungan 9 September 2020: Mbah Po

0
628 views
Ilustrasi -Lampu kapal (ist)

Bacaan I: 1Kor. 7: 25-31
Injil: Luk. 6: 20-26
 
MBAH Po, demikian kami memanggil adik Kakek saya. Siapa nama lengkap beliau, sampai sekarang saya tidak pernah tahu. Karena sejak kecil, saya memanggil dengan sebutan itu.

Saya selalu senang kalau main ke tempat beliau, karena di sana saya boleh main di sawah, naik kerbau dan ikut memandikan kerbau di sungai.

Rasanya menikmati kebebasan yang luar biasa.
 
Sore itu Mbah Eedok (nenek) sedang masak di dapur, beliau menanak nasi dan memasak sayur serta menggoreng ikan hasil tangkapan Pak Juyan (paman).

Mbah Lanang (kakek) membereskan alat pertanian, sedang Pak Juyan mengisi “teplok”, “senthir” (lampu minyak) dan lampu petromax dengan minyak tanah.
 
Sehabis mahgrib, ruang tengah rumah  Mbah Po sudah terang oleh nyala lampu petromax, sedang tempat-tempat lain terang karena “teplok” dan “senthir”.

Di meja makan yang sederhana Mbah Wedok menata makanan yang akan kami makan malam itu.
 
Ketika kami sedang duduk-duduk di ruang tengah, tiba-tiba ada tetangga datang.

“Wo, sih gadhah uwos? Ajeng nyuwun riyin,” kata tamu itu. (Budhe, masih punya beras? Mau minta dulu).

“Lha ngopo nduk kok bengi-bengi nggolek beras?,” tanya Mbah Wedok. (Ada apa nak kok malam-malam cari beras?).

“Nika, onten tamu besan king kitha, gek ndilalah angsale masak pun dha ditedhi”. (ada tamu besan dari kota, dan kebetulan masakan kami sudah kami makan).

“Walah, yen beras wis entek nduk, nek gabah okeh,” (waduh, kalau beras sudah habis, tetapi kalau gabah masih banyak).

Dhuh, pripun nggih,” (waduh bagaimana ya).

Wis, kae sega leh ku bar adang gowonen, aku ya bar kelan jangan lombok digawa sisan. Mesaake tamu seka adoh,” (udah nasi di meja itu dibawa dan sayur yang aku masak tadi dibawa sekalian. Kasihan tamu dari jauh).

Nuwun nggih Wo,” (terima kasih budhe).

Tetangga itu pergi dengan membawa nasi dan masakan yang sudah disiapkan untuk makan malam.
 
Setelah tamu itu pergi, mbah lanang ke kebon membawa teplok mencabut singkong dan mbah wedok menyiapkan api untuk merebus singkong.
 
Malam itu kami hanya makan singkong rebus karena nasi, sayur dan ikan goreng semua dibawa tetangga.
 
Sikap dan tindakan Mbah Po, bagi saya adalah sikap dan tindakan yang luar biasa. Kemurahan dan ketulusan hati, yang semakin langka pada masa sekarang. Kerelaan untuk menyerahkan “kemewahan” yang akan dinikmatinya untuk orang lain.

Mbah Po bagi saya mewakili banyak orang miskin yang kaya. Dalam kesederhanaan dan keterbatasan  tetapi selalu ada hati untuk orang lain.
 
Kiranya orang-orang seperti itu yang dipuji oleh Yesus sebagaimana diwartakan St. Lukas: “Berbahagialah orang yang miskin, karena kalianlah yang empunya Kerajaan Allah.”
 
Bagaimana dengan aku? Adakah dorongan untuk selalu menyediakan hati untuk orang lain?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here