Renungan Harian 20 November 2020: Pamrih

0
445 views
Ilustrasi - Menjadi politisi. (Ist)


Bacaan I: Why. 10: 8-11
Injil: Luk. 19: 45-48
 
BEBERAPA tahun yang lalu setelah makan malam, saya menemui tamu seorang bapak. Saya mengenal bapak tersebut sebagai salah satu orang yang aktif dalam berbagai kegiatan di paroki. Bukan hanya saja aktif, bapak tersebut juga beberapa kali memberi sumbangan untuk acara-acara di paroki.
 
Bapak tersebut sebenarnya aktif ikut kegiatan di gereja baru kurang lebih selama 6 bulan ini. Sebelumnya saya tidak mengenal bapak itu, meski saya sudah beberapa tahun bertugas di paroki ini. Karena memang bapak tersebut tidak pernah muncul di gereja.
 
Malam itu, bapak tersebut menyampaikan bahwa dirinya akan maju menjadi anggota parlemen, beliau minta restu dan dukungan.

Mendengar permintaan tersebut, saya menjawab bahwa saya dengan senang hati mendoakan dan mendukung niat baik bapak tersebut. Kemudian beliau meminta dukungan konkret dari saya.

Bentuk dukungan konkret yang beliau minta adalah sebuah surat pernyataan dan imbauan bahwa pastor mendukung bapak tersebut dan meminta umat untuk memilih dia.

Itu yang pertama. Dukungan berikut adalah bapak itu minta dalam beberapa kesempatan mengisi kotbah dalam Perayaan Ekaristi untuk menyampaikan visi misi serta meminta dukungan umat untuk memilih beliau.
 
Atas permintaan bapak tersebut saya menjawab:

“Bapak, mohon maaf permintaan bapak untuk dua bentuk dukungan konkret tidak bisa saya penuhi. Bahwa saya mendukung bapak untuk maju menjadi anggota parlemen, tidak berarti saya bisa menerbitkan surat tersebut karena hal itu akan menyeret Gereja ke dalam politik praktis, dan lagi pasti ada umat lain yang mau maju atau punya calon yang lain.
 
Permintaan kedua sudah pasti tidak bisa dipenuhi karena dalam peribadatan jangan dicampur adukan dengan politik praktis. Jangan menjadikan Gereja dan ekaristi sebagai sarana untuk kampanye. Saya akan memberi ruang dan kesempatan tetapi tidak dalam ekaristi.”
 
Mendengar jawaban saya, bapak tersebut menjadi kecewa dan marah. Beliau dengan keras mengatakan bahwa dirinya sia-sia selama ini aktif di gereja mengorbankan waktu, tenaga dan materi kalau tidak bisa mendapatkan dukungan.

Beliau menyatakan bahwa saya tidak punya rasa terimakasih dan tidak tahu balas budi. Di ujung kemarahannya bapak itu mengatakan, dirinya tidak akan terlibat di gereja lagi.
 
Saya diam mendengarkan kemarahan bapak tersebut. Hampir selama 1 jam bapak itu marah dan menceramahi saya pentingnya balas budi dan rasa terima kasih atas pengorbanan beliau.

Tidak ada satu katapun keluar dari mulut saya menjawab kemarahan bapak itu, sampai kemudian beliau pergi tanpa pamit.
 
Saya sedih mengalami peristiwa tersebut. Sedih bukan karena dimarahi dan dicela, tetapi sedih karena ada orang yang mengungkapkan dan mewujudkan imannya hanya demi kepentingan pribadi sesaat. Demi sebuah ambisi dan pencitraan.
 
Kiranya hal ini yang dikritik Tuhan dengan dengan bersabda: “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kalian telah menjadikan sarang penyamun” sebagaimana diwartakan St. Lukas.
 
Bagaimana dengan aku?

Untuk apa aku ikut dalam peribadatan dan aktif dalam kegiatan Gereja?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here