Renungan – Meja Pemujaan

0
275 views
Meja pemujaan (Sansan)

Kamis, 20 Mei 2021

  • Kis 22: 30, 23: 6-11.
  • Yoh. 17: 20-26.

KEBAHAGIAAN dan keiklasan hidup terkait dengan kenangan indah. Memori itu mewarnai dan menyadarkan perjalanan hidup sebagai peziarahan iman.

Lewat pengalaman kegembiraan maupun kekeliruan yang di refleksikan dalam iman, kita belajar untuk lebih baik dan membuahkan kebaikan.

Belajar dari kenangan masa lalu membuat hidup saat ini lebih berpengharapan; tujuan jelas; lebih memantapkan ziarah hidup dengan pasti day by day.

Yesus berdoa bagi kita.

Doa-Nya menyadari kita dengan siapa kita disatukan.

Kita disatukan bersama Para Rasul yang lebih dulu disatukan dan di kudus dalam Yesus; sekaligus diutus.

Iman kita tidak hanya anugerah secara pribadi, tetapi iman yang terkait dan bertumbuh dalam kebersamaan, yakni gereja-Nya.

Lewat para rasul dan tradisi Suci, kita dapat menikmati, merayakan begitu banyak kenangan-kenangan indah dasariah iman kita.

Berhalakah?

Dalam kunjungan keluarga, saya melihat “meja merah”, meja sembahyang keluarga untuk leluhur.

Ada foto almarhum orangtua, oma-opa. Ada hio yang dibakar dan buah-buahan.

“Ini apa Ko dan maksudnya apa ya?,” tanyaku tidak paham.

“Oh ini meja sembahyang Mo. Almarhum oma-opa, papa-mama masih Konghucu. Kami tiap hari berdoa dengan membakar satu hio. Beberapa hari sekali meletakan buah-buahan.

Menurut tradisi, ini seperti memberi makan leluhur. harus warna-warni dan ganjil. Biasanya semangka, jeruk, apel, jambu, pisang, pearl, apel, dll.

“Mereka makankah dan apakah fisik persembahan itu berubah?,” tanyaku heran.

“Tidak Romo. Karena ajarannya mengatakan demikian,” jawabnya.

“Lalu siapa yang makan setelahnya?,” tanyaku lagi ingin tahu.

“Ya kami romo. Ini hanya meneruskan tradisi dan menghormati leluhur. Kami mengalami kebersamaan hidup; kami bahagia dan rukun. Leluhur yang lain, kami tidak tahu. Kami tidak pernah lagi berdoa secara Konghucu. Kami kan sudah Katolik. Kami berdoa sesuai iman kita Mo,” terangnya.

“Bukankah kita semua sudah Katolik. Kenapa masih diteruskan?,” komentarku.

“Romo, di Katolik kan ada semacam ‘ceng beng’ setiap tanggal 2 November. Doa semua arwah orang beriman. Kami hanya meneruskan kebiasaan baik. Cara dan isi doa kami, ya Katolik. Apakah itu termasuk berhala? Dosakah? Dilarangkah?,” katanya bertanya.

Pada saat itu saya diam.

Saya hanya mencoba memahami kebiasaan dan budaya lain seperti yang mereka miliki.

Satu hal yang mengagumkan, mereka sungguh hormat dan bakti kepada almarhum orangtua.

Mereka mengenang kebaikan dan bersyukur atas pengalaman bersama orangtua, oma dan opa mereka.

Hanya berdoa, tak ada maksud lain; bahkan jauh dari bercabang dalam iman.

“Tuh Mo, di meja makan ada buah yang kemaren kami letakkan di meja merah ini. Romo mau?,” sapanya.

Aku pun hanya terdiam.

Aku teringat nasihat Paulus soal makan (daging) persembahan berhala. Bdk. 1 Kor 8: 4.

Ingat juga ajaran Yesus soal makan minum. Bdk. Mt. 15: 17; Mrk. 7: 15.

Saat itu, saya kemudian memakannya. Hanya ada keluarga itu saja. Tidak ada orang lain.

Kami pun melanjutkan percakapan dan kegembiraan dengan makan bersama sekeluarga.

Menakjubkan. Saat doa makan, mereka tidak lupa berterima kasih kepada almarhum papa-mama, opa-oma, yang memungkinkan mereka mengalami banyak hal; bahkan ekonomi yang lebih dari cukup.

Kenangan indah, pengalaman kebaikan dari oma-opa, mama-papa mereka ditutur ulang kembali. Kenangan indah itu menggembirakan, menyadarkan “Aku ada, berkat mereka juga.”

Yesus pun berdoa.

“Aku berdoa juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku… Supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.” ay 20-21, 26b.

Tuhan, peluklah kami masuk ke dalam persekutuan Kudus-Mu. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here