- Bacaan I: Kis. 13: 44–52
- Injil : Yoh. 14: 7–14
PADA waktu saya kuliah filsafat, pria berambut gondrong cukup ngetren. Dalam benak saya, kalau berambut gondrong itu keren. Apalagi kalau sedang bermain basket dengan rambut terurai panjang kelihatan jantan.
Oleh karena itu saya pun ikut tren membiarkan rambut tumbuh tanpa di potong. Saat rambut saya sudah panjang dan diikat ke belakang rasanya sudah menjadi orang luar biasa.
Pada suatu ketika saat rambut saya sedang panjang-panjangnya, budhe (kakak ibu) yang tinggal di Solo menikahkan anaknya di Jakarta. Maka bapak dan ibu saya datang ke Jakarta untuk menghadiri upacara pernikahan tersebut. Orang tua saya datang bersama dengan saudara-saudara dari Solo 2 hari sebelum hari H.
Saya pun datang ke tempat di mana orang tua dan saudara-saudara menginap. Ketika bertemu dengan saya, ibu sangat terkejut melihat penampilan saya. Tidak seperti biasa kalau bertemu, ibu memeluk dan mencium saya.
Hari itu ibu tidak memeluk dan mencium saya akan tetapi ibu malah mengatakan pada saya: ”Nanti kalau ada yang bertanya jangan pernah menjawab kalau kamu putra ibu. Ibu malu.”
Apa yang terjadi dengan diri saya, di luar bayangan ibu. Karena ibu selalu mendidik kami dengan kerapian berpakaian, dan rambut rapi. Ibu selalu mengajarkan pada kami dengan adat istiadat jawa yang baik.
Maka di antara saudara-saudara sudah menjadi “trademark” kalau putra-putri ibu itu selalu berbahasa jawa halus, rapi dan sopan.
Ibu selalu menyebut mereka yang berambut gondrong, tidak rapi dan bicara kasar adalah “cah urakan” (anak nakal).
Maka benarlah bahwa ibu malu melihat saya, karena penampilan saya tidak mencerminkan didikan ibu dan tidak memancarkan bahwa saya adalah putra ibu.
Dalam hubunganku dengan ibu kiranya menjadi gambaran hubunganku dengan Tuhan. Berapa kali Tuhan harus menanggung malu karena “kelakuanku”. Kelakuanku sering kali amat jauh dari apa yang Tuhan ajarkan.
Kelakuanku tidak memancarkan adanya intimitasku dengan Tuhan. Sebagaimana Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan Yohanes: ”Aku berkata kepadamu; Sesungguhnya barang siapa percaya kepadaKu, ia melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan lebih besar dari pada itu.”
Aku yang mengaku sebagai orang yang percaya pada Yesus adakah “kelakuanku” memancarkan karya-karya Yesus? Kalau aku masih jauh dari karya-karyaNya, maka siapa yang kupancarkan dalam kelakukanku?” kalau begitu, sebenarnya pada siapa aku percaya?
Iwan Roes RD