Renungan – Doa yang Menyadarkan

0
299 views
Romo Danang Sigit Kusworo Pr.
  • Kis 16: 22-34;
  • Yoh. 16: 5-11.

DOA bisamengubah segala sesuatu. Benarkah itu?

Kalau benar doa mampu mengubah banyak hal, mengapa banyak perilaku keagamaan kadang kurang mencerminkannya?

Bahkan diri ini tak selalu  bebas dari kepentingan pribadi yang kadang masih “egoistis”. Kadang juga masih terlihat kecenderungan pengelompokan yang terkesan agak “eksklusif”. 

Pernah terdengar juga ada rintangan tertentu, bila seseorang ingin melibatkan diri dalam sesuatu kegiatan atau ingin bergabung dengan kelompok tertentu.

“Oh, boleh kok, tapi…”

“Ah, janganlah…,” kataku. “Kita kan sudah akrab… Kita-kita sajalah”.

Atau pola-pola penolakan halus lainnya.

Intinya relasi

Doa itu relasi. Kekuatan mengubah terletak pada interrelasi antara pribadi itu sendiri. Kesadaran akan adanya, hadirnya yang lain sebagai yang lain, menyadarkan diri akan relasi macam apa yang ingin dibangun.

Dengan doa para rasul membangun relasi syukur dan derita yang mereka tanggung atas warta Injil yang dipercayakan kepada mereka.

“Tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka. Akan tetapi terjadinya gempa bumi yang hebat, sehingga sendi-sendi penjara itu goyah; dan seketika itu juga terbukalah semua pintu dan terlepaslah belenggu mereka semua.” ay 25-26.

Tiada yang mustahil dalam kekuatan doa yang berkenan kepada Allah.

Ujian doa

Dalam sebuah Retret Agung, ada tambahan meditasi tentang neraka dan dosa-dosa. Waktu yang disarankan adalah malam hari sebelum tidur.

Saya menyiapkan tempat di sudut kamar dengan menempelkan gambar wajah Yesus yang menderita.

Saya memulainya pukul 24.00.

Setelah persiapan, saya memulai meditasi selama 1 jam. Saya ingat pesan guru rohani: “Fokuslah.”

Saya memejamkan mata dan berjanji tidak akan membuka mata apa pun yang terjadi. Bagiku lebih gampang memejamkan mata.

Membuka mata bisa menjadi godaan untuk mengalihkan pikiran,  fokus.

Dalam meditasi itu, pengalaman-pengalaman yang “sulit diatur” oleh orangtua dan kadang “susah akur” dengan yang lain teringat kembali.

Umurku saat itu 20 tahun.

Saat doa, saya mendengar lukisan Yesus itu jatuh. Hati saya ingin membiarkan. Namun mata kebuka sedikit dan terlihat masih menempel.

Saya melanjutkan doa lagi, terdengar gambar itu jatuh. Saya tak menghiraukan. Fokus pada bahan doa.

Tiba-tiba saya mendengar sandal saya bergeser dan itu berkali-kali. Saya mulai merinding. Di belakang kamar saya itu adalah kuburan walau agak jauh.

Saya tetap konsentrasi dan sedikit takut. Seketika itu, saya lalu berkata, “Jangan ganggu. Saya lagi berdoa. Pergilah.”

Lalu saya melanjutkan doa dan tidak ada gangguan.

Saya merasa berhasil dalam doa. Artinya menemukan beberapa “dosa” masa lalu, seturut pemahamanku saat itu.

Kalau kupikirkan kembali apa yang dianggap dosa saat itu, maka itu tak lain dari pada kecenderungan-kecenderungan yang tidak baik.

Doa menjernihkan pikiranku, namun memunculkan rasa sesal. Doa menenangkan hati, karena mengalami pengalaman akan Allah.

Allah yang lebih memahami dari pada menghakimi.

Yesus memberi kekuatan baru.

“Aku akan mengutus Roh Penghibur. Kalau Ia datang, Ia akan menginsafkan dunia akan dosa,  kebenaran dan penghakiman; akan dosa, karena mereka tetap tidak percaya kepada-Ku; akan kebenaran, karena Aku pergi kepada Bapa dan kamu tidak melihat Aku lagi; akan penghakiman, karena penguasa dunia ini telah dihukum.”, ay 7b-11.

Tuhan, dalam doa, Engkau sedikit demi sedikit menyadarkanku akan kebaikan-Mu. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here