Renungan Harian 25 September 2020: Nggege Mangsa

0
836 views
Ilustrasi - Dandang untuk memasak nasi di atas keren anglo. (Ist)


Bacaan I: Pkh. 3: 1-11
Injil: Luk. 9: 19-22
 
WAKTU itu, saya pulang sekolah lebih awal dari biasanya. Hari itu guru-guru ada rapat, sehingga semua murid dipulangkan. Sesampai di rumah, saya bilang ke ibu kalau saya lapar. Mungkin kebiasaan pulang sekolah itu makan, jadi meski pulang lebih awal saya merasa lapar.
 
Ibu menjawab bahwa nasinya belum masak. Ibu baru selesai “ngaru”. Pada masa itu belum memakai rice cooker. Ibu meminta saya untuk membantu meletakan “dandang” (tempat untuk menanak nasi) ke atas “anglo” dan berpesan kalau sudah bunyi “kemrengseng” (bunyi air mendidih) agar memberi tahu ibu.

Waktu itu, ibu sedang sibuk menjahit.
 
Rasanya menunggu nasi menjadi masak, lama sekali, karena perut sudah keroncongan. Beberapa kali, saya bertanya pada ibu: “Bu, wis mateng?” (Bu, nasi sudah masak?) karena saya beberapa kali bertanya, ibu berhenti menjahit dan menasehati saya.
 
“Mas, jadi orang itu harus sabar. Masak nasi itu ada aturannya agar nasi tanak (benar-benar masak). Kalau dipaksakan nasi menjadi tidak enak dan bisa bikin sakit perut. Nanti, kalau sudah besar, apapun harus sabar dan ikut aturannya (prosesnya) “aja nggege mangsa tundhane ora becik” (jangan mendahului/memaksakan waktunya, jalan pintas nanti akhirnya tidak baik). Semua ada waktunya, meskipun menunggu itu tidak enak bahkan menyakitkan tetapi kalau waktunya tiba semua menjadi baik.
 
Mas, nanti kalau sudah besar, kalau merasakan hidup itu sulit, gelap dan penuh derita, jangan “nggege mangsa” jalani semua dengan sabar dan ikhlas. Asal kita mau berusaha dan berjuang, waktunya akan datang, kesulitan akan teratasi, gelap berubah menjadi terang dan penderitaan menjadi kebahagiaan. Tetapi semua itu ada waktunya, jadi kalau sudah tiba waktunya semua itu membahagiakan.”

Ibu mengakhiri nasihatnya.
 
Waktu itu saya tidak mengerti apa yang ibu katakan pada saya, baru setelah ibu pergi, saya menyadari nasehat yang amat bagus dari ibu.

Ada kecenderungan dalam diriku tidak sabar, “grusa-grusu” dan instan. Lupa bahwa segala sesuatu ada prosesnya dan ada waktunya.

Cepat belum tentu menjadi lebih baik demikian pula lambat belum tentu menjadi lebih buruk, semua tergantung proses yang dijalani.
 
Seperti kata Pengkhotbah dalam bacaan hari ini: “Untuk segala sesuatu ada waktunya…Allah membuat segala sesuatu indah pada waktunya.”
 
Bagaimana dengan diriku?

Mau dan rela untuk sabar dan tekun mengikuti dan menjalani proses?
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here