Renungan Harian 3 November 2020: Kopi

0
605 views
Ilustrasi - Kopi. (ist)


Bacaan I: Flp. 2: 5-11
Injil: Luk. 14: 15-24
 
DI sebuah paroki, di tempat saya pernah bertugas, setiap selesai misa hari Minggu selalu tersedia kopi. Di salah satu sudut halaman gereja ada meja sajian kopi.

Kopi ini bisa dinikmati oleh seluruh umat dengan cuma-cuma.
 
Setiap selesai misa, umat akan menuju tempat kopi tersedia dan akan mengambil secangkir kopi panas. Umat mengambil dan menikmati kopi itu sambil ngobrol-ngobrol.

Adanya kopi di gereja memberi suasana hangat halaman gereja, karena umat bisa tertahan untuk saling menyapa satu sama lain.
 
Pada awalnya saat saya baru bertugas, saya menduga kopi itu disediakan paroki. Ternyata dugaan saya salah. Kopi itu disediakan oleh salah seorang umat. Sudah bertahun-tahun, bapak sepuh itu menyediakan kopi untuk umat dengan cuma-cuma.
 
Setiap hari Minggu bapak sepuh itu dibantu oleh seorang sopir datang membawa dua tempat yang berisi teh dan kopi.

Beliau menata tempat kopi, dan menyiapkan cangkir-cangkir. Setelah selesai misa beliau akan melayani umat yang membutuhkan kopi.

Setelah umat pulang, beliau akan membereskan semua peralatannya dan pulang.
 
Pemandangan yang selalu menyedihkan adalah bapak sepuh itu harus membereskan cangkir-cangkir bekas kopi yang tercecer di mana-mana.

Beliau dengan tekun akan mengumpulkan cangkir-cangkir dan sampah-sampah yang ditinggalkan umat setelah menikmati kopi.
 
Saya sedih karena banyak umat merasa semua pelayanan itu adalah hak mereka sehingga dengan mudah meninggalkan cangkir-cangkir itu sembarangan yang berakibat bapak sepuh itu harus membereskan.
 
Bapak sepuh itu adalah salah satu tokoh umat di paroki.

Beliau punya rumah yang cukup besar yang selalu disediakan bagi umat bila membutuhkan untuk pertemuan-pertemuan atau acara-acara rohani.

Beberapa kali saya meminjam tempat beliau untuk mengadakan acara.
 
Bapak sepuh itu telah memberikan contoh yang luar biasa untuk umat bagaimana bersikap dalam pelayanan. Sikap  menonjol yang ditunjukkan adalah kerendahan hatinya.

Beliau dengan tekun dan setia menyediakan kopi untuk umat dan rela membereskannya.

Kerendahan hati beliau selalu berhadapan dengan keangkuhan beberapa umat yang tidak peduli.

Namun hal itu tidak menjadikan beliau patah arang tetapi tetap dengan tekun dan setia melayani.
 
Andai dalam hidup bersama banyak orang yang mau dan rela bertindak seperti bapak sepuh itu, tentu hidup bersama menjadi amat indah.

Satu dengan yang lain saling menghargai dan melayani. Apa yang dihadirkan adalah kasih.
 
Sebagaimana surat St. Paulus kepada jemaat di Filipi: “Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Sebaliknya Ia telah mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia.”
 
Bagaimana dengan diriku, akankah aku berani memulai sebagai orang yang merendahkan diri bagi yang lain?
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here