PW. St. Kornelius, Paus dan Siprianus, Uskup
Bacaan I: 1Kor. 12: 31-13: 13
Injil: Luk. 7: 31-35
SETIAP kali sampai gereja, bapak itu akan memarkirkan mobil dekat pintu gereja. Begitu mobil berhenti, anak laki-laki usia SMP turun, membuka bagasi, dan menurunkan kursi roda.
Sementara, bapak itu membuka pintu penumpang, menggendong istreinya untuk didudukan di kursi roda yang sudah disiapkan anak laki-lakinya. Kemudian anak itu mendorong ibunya masuk gereja, sementara bapak memarkirkan mobilnya di tempat yang semestinya.
Saat selesai mengikuti perayaan ekaristi, mereka akan keluar dari gereja. Terakhir. Bapak akan mengambil mobil dan di parkir dekat pintu gereja. Bapak itu menggendong isterinya untuk didudukan di kursi penumpang. Sementara, anak laki-laki itu melipat kursi roda dan menyimpan di bagasi.
Pemandangan itu selalu saya lihat setiap kali keluarga itu ke gereja. Saya belum pernah tanya ibu itu sakit apa.
Dari beberapa kali ketemu, ibu itu nampak lemah. Namun wajahnya selalu segar dan penuh senyum. Pemandangan yang memprihatinkan, akan tetapi bagi saya menampakkan kasih yang luar biasa.
Pada suatu kesempatan saya melihat bapak itu ke gereja sendirian, maka saya menyapa:
“Lho kok sendirian, ibu dan putera ke mana?”
“Isteri saya baru tidak enak badan Pastor. Tadi pagi muntah-muntah, maka saya meminta anak saya untuk menjaga mamanya.”
Setelah selesai misa, saya sengaja menemui bapak itu dan bertanya, sesungguhnya ibu sakit apa.
Bapak itu kemudian bercerita: “Pastor, isteri saya awalnya menjadi korban tabrak lari saat dia ke kantor mengendarai sepeda motor. Karena kecelakaan itu, isteri saya koma. Padahal waktu itu, anak saya masih bayi. Hampir tiga tahun isteri saya koma dan dirawat di rumah sakit. Setiap hari, pagi saya kerja sampai sore, sedang anak diasuh oleh ibu saya. Sore hari saya ke rumah sakit untuk menemani istri saya.”
“Setiap saya menemani isteri, saya selalu cerita tentang keadaan rumah, tentang pekerjaan saya. Dokter dan perawat selalu mengatakan bahwa isteri saya sudah tidak dapat berkomunikasi. Tetapi saya yakin, bahwa dia masih bisa mendengarkan saya. Saya punya keyakinan entah kapan isteri saya pasti sadar.”
“Banyak orang selalu menasehati saya agar saya pasrah dan merelakan dia pergi. Menurut mereka ketidak relaan saya menjadi beban bagi dia untuk pergi menghadap Tuhan. Saya tetap yakin, bahwa isteri saya entah kapan akan sadar. Sebelum pulang dari rumah sakit, saya selalu mengajak isteri saya berdoa.”
“Tuhan mendengarkan doa kami. Tiba-tiba isteri saya bisa menangis dan menggerakkan tangannya. Sejak itu perkembangan kesehatan isterinya menjadi cepat dan akhirnya boleh pulang, meski kakinya belum kuat untuk menahan tubuhnya.”
Tanpa terasa, air mata saya menetes mendengar kisah bapak yang luar biasa itu. Cintanya yang luar biasa menumbuhkan keyakinan akan pulihnya sang isteri. Cinta yang luar biasa menumbuhkan iman yang luar biasa pula.
Sebagaimana dikatakan St. Paulus kepada umat di Korintus: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini: iman harapan dan kasih; namun yang terbesar di antaranya ialah kasih.”
Adakah iman, harapan dan kasih dalam diriku?