Renungan Harian 26 November 2020: Runtuh

0
490 views
Ilustrasi - Menggendong anak kecil. (Ist)


Bacaan I: Why. 18: 1-2. 21-23; 19: 1-3.9a.
Injil: Luk. 21: 20-28
 
BAPAK itu menggendong cucunya keluar gereja dengan bangga. Bapak itu akan memperkenalkan bahwa anak kecil yang dalam gendongannya adalah cucunya. Bapak itu akan tertawa sumringah saat setiap orang yang menyapanya selalu mengatakan bahwa cucunya ganteng dan lucu.
 
Orang yang mengenal bapak itu, selalu komentar: “Kok bisa ya?”.

Bahkan beberapa orang muda yang mengenal orangtua anak kecil sambil bercanda bicara ke orangtua anak kecil itu: “Bapakmu kesambet atau salah minum obat? Kok bisa berubah seperti itu?”

Pemandangan itu adalah pemandangan yang aneh bagi semua orang yang mengenal bapak itu.
 
Bapak dikenal sebagai orang yang galak dan angkuh. Orang yang suka mengkritik dan menegur. Banyak orang muda di gereja takut dengan bapak itu.

Bukan hanya orang muda, tetapi kebanyakan umat yang aktif terlibat di gereja takut dan tidak senang dengan gaya dan cara bapak itu menegur.

Orang yang suka mengkritik, tetapi kalau diingatkan akan marah dan menunjukkan kekuasaannya.
 
Lebih parah lagi beliau tidak senang dengan anak kecil. Kalau ada anak kecil menangis atau sedikit berisik di gereja, beliau dengan damai akan mendatangi orangtua anak yang nangis atau sedikit berisik itu dan marah-marah.
 
Bapak itu mendatangi saya dan menyapa saya sambil “memamerkan” cucunya.

“Wah hebat ini, kakek yang sayang dengan cucunya,” kata saya menyambut sapaannya.

“Wah pastor, cucu saya ini anugerah besar dalam hidup saya. Dia betul-betul mengubah hidup  saya,” kata bapak itu dengan bangga.

“Wah cucu hebat ini bisa mengubah kakek,” kataku menimpali
 
“Pastor, saya tahu dan sadar, saya ini orang yang keras, kasar dan angkuh. Saya selalu mau menang dan tidak akan ada orang yang bisa mengalahkan saya. Semua orang di rumah tunduk dengan saya. Saya juga tahu kalau banyak orang di gereja ini takut dan tidak suka dengan saya. Tetapi inilah saya, saya selalu menegakkan kebenaran, disiplin dan aturan.

Di rumah semua harus tunduk dengan aturan yang ada. Saya tahu dan sadar kalau semua orang di rumah amat takut dengan saya.
 
Pastor, ketika cucu saya lahir saya tidak begitu peduli, karena bagi saya bayi itu tanggung jawab orang tuanya. Mereka yang harus urus dan sebagainya. Saya juga tidak mau kalau bayi itu tinggal di rumah saya, main ke rumah tentu saja, tetapi sebaiknya tidak menginap, saya terganggu dengan suara tangisnya.
 
Sampai suatu saat, anak itu saat digendong mamanya melihat saya terus, saya juga lihat anak itu.

Dalam hati saya kenapa dia melihat saya terus? Apakah dia takut juga dengan saya? Tiba-tiba anak itu tersenyum, saya kaget setengah mati; itu pertama kali saya melihat anak itu tersenyum.

Tiba-tiba saya merasa bergetar, hati saya berdesir melihat senyum anak itu. Tak berapa lama dia mengulurkan kedua tangannya minta gendong ke saya.

Semua orang dalam rumah itu pun terkejut dan semua mata tertuju ke saya. Saya melihat papa dan mama anak itu takut, dan mencoba mengalihkan perhatian anak itu dari saya, tetapi anak itu berontak dan minta gendong ke saya.
 
Saya terpaku sebentar, dan entah dorongan dari mana saya mengulurkan tangan saya untuk menggendong anak itu. Anak yang tadinya nangis meronta dan berontak, tiba-tiba diam dan tersenyum dalam dekapan saya.

Pastor, dunia seakan runtuh rasanya ketika saya menggendong cucu. Saya merasakan cinta, sayang, dan ingin melindungi cucu yang rapuh ini bercampur jadi satu.

Cucu dalam gendongan saya tersenyum terus dan saya melihat dia tanpa terasa air mata saya menetes. Saat itu saya merasakan betapa Tuhan luar biasa memberi anugerah indah ini.
 
Sejak saat itu rasanya keangkuhan, harga diri yang tinggi, sifat keras saya semua runtuh. Saya mengalami betapa kecil dan bukan siapa-siapa diri saya berhadapan dengan anak kecil anugerah besar dalam hidup saya ini.”

Bapak itu bercerita dengan menahan air mata.
 
Kesombongan, hati yang keras, imagi diri yang tinggi, hancur karena keagungan Tuhan. Orang yang bisa mengalami keagungan Tuhan yang membawa pada pengalaman diri yang kecil dan bukan siapa-siapa menghantar pada perubahan hidup.

Perubahan yang menjadikan hidup penuh syukur, hati yang lembut, penuh cinta. Itulah pertobatan yang sejati. Orang bangkit dari manusia lama dan menyongsong hidup baru yang menghantar pada keselamatan.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan St. Lukas: “Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaanNya. Apabila semua itu mulai terjadi, bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab penyelamatanmu sudah dekat.”
 
Bagaimana dengan aku?

Mampukah aku melihat keagungan Tuhan, dan tergetar karenanya?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here